1. Yang dimaksud dengan
aliran (mazhab).
a. Mazhab Ahlussunnah
wal Jama’ah.
Suatu aliran yang penganut sunnah Nabi
SAW dan al-jama’ah berarti penganut i’tiqad sahabat-sahabat nabi. Jadi
yang dimaksud dengan kaum Ahlussunnah Waljamaah adalah kaum yang menganut
i’tiqad dan amaliyah Nabi SAW. dan sahabat-sahabat beliau.[1]
Hal ini dirumuskan oleh Imam Abu Hasan Ali Al Asy’ari (Basrah 260-324 H), dan
muridnya Abu Manshur Al-Maturidi yang terkenal dan kemudian menjadi ulama di
bidang yang sama.
Sedangkan dalam bidang furu’iyah (fiqh) corak
berfikirnya lebih cenderung memakai metode berfikir persyaratan penerimaan Hadis apabila
perawinya adil dan cermat (dhabith) sampai ke akhir sanad tanpa adanya
kelainan dan cacat baik perawinya dari Ahlu al-Bait atau tidak. yang
diakui ijtihadnya oleh umat Islam seluruh dunia dan hasil ijtihadnya itu
diikuti terus tanpa terputus oleh sebagian besar ulama di seluruh dunia.
Termasuk kaum Aswaja dalam bidang fiqh adalah menganut
salah satu dari mazhab empat itu, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali. Keempat mazhab ini dalam metode berfikirnya berbeda sehingga
masing-masing mereka berbeda dalam memakai metode istinbath ijtihad sebagaimana
dapat dilihat dalam kitab-kitab Fiqh dan Ushul Fiqh mereka.
Bertolak dari pengertian di atas, Aswaja adalah gologan
umat Islam yang dalam bidang Tauhid (ushul) mengikuti ajaran Imam
Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturudi, sedang dalam bidang fiqh (furu’),
mengikuti salah satu mazhab yang empat.[2]
1. Mazhab Hanafiah, dengan
pemahaman dasar Imam abu Hanifah dalam mengistinbath hukum adalah Al Quran,
Sunnah dan Atsar yang shahih, masyhur, fatwa Sahabi, Qiyas, Istihsan dan Adat.
2. Mazhab Malikiyah, secara
ringkas, dari mazhab ini dalam menentukan hukum adalah Al Quran, Sunnah, Ijmak
Ahli Madinah, Qiyas, Istislahi.
3. Mazhab Syafe’i secara ringkas
dasar mazhab ini dalam menentukan hokum adalah Al Quran, Sunnah, Ijmak, fatwa
sahabat yang disepakati, Qiyas dan Istidlal.
4. Mazhab Hanbali, yang
bersumber pada lima pokok, nash Al Quran, Fatwa Sahabat, fatwa yang paling
dekat dengan nash, Hadis mursal dan dhaif yang lebih kuat dari qiyas, Qiyas
jika tidak ditemukan dari empat perkara di atas.
b. Mazhab Ahli Zahir.
Suatu aliran yang
mempunyai cirri-ciri berfikirnya pengamalan teks literal dari Al Quran dan
Sunnah tanpa dibarengi penafsiran terhadapnya, kecuali apabila ada dalil yang
memerintahkan penggunaan pengertian selain makna lahiriyah. Apabila tidak
didapatkan nash, mereka berpegang kepada ijmak. Mereka menolak jalan qiyas
secara tegas dengan alasan bahwa Al Quran dan Hadis terdapat sandi-sandi dan
sendi-sendi yang mencukupi segala masalah.[3]
Pemikir mazhab ini yang termashur adalah Ibn Hazm dalam kitabnya yang terkenal
dalam bidang Fiqh al-Muhalla, dalam
lapangan Ushul Fiqh yaitu al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
c. Mazhab
Syi’ah.
Suatu
aliran dalam Islam yang menyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya
adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad SAW.
Dari segi bahasa, kata Syiah berarti pengikut, kelompok atau golongan,[4]
selain mengembangkan keturunan dalam bidang teologi, mereka juga mengembangkan
pemikiran dalam bidang hukum.[5]
Fiqh Syi’ah walaupun berdasarkan Al Quran dan Hadis namun berbeda
dengan Fiqh Jumhur Ulama, diantaranya :
1. Fiqh yang berdasarkan kepada tafsir dan
hadis yang sesuai dengan pendirian mereka, mereka tidak menerima tafsir dan
hadis dari golongan lain.
2. Fiqh mereka tidak menerima ijma’ dan
qias, sebab orang-orang yang mengadakan ijma’ itu berasal dari para sahabat
yang menjadi lawan politiknya, Mereka menolak qias, karena qias itu adaah hasil
daya fakir, mereka berpendapat bahwa agama itu diambil dari Allah dan Raul-Nya,
serta dari imam-imam yang mereka ikuti.
Syi’ah terpecah menjadi beberapa golongan di antaranya :
1. Golongan Kaisaniyah yang berpendapat
Muhamamd bin Ali dikenal dengan nama Ibnul Hanafiah sebagai Imam Mahdy.
2. Golongan Zaidiyah kitabnya yang terkenal
dalam bidang fiqh adalah Al-Majmu’. Seperti juga mazhab Imamiyah, mereka hanya
bersandar pada Hadis yang diriwayatkan oleh golongan Syi’ah. Mazhab ini merupakan mazhab dalam
Syi’ah hanya memiliki sedikit perbedaan dengan Ahlusunnah.[6]
3. Golongan Imamiyah, dikepalai oleh Ja’far
Ash Shadiq / imamiyah Itsna’asyriyah. Dalam menetapkan hukum mengambil sumber
Al Quran dan Hadis serta ucapan para Imam, mereka tidak menerima ijtihad dengan
rakyu dan mengambil hukum-hukum itu dari Imam yang ma’sum.[7] Sebagi
konsekuensinya mereka menolak ijmak dan qiyas. Fiqhnya sangat dipengaruhi oleh
politik, seperti mereka tidak memperkenankan orang menjalankan shalat qashar
bagi musafir kalau ia menuju Makkah.
d. Mazhab Ahlu Rakyu.
Suatu aliran yang
berpendapat bahwa hukum-hukum Islam dapat difahamkan maknanya dari Al Quran dan
Hadis, melengkapi maslahat yang kembali kepada hamba, mereka membahas
‘illat-‘illat dan hikmah-hikmah hukum, mazhab ini dipelopori oleh Ibrahim
An-Nacha’i, dan berkembang di Irak.
Diantara sebab-sebab mereka mempergunakan ijtihad dengan luas
adalah :
1. Pengaruh pendirian guru mereka.
2. Mereka berpendapat bahwa hadis-hadis yang
diperoleh dari sahabat-sahabat yang bertemapat di Irak telah merupakan koleksi
yang sempurna. Jika mereka tidak memperoleh hukum di dalam Al Quran dan Hadis
yang mereka terima dari sahabat-sahabat di Irak, mereka memakai qias. Pada hal
kalau dicari hadis mengenai masalah itu ke daerah lain, berkemungkinan ada, dan
mungkin pula berlawan dengan hasil qias mereka.
3. Karena Irak tempat timbul golongan
Khawarij dan Syi’ah dan di sana banyak berkembang hadis palsu, oleh sebab itu
mereka menentukan syarat yang berat untuk menerima hadis, karena itu perlu
dipergunakan rakyu.
4. Karena perkembangan kemajauan, negeri
Irak dipengaruhi kebudayaan asing, berbeda dengan Hijaz yang masih sederhana,
oleh sebab itu banyak muncul masalah baru.
e. Mazhab Ahlu Ahlu
Hadis.
Suatu aliran dalam
menetakan hukum Islam lebih memfokuskan mengambil dalilnya dari nash Al Quran
dan Hadis, mereka tidak menggunakan ijtihad atau rakyu, kecuali
diwaktu sangat dharurat. Golongan ini juga disebut dengan aliran Hijaz karena
berkembang di Hijaz. Mazhab ini dipelopori oleh Sa’id Ibnu al Musayyab.
Mazhab ini hanya banyak melihat kepada lahiriyah nah saja, kurang
mmeperhatikan pengertian-pengertian yang lebih jauh dari suatu hukum, hikmah
dan ‘illatnya.
Adapun sebab-sebab mereka tidak menggunakan ijtihad dalam
menetapkan hukum dan berhenti pada nash saja, antara lain adalah :
1. Pengaruh pendirian guru mereka, yang
tidak mempergunakan ijtihad sebelum terpaksa.
2. Kebanyakan para sahabat yang hafal hadis
berada di Hijaz, pada waktu itu belum banyak terjadi problema yang tidak ada
hadisnya.
3. Kesederhanaan Ulama Hijaz, kalau ada
problema mereka mencarinya dalam Al Quran dan Hadis, jika tidak mereka
ketemukan lantas mereka mencari pendapat sahabat, jika juga tidak ada baru
mereka berijtihad dan sering sekali mereka berdiam diri menghadapi keadaan yang
demikian.
2.
Menyikapi Aliran (Mazhab).
a. Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah bidang furu’iyah (fiqh) ada empat mazhab yang diakui
ijtihadnya oleh umat Islam seluruh dunia dan hasil ijtihadnya itu diikuti terus
tanpa terputus, mazhab ini merupakan mazhab yang rasional dan moderat, oleh
akrenanya mazhab mudah diterima oleh mayoritas umat Islam, walaupun dalam
aplikasinya ada beberapa perbedaan.
b. Mazhab Ahli Zahir dalam menetapkan hukum,
apabila tidak didapati nash Al Quran dan Sunnah, maka mereka mengambil ijmak
seluruh umat manusia. Jelas syarat ini tidak mungkin terwujud, dengan demikian
maka sebenarnya mazhab ini menolak ijmak. Sedangkan qiyas mereka tolak, akan
tetapi kenyataan dalam prakteknya, mazhab ini juga menerima konsep analogi (qiyas).
c. Mazhab Syi’ah, aliran fiqhnya ternyata
sarat dengan politik, seperti pelaksanaan shalat qashar yang hanya dibolehkan
ketika berjalan menuju makah, madinah, kuffah dan Karbela. Aliran ini bersifat
ekslusif sehingga tidak mau menerima pendapat imam yang lain, dan hanya
menerima pendapat imam-imam mereka yang dianggap ma’sum.
d. Mazhab Ahlu Rakyu sangat relevan dengan
perkembangan hokum dalam masyarakat karena mereka berpendapat bahwa hukum-hukum
Islam dapat difahamkan maknanya dari Al Quran dan Hadis, melengkapi maslahat
yang kembali kepada hamba, mereka membahas ‘illat-‘illat dan hikmah-hikmah
hokum, yang berrarti bahwa hokum dapat menjawab persoalan yang timbul karena
didasarkan kepada ‘illat dan hikmah.
e. Mazhab Ahlu Hadis hanya menetakan hukum
Islam lebih memfokuskan mengambil dalilnya dari nash Al Quran dan Hadis, mereka
tidak menggunakan ijtihad atau rakyu, kecuali diwaktu sangat
dharurat, padahal tidak semua persoalan dapat dipecahkan dengan zahir ayat dan
hadis, maka untuk mengetahui maskud nash perlu ijtihad dan rakyu.
Footnote:
[1] RS. Abdul
Aziz, Konsepsi Ahlussunnah Wal Jama’ah, Dalam Bidang Aqidah dan Syari’ah,
Cet. 1, TB Bahagian Pekalongan, 1990, hlm. 7.
[2] Ibid,
hlm. 8.
[3] Ahmad Syalabi,
Pembinaan Hukum Islam, Cet. 2, tanpa penerbit, tt, hlm. 101.
[4] Departemen
Pendidikan Nasional, Op.Cit, Sya-Zun 5, hlm.4.
[5] Faturrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta, 1997, hlm. 120.
[6] Ibid, hlm.122.
[7] Ibid,
hlm.121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini