Gambaran
singkat tentang Sistem Hukum Kewarisan Islam (Hukum Faraid) di Indonesia
sebagai berikut :
- Sistem Kewarisan Islam di Indonesia masih sulit (baca belum dapat disatukan) karena sistem kewarisan yang berlaku di Indonesia terdapat beberapa macam di antaranya[1] :
a. Sistim kewarisan individual yang
cirinya ialah bahwa harta peningalkan dapat dibagi-bagi kepemilikannya antara
ahli waris seperti masyarakat bilateral di Jawa dalam masyarakat patrilinial di
Tanah Batak.
b. Sistim kewarisan kollektif, yang
cirinya ialah bahwa harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris
yang merupakan semacam badan hukum dimana harta tersebut, yang disebut harta
pusaka, tidak boleh dibagi-bagi pemilikikannya diantara ahli waris dan hanya
boleh dibagi-bagikan pemakaiannya kepada mereka itu, seperti masyarakat
matrilinial di Minangkabau.
c. Sistim kewarisan mayorat, dimana
anak yang tertua pada saat matinya sipewaris berhak tungggal untuk mewarisi
seluruh harta peninggalan atau berhak tunggal untuk mewarisi sejumlah harta
pokok dari satu keluarga, seperti dalam masyarakat patrilinial yang berlih-alih
di Bali (hak mayorat anak laki-laki yang tertua) dan di Tanah Semendo di
Sumatera Selatan (hak mayorat anak perempaun yang tertua).
Oleh
karena adanya tiga bentuk sistim kewarisan yang berlaku dalam masyarakat adat
(tentu mayoritas umat Islam) dengan sendirinya belum memberikan kepastian
tentang jenis hukum kewarisanya yang meerka anut.
- Sistim kewarisan Islam di Indonesia belum sepenuhnya diamalkan oleh pemeluknya, karena masih banyak dijumpai terjadi wasiat-wasiat di bawah tangan (istilah kukumnya wasiat di bawah bantal) yang dipraktekan dalam pembagian harta peninggalan.
- Sistim Kewarisan Islam di Indonesia masih bercorakan sistim kewarisan model berfikir dari kalangan kaun Ahlusunnah Wal Jama’ah yang kecenderungan sistim kewarisan bersifat individualistik, sedangkan jika dikaji dalam Al Quran setelah dilihat dari ayat-ayat yang ada kaitannya dengan masalah nasab (munakahat) ternyata bentuk nasab yang dirumuskan ayat-ayat munakat tersebut berbentuk bilateral.
- Dengan diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang sebelumnya (karena teori hukum Belanda) maka kewenangan mengadili sengekata menjadi hak opsi, namun setelah diundangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 revisi Undang--undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sepenuhnya menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.
- Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, walaupun untuk umat Islam belum ada satu undang-udang khusus yang berlaku tetapi keberadaan Hukum Adat tentang waris tidak dapat diabaikan dan keberadaan Kompilasi Hukum Islam tidak secara serta merta mengenyampingkan Hukum Adat tersebut.
- Umat Islam di Indonesia telah bersifat mendua terhadap hukum waris Islam padahal sikap seperti itu bukanlah perilaku Islam yang memuaskan. Hukum Kewarisan Islam banyak ditinggalkan oleh masyarakt Islam Indonesia, baik langsung atau tidak langsung, sebab kenyataannya umat Islam tidak dan atau jarang mempraktekan kewarisan Islam, malah kadang-kadang mereka pergi ke Pengadilan Negeri untuk memperoleh pembagian 1 : 1, yang berarti menginginkan pembagian yang sama, oleh karena itu karena kondisi yang demikian patut untuk dipertimbangkan dalam rangka penyusunan hukum kewarisan nasional. Karena adanya perubahan kondisi, kebutuhan dan kemaslahatan, maka penerapan hukum mengalami perubahan pula sekalipun mengabaikan lahir ayat (zhahir al-ayah). Hal ini pula yang pernah dilontarkan oleh Mantan Menteri Agama RI Munawir Syadzali.
- Usaha untuk pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia terus dilakukan dari waktu ke waktu, namun selalu menemui kegagalan karena situasi dan kondisi politik yang belum memungkin mulai sejak Pemerintahan Kolonial Belanda, Orde Lama dan Orde Baru bahkan sampai saat sekarang belum juga terwujud karena situasi politik yang belum memungkin itu.
- Usaha pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia tentu mengacu kepada pembaharuan hukum kewarisan oleh Al Quran sebagaimana yang dirancang oleh Prof. DR. Hazairin, SH yaitu kewarisan bilateral. Ketentuan Al Quran tentang asas kewarisan (individual dan bilateral) adalah pembaharuan hukum ; disebanding dengan sistem kewarisan kolektif atau mayorat (Hukum Adat). Dalam sistem kewarisan kolektif, individu anggota keluarga tidak didudukan sebagai ahli waris. Dalam sisitem kewarisan mayorat individu ahli waris diperhatikan haknya namun diwakili oleh saudaranya (laki-laki atau perempuan tertua). Dalam norma sistem kewarisan itu ketidakadilan dapat terjadi. Oleh karena itu KHI sebagai ijtihad ulama Indonesia telah mengembangkan hukum emperik Kewarisan Islam telah sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia dengan mengakomodasi adat dan menampung hajat kebutuhan masyarakat.
Footnote:
[1] Hazairin, Hukum Kewarisan
Bilateral Menurut Al Quran, Cet. 5, Tintasmas, Jakarta, 1981, hlm. 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini