Selasa, 02 Agustus 2011

ALIRAN (MAZHAB) DALAM FIQH

1.    Yang dimaksud dengan aliran (mazhab).
a.    Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah.
Suatu aliran yang  penganut sunnah Nabi SAW dan al-jama’ah berarti penganut i’tiqad sahabat-sahabat nabi. Jadi yang dimaksud dengan kaum Ahlussunnah Waljamaah adalah kaum yang menganut i’tiqad dan amaliyah Nabi SAW. dan sahabat-sahabat beliau.[1] Hal ini dirumuskan oleh Imam Abu Hasan Ali Al Asy’ari (Basrah 260-324 H), dan muridnya Abu Manshur Al-Maturidi yang terkenal dan kemudian menjadi ulama di bidang yang sama.
Sedangkan dalam bidang furu’iyah (fiqh) corak berfikirnya lebih cenderung memakai metode berfikir  persyaratan penerimaan Hadis apabila perawinya adil dan cermat (dhabith) sampai ke akhir sanad tanpa adanya kelainan dan cacat baik perawinya dari Ahlu al-Bait atau tidak. yang diakui ijtihadnya oleh umat Islam seluruh dunia dan hasil ijtihadnya itu diikuti terus tanpa terputus oleh sebagian besar ulama di seluruh dunia.
Termasuk kaum Aswaja dalam bidang fiqh adalah menganut salah satu dari mazhab empat itu, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Keempat mazhab ini dalam metode berfikirnya berbeda sehingga masing-masing mereka berbeda dalam memakai metode istinbath ijtihad sebagaimana dapat dilihat dalam kitab-kitab Fiqh dan Ushul Fiqh mereka.
Bertolak dari pengertian di atas, Aswaja adalah gologan umat Islam yang dalam bidang Tauhid (ushul) mengikuti ajaran Imam Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturudi, sedang dalam bidang fiqh (furu’), mengikuti salah satu mazhab yang empat.[2]
1.  Mazhab Hanafiah, dengan pemahaman dasar Imam abu Hanifah dalam mengistinbath hukum adalah Al Quran, Sunnah dan Atsar yang shahih, masyhur, fatwa Sahabi, Qiyas, Istihsan dan Adat.
2.    Mazhab Malikiyah, secara ringkas, dari mazhab ini dalam menentukan hukum adalah Al Quran, Sunnah, Ijmak Ahli Madinah, Qiyas, Istislahi.
3.    Mazhab Syafe’i secara ringkas dasar mazhab ini dalam menentukan hokum adalah Al Quran, Sunnah, Ijmak, fatwa sahabat yang disepakati, Qiyas dan Istidlal.
4.   Mazhab Hanbali, yang bersumber pada lima pokok, nash Al Quran, Fatwa Sahabat, fatwa yang paling dekat dengan nash, Hadis mursal dan dhaif yang lebih kuat dari qiyas, Qiyas jika tidak ditemukan dari empat perkara di atas.

b.    Mazhab Ahli Zahir.
Suatu aliran yang mempunyai cirri-ciri berfikirnya pengamalan teks literal dari Al Quran dan Sunnah tanpa dibarengi penafsiran terhadapnya, kecuali apabila ada dalil yang memerintahkan penggunaan pengertian selain makna lahiriyah. Apabila tidak didapatkan nash, mereka berpegang kepada ijmak. Mereka menolak jalan qiyas secara tegas dengan alasan bahwa Al Quran dan Hadis terdapat sandi-sandi dan sendi-sendi yang mencukupi segala masalah.[3] Pemikir mazhab ini yang termashur adalah Ibn Hazm dalam kitabnya yang terkenal dalam bidang Fiqh  al-Muhalla, dalam lapangan Ushul Fiqh yaitu al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.

c.    Mazhab Syi’ah.
Suatu aliran dalam Islam yang menyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad SAW. Dari segi bahasa, kata Syiah berarti pengikut, kelompok atau golongan,[4] selain mengembangkan keturunan dalam bidang teologi, mereka juga mengembangkan pemikiran dalam bidang hukum.[5]
Fiqh Syi’ah walaupun berdasarkan Al Quran dan Hadis namun berbeda dengan Fiqh Jumhur Ulama, diantaranya :
1.  Fiqh yang berdasarkan kepada tafsir dan hadis yang sesuai dengan pendirian mereka, mereka tidak menerima tafsir dan hadis dari golongan lain.
2.    Fiqh mereka tidak menerima ijma’ dan qias, sebab orang-orang yang mengadakan ijma’ itu berasal dari para sahabat yang menjadi lawan politiknya, Mereka menolak qias, karena qias itu adaah hasil daya fakir, mereka berpendapat bahwa agama itu diambil dari Allah dan Raul-Nya, serta dari imam-imam yang mereka ikuti.
Syi’ah terpecah menjadi beberapa golongan di antaranya :
1.   Golongan Kaisaniyah yang berpendapat Muhamamd bin Ali dikenal dengan nama Ibnul Hanafiah sebagai Imam Mahdy.
2.  Golongan Zaidiyah kitabnya yang terkenal dalam bidang fiqh adalah Al-Majmu’. Seperti juga mazhab Imamiyah, mereka hanya bersandar pada Hadis yang diriwayatkan oleh golongan  Syi’ah. Mazhab ini merupakan mazhab dalam Syi’ah hanya memiliki sedikit perbedaan dengan Ahlusunnah.[6]
3.  Golongan Imamiyah, dikepalai oleh Ja’far Ash Shadiq / imamiyah Itsna’asyriyah. Dalam menetapkan hukum mengambil sumber Al Quran dan Hadis serta ucapan para Imam, mereka tidak menerima ijtihad dengan rakyu dan mengambil hukum-hukum itu dari Imam yang ma’sum.[7] Sebagi konsekuensinya mereka menolak ijmak dan qiyas. Fiqhnya sangat dipengaruhi oleh politik, seperti mereka tidak memperkenankan orang menjalankan shalat qashar bagi musafir kalau ia menuju Makkah.

d.    Mazhab Ahlu Rakyu.
Suatu aliran yang berpendapat bahwa hukum-hukum Islam dapat difahamkan maknanya dari Al Quran dan Hadis, melengkapi maslahat yang kembali kepada hamba, mereka membahas ‘illat-‘illat dan hikmah-hikmah hukum, mazhab ini dipelopori oleh Ibrahim An-Nacha’i, dan berkembang di Irak.
Diantara sebab-sebab mereka mempergunakan ijtihad dengan luas adalah :
1.    Pengaruh pendirian guru mereka.
2.   Mereka berpendapat bahwa hadis-hadis yang diperoleh dari sahabat-sahabat yang bertemapat di Irak telah merupakan koleksi yang sempurna. Jika mereka tidak memperoleh hukum di dalam Al Quran dan Hadis yang mereka terima dari sahabat-sahabat di Irak, mereka memakai qias. Pada hal kalau dicari hadis mengenai masalah itu ke daerah lain, berkemungkinan ada, dan mungkin pula berlawan dengan hasil qias mereka.
3. Karena Irak tempat timbul golongan Khawarij dan Syi’ah dan di sana banyak berkembang hadis palsu, oleh sebab itu mereka menentukan syarat yang berat untuk menerima hadis, karena itu perlu dipergunakan rakyu.
4. Karena perkembangan kemajauan, negeri Irak dipengaruhi kebudayaan asing, berbeda dengan Hijaz yang masih sederhana, oleh sebab itu banyak muncul masalah baru.

e.    Mazhab Ahlu Ahlu Hadis.
Suatu aliran dalam menetakan hukum Islam lebih memfokuskan mengambil dalilnya dari nash Al Quran dan Hadis, mereka tidak menggunakan ijtihad atau rakyu, kecuali diwaktu sangat dharurat. Golongan ini juga disebut dengan aliran Hijaz karena berkembang di Hijaz. Mazhab ini dipelopori oleh Sa’id Ibnu al Musayyab.
Mazhab ini hanya banyak melihat kepada lahiriyah nah saja, kurang mmeperhatikan pengertian-pengertian yang lebih jauh dari suatu hukum, hikmah dan ‘illatnya.
Adapun sebab-sebab mereka tidak menggunakan ijtihad dalam menetapkan hukum dan berhenti pada nash saja, antara lain adalah :
1. Pengaruh pendirian guru mereka, yang tidak mempergunakan ijtihad sebelum terpaksa.
2.  Kebanyakan para sahabat yang hafal hadis berada di Hijaz, pada waktu itu belum banyak terjadi problema yang tidak ada hadisnya.
3.  Kesederhanaan Ulama Hijaz, kalau ada problema mereka mencarinya dalam Al Quran dan Hadis, jika tidak mereka ketemukan lantas mereka mencari pendapat sahabat, jika juga tidak ada baru mereka berijtihad dan sering sekali mereka berdiam diri menghadapi keadaan yang demikian.

2.    Menyikapi Aliran (Mazhab).
a.    Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah bidang furu’iyah (fiqh) ada empat mazhab yang diakui ijtihadnya oleh umat Islam seluruh dunia dan hasil ijtihadnya itu diikuti terus tanpa terputus, mazhab ini merupakan mazhab yang rasional dan moderat, oleh akrenanya mazhab mudah diterima oleh mayoritas umat Islam, walaupun dalam aplikasinya ada beberapa perbedaan.
b.    Mazhab Ahli Zahir dalam menetapkan hukum, apabila tidak didapati nash Al Quran dan Sunnah, maka mereka mengambil ijmak seluruh umat manusia. Jelas syarat ini tidak mungkin terwujud, dengan demikian maka sebenarnya mazhab ini menolak ijmak. Sedangkan qiyas mereka tolak, akan tetapi kenyataan dalam prakteknya, mazhab ini juga menerima konsep analogi (qiyas).
c.    Mazhab Syi’ah, aliran fiqhnya ternyata sarat dengan politik, seperti pelaksanaan shalat qashar yang hanya dibolehkan ketika berjalan menuju makah, madinah, kuffah dan Karbela. Aliran ini bersifat ekslusif sehingga tidak mau menerima pendapat imam yang lain, dan hanya menerima pendapat imam-imam mereka yang dianggap ma’sum.
d.   Mazhab Ahlu Rakyu sangat relevan dengan perkembangan hokum dalam masyarakat karena mereka berpendapat bahwa hukum-hukum Islam dapat difahamkan maknanya dari Al Quran dan Hadis, melengkapi maslahat yang kembali kepada hamba, mereka membahas ‘illat-‘illat dan hikmah-hikmah hokum, yang berrarti bahwa hokum dapat menjawab persoalan yang timbul karena didasarkan kepada ‘illat dan hikmah.
e.  Mazhab Ahlu Hadis hanya menetakan hukum Islam lebih memfokuskan mengambil dalilnya dari nash Al Quran dan Hadis, mereka tidak menggunakan ijtihad atau rakyu, kecuali diwaktu sangat dharurat, padahal tidak semua persoalan dapat dipecahkan dengan zahir ayat dan hadis, maka untuk mengetahui maskud nash perlu ijtihad dan rakyu.

Footnote:

[1] RS. Abdul Aziz, Konsepsi Ahlussunnah Wal Jama’ah, Dalam Bidang Aqidah dan Syari’ah, Cet. 1, TB Bahagian Pekalongan, 1990, hlm. 7.
[2] Ibid, hlm. 8.
[3] Ahmad Syalabi, Pembinaan Hukum Islam, Cet. 2, tanpa penerbit, tt, hlm. 101.
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, Sya-Zun 5, hlm.4.
[5] Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta, 1997, hlm. 120.
[6] Ibid, hlm.122.
[7] Ibid, hlm.121.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini