A. Perkembangan Hukum
Keluarga Islam Dari Masa Ke Masa
Pertumbuhan dan Perkembaagan Hukum Islam (Hukum Keluarga) di
Indonesia dapat dibagi dalam beberapa periodesasi sebagai berikut :
- Masa Islam Masuk ke Indonesia (Keadaan masyarakat Indonesia masih menganut agama Hindu dan Budha).
Sebelum kedatangan Islam Indonesia belum terdapat sebuah sistem
hukum tentang Hukum Keluarga, sebelumnya terdapat berbagai pandangan budaya dan
agama yang mempunyai ciri sendiri-sendiri. Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke 7 atau 8 Masehi melalui samudra Pasai yang dibawa oleh Pedagang Gujarab
India, dan ada yang berpendapat Saudagar Arab, yang pad akhirnya kerajaan yang
yang ada menyatakan dirinya memeluk agama Islam.
Hukum Islam berlaku sejak Islam itu masuk, yang aplikasi hokum
Islam secara ringkas dapat dilihat dengan adanya lembaga Peradilan Agama pada
abad ke 7 dan 8 Masehi.[1],
Peradilan Agama sebagai praktek hukum Islam masih bersifat Tahkim yakni
suatu penyerahan kepada seseorang Muhakkam guna menyelesaikan suatu
hukum atas sengketa (hukum keluarga), yang pengangkatannya berdasarkan ba’iat
yang dinamakan Ahlu Hili wal Aqdli.
Perkembangannya Islam sebagai agama dan hukum dominant dalam
masyakat yang dimulai Islam ditetapkan sebagai agama resmi pada Kerjaan Demak
sekitar abad ke 15 Masehi.[2]
Dan akirnya diikuti beberapa daerah di Indonesia seperti Sultan Aceh,
Pagaruyung, Bonjol, Pajang, Pasai dan lain-lain memberlakukan Islam sebagai
agama resmi dan hukum negaranya.[3]
Akhirnya puncak dominasi hukum Islam berlaku di zaman Kerjaaan Mataram di
tangan Sultan Agung sekitar tahun 1750 M.[4]
Dalam keadaan demikian bentuk pelaksanaan hukum Islam di peradilan tidak
memakai istilah Tahkim, melainkan meingkat menjdi qadli (hakim).
- Masa VOC.
Ketika Belanda masuk ke Indonesia melalui VOC, yakni sebuah wadah
dagang bangsa Belanda eksistensi hukum Islam tidak dapat mereka sepelekan.
Meskipun akhirnya VOC semakin kokoh tidak dapat menekan dan membendung
pelaskanaan hukum Islam (pidana dan perdata) yang menjadi keyakinan hidup.
- Masa Indonesia dijajah Kolonial Belanda.
Masuknya Belanda melalui VOC yang sasarannya untuk menjajah
Nusantara, upaya penghapusan hukum Islam sama sekali yang dilakukan secara
terus-menerus hanya mampu pada bidang pidana,[5]dengan
mengdakan aturan pemisahan antara peradilan keduniawian (wewldlijke
rechtpraak) yang dilakukan oleh pengadilan-pengadilan Gubernemen dengan
Peradilan Agama. Untuk bidang perdata (hukum keluarga) karena telah begitu
mapannya dilaksanakan, maka tetapi dibiarkan hidup dan berjalan sendiri
ditangani oleh Peradilan Agama. Kenyataan itu dapat dilihat dalam satu
Instruksi bulan September 1808 M bahwa Ulama dibiarkan untuk memutus perkara-perkara
tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan……….[6]
Ikut campur mendalaman Pemerintah Kolonial atas pelaksanaan hukum
keluarga Islam baru mulai tahun 1820 M sebagaimana tertuang dalam Stbl. 1820
Nomor 24 Pasal 13 yang diperjelas oleh Stbl. 1835 Nomor 58., yang intinya
sengekata perkawinan, bagaian harta dan sengekata sejenis harus diputus menurut
Hukum Islam, dan gugatan mendapatkan pembayaran harus diajukan kepada
pengadilan-pengadilan biasa.
Bahkan atas usul LWC Van Den berg (1845-1927) dengan terinya “reception
in complexu” yaitu suatu pafam yng mengatakan bahwa hukum bagi orang
Indonesia mengikuti agamanya[7]
pada akhirnya Pemerintah Kolonial memebrikan aturan formal dalam undang-undang
yang lebih konkrit atas pelaksanaan Hukum Islam, yang diwujudkan dalam Stbl.
1882 Nomor 152 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dengan
nama Priesterraden. Sedangkan di luar Jawa dan Madura masih diserahkan
kepada Peraturan-peraturan Adat maupun Swapraja.
Berbeda dengan LWC Van den Berg, penganut dan pencetus teori
recepstio in complexu, adalah C.Snouck Hurgronye (1857-1936), ahli Hukum Adat,
mencetuskan teori baru yaitu yang belaku din Indoensia adalah hukum Adat,
pengarug Hukum Islam itu, baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima
oleh Hukum Adat dan dengan demikian lahirlah dia sebagai Hukum Adat bukan
sebagai Hukum Islam.[8]
Berdasarkan teorinya bahwa keluarnya Stbl. 1882 Nomor 152 merupakan kesalahan yang patut
disesalkan, seharusnya dibiarkan terus berjalan secara liar tanpa campur tangan
Pemerintah, sehingga keputusan-keptusannya tidak perlu memperoleh kekuatan
undang-undang.[9]
Secara sistematis hukum agama yang berlaku bagi orang Islam mulai diubah dan
dipersempit ruang geraknya dalam kehidupan masyarakat sehingga menimbulkan
banyak reaksi dan kekecewaan umat Islam.
Berdasarkan Stbl. 1992 Nomor 221 dalam hal terjadi perdata antara
sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukun adat
mereka menghendaki dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonassi,
dengan demikian Hukum Keluarga Islam telah dicabut dari Tata Hukum Hindia
Belanda.
Melalui Stbl. 1931 Nomor 53 terjadi penggurangan wewenang bagi
Pengadilan Agama mengadli Hukum Keluarga Islam yang tinggal mengenai
persengketaan-persengketaan di bidang nikah, talak, rujuk, perceraian dan hal-hal
yang berhubungan dengan itu seperti mahar dan nafkah isteri. Sedangkan bidang
untuk hadlanah, waris, wakaf dan lan-lainnya dicabut dan selanjutnya diserahkan
kepada Landraad. Meskipun tidak sempat diberlakukan, namun akhirnya
dikeluarkan ordonantie baru berupa Stbl. 1937 Nomor 116 yang diberlakukan mulai
tanggal 1 April 1937 yang pada intinya mengurangi kewenangan Pengadialn Agama
dalam mengadili perkara sengketa perdata Islam.
Kemudian Pemerintah Kolonial mengeluarkan Stb. 1937 Nomor 610
tentang pembentukan Mahkmah Islam Tinggi yang berkedudukan di Jakarta sebagai
Pengadilan Agama Tingkat Banding untuk Jawa dan Madura yang mulai berlaku
tanggal 1 Januari 1938.[10] Pada 21 Desember 1937 dikeluarkan ordonansi beruapa Tbl. 1937 Nomor
368 dan 369 tentang pengaturan dan pembentukan Kadigerecht disebagian
Daerah Kalimantan dan Het Opperkadigerecht mulai berlaku tanggal 1
Januari 1938.
- Masa Pemerintah Jepang.
Sampai akhir masa kekuasaan Kolonial Belanda tidak semapat mengatur
Pengadilan Agama untuk selain Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan tersebut
sehingga keberadaannya untuk daerah tersebut tetap didasarkan kepada
peraturan-peraturan Adat maupun Swapraja.
Selama kekuasaan Jepang di Indonesia (1942-1945) keadaan Hukum
Keluarga Islam tidak ada perubahan mendasar kecuali penyesuaian nama
Peangadilan Agama menjadi Sooryoo Hoin untuk Pengadilan Agama /
Kerapatan Kadi dan Kaiyo Kooto Hoin untuk Mahkamah Islam Tinggi /
Kerapatan Kadi Besar. Keadaan seperti ini karena kesibukannya dalam menghadapi
peperangan dimana-mana selama pemerintahannya di Indonesia sehingga Hukum
Keluarga Islam belum sempat dikotak katik oleh Jepang.
- Masa Kemerdekaan.
Berdasarkan Pasal II Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
masih didasarkan kepada Stbl. 1882 Nomor 152 jo. Stbl. 1937 Nomor 116 dan 610
pelaksanaan Hukum Islam masih diberlakukan melalui Peradilan Agama terhadap
daerah-daerah secara de facto dikuasai oleh Pemerintah Indonesia. Sedangkan untuk daerah-daerah yang dikuasai oleh tentara sekutu dan
Belanda beberpa tempat didirikan Pengadilan Agama dengan nama Penghulu
Gerechten sebagai pengganti Priesteraaden, untuk tingkat banding Majelis
Ulama, untuk mengimbangi Mahkmah Islam Tinggi yang telah dipindahkan ke
Surakarta.[11]
- Masa Orde Lama.
Dalam rangka usaha ke arah kesatuan dalam bidang peradilan secara
menyeluruh dan pelaksanaan Hukum Keluarga Islam di Indonesia melaaui Penetapan
Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1951 diadakan pengangkatan pegawai di lingkungan Peradilan Agama untuk pelaksanaan
Hukum Keluarga Islam terseut. Melalui Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
juga merupakan landasan yang kuat untuk penyeenggaraan Hukum Islam melalui
Peradilan Agama.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang
pembentukan Pengadilan Agama / Mahkmah Syari’ah di daerah luar Jawa dan Madura
serta sebagian Kalimantan Selatan yang mulai berlaku tangal 9 Oktober 1957
merupakan awal pengakuan Hukum Islam secara nyata.
- Masa Odre Baru.
Pemerintahan Orde baru untuk menjalankan Ketetapan MPRS Nomor
XIX/MPRS/1966 jo. Nomor XXXIX/MPRS/1968, maka untuk itu disyhkan Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan
undang-undang ini keberadaan Peradilan Agama sebagai pelaksanaan Hukum Islam
semakin kokoh, bahkan kedudukannya disejajarkan dengan badan peradilan lannya.
Kekokohan pelaksanaannya bertambah ketika disahkan dan
diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974
tentang Perkawinan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Peraturan Pelaksannannya pada tanggal 1 April 1975 yang mulai berlaku secara
efektif tanggal 1 Oktober 1975. dan disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977 beserta peraturannya (bidang wakaf ). Dengan diundangkannya
peraturan ini sebagai bukti bahwa eksistensi Hukum Keluarga di Indonesia
memperkokoh keberadaanya di Indonesia.
Pada akhirnya sebagai puncak dari kekohan dan kemapanan Hukum Islam
di Indonesia adalah dengan disahkan dan diundangkannya Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 pada tanggal 27 Desember 1989 Peradilan Agama yang memuat tentang
kompetensi Peradilan Agama dalam bidang perkawinan, waris, hibah, sedekah dan
wasiat serta hokum acaranya. Bahkan untuk pelaksanaanya Pengadialn Agama sudah
dapat menjalankan putusannya (eksekusi) tanpa memerlukan pengkuhan oleh Pengadilan
Negeri.
Sepanjang pemerintah Orde Baru, keberadaan Lembaga Peradilan Agama
sebagai satu pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman pembinaann dan pengawasannya
dilakukan oleh dua lembaga yakni Yudikatif oleh Mahkamah Agung RI dan Eksekutif
oleh Departemen Agama RI.[12]
UUPA merupakan hukum formal secara teoritik untuk mengabdi kepada
hukum material, akan tetapi karena belum ada dahulu sampai saat itu hukum mana
yang dipergunakan bagi Pengadilan Agama, maka untuk kepeluan itu Kompilasi
Hukum Islam disusun untuk mendorong lahirnya Hukum Keluarga Islam di Indonesia.
Dan pada tnggal 10 Juni 1991 Nomor 1 Tahun 1991 Presdien menandatangani INPRES
secara formal berlakulah Komplasi Hukum Islam di seluruh Indonesia sebagi hokum
materiil yang dipergunakan di lingkungan Peradilan Agama.
- Masa Reformasi.
Pemerintah Reformasi Pembangunan keberadaan seperti di atas tidak
relevan, untuk itu badan-badan peradilan pembinaanya sepatutnya hanya dilakukan
oleh Mahkamah Agng baik teknis, organisasi, administarsi dan keuangannya. Untuk
terpenuhinyahal dimaksud, maka diadakan perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 pada tanggal 30 Juli 1999.
Pemisahan kekuasaan Yudikatidf dan Eksekutif tidak lain adalah memantapkan
posisi Lembaga Peradilan Agama untuk pelaksanaan Hukum Keluarga Islam di
Indonesia.
Pada era reformasi Pemerintah RI memberikan keweanangan kepada
Provinsi NAD untuk melaksanakan syariat
Islam engan Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus NAD, maka melalui Pengaturan Pemerintah Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) terhadap seluruh d bidang Syari’ah yang mencakup bidang
aqidah, ibadah dan syiar Islam yang diatur mellaui Qanun Nomor 10 Tahun 2002
dan Nomor 11 Tahun 2002. Dalam Qanun ini diatur mulai dari bentuknya sampai
sanksi atas pelanggaran terhadapnya, suatu bukti pengakuan pemerintah terhadap
Hukum Keluarga Islam.
Kemudian pada tahun 2004 Pemerintah mengsahkan Undang-undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2006 lahir pula aturan pelaksanaan hukum wakaf yang merupakan salah satu bentuk
Hukum Keluarga Islam di Indonesia.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang
perubahan undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menambah
kokoh eksistensi Hukum Keluarga di Indonesia, yaitu dengan bertambahnya
kompetensi obsolut Pengadilan Agama dibidang Ekonomi Syaria’h.
Dan pada saat ini sedang dirancang Hukum Terapan Peradilan Agama
(bidang Perkawinan dan Kewarisan), yang pada kenyataannya masih terdapat tarik
ulur antara eksekutif dan yudikatif dan wallahu’allam ………entah bagaimana akhir
sejarah perjalan Hukum Keluarga Islam di Indonesia, kita lihat sejarah
perjalannya ke depan nanti.
Realisasi kehendak Undang-undang tersebut yakni terlepasnya
kekuasaan Eksekutif atas Badan Peradilan Agama dan Badan-badan Peradilan
lainnya di bidang keuangan, organisasi dan finansial bagi Peradilan Agama
setelah 58 tahun berada di bawah kekuasaan Eksekutif, tepatnya pada tanggal 30
Juni 2004 berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Keputusan Presiden
Nomor 21 Tahun 2004 Pengadilan Agama dialihkan ke bawah Mahkamah Agung RI,
pengalihan inilah populer dengan istilah satu atap (one roof system)
yang sepanjang Pemerintahan Orde Baru di mana kekuasaan Negara didominasi oleh
kekuasaan Eksekutif atau dikenal dengan ungkapan executive heavy,
sehingga dengan peraturan tersebut di atas Peradilan Agama pembinaan;
Organisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Agama ke
Mahkamah Agung berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2004.
Kemudian pada tahun 2006 dengan diberlakukan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 yang merupakan revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Peradilan Agama
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman untuk penyelenggaraan penegakkan
hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan dalam perkara tertentu antara
orang-orang yang beragama Islam dalam Pasal 49 disebutkan bahwa:
“Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang;
perkawinan, waris,wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi
syari'ah”.[13]
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 49 tersebut dikatakan:
“Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah”
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syari’ah, antara lain meliputi[14] bank syari’ah, lembaga keuangan mikro
syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi
syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah,
pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
dan bisnis syari’ah”.
Dengan penegasan kewenangan tersebut memberikan dasar hukum kepada
pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu termasuk pelanggaran atas
Undang-undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaanya, juga memperkuat landasan
hukum Mahkamah Syariah melaksanakan kompetensinya di bidang jinayah
berdasarkan qanun. Bahkan kompetensi pengadilan agama diperluas dalam
bidang sengketa ekonomi syariah, pilihan hukum (opsi) dalam kewarisan
dinyatakan dihapus. Dan dalam lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan
pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undang-undang,[15]
yakni pengadilan syariah Islam yang diatur tersendiri dengan undang-undang
yaitu Mahkamah Syari’ah di Provinsi NAD yang dibentuk dengan Undang-undang
Otonomi Khusus.[16]
Demikian juga sengketa hak milik atau sengketa perdataan lain
antara orang-orang yang beragama Islam dan non Islam mengenai sengketa objek
sengketa, maka menurut ketentuan Undang-undang Peradilan Agama dapat langsung
diputus oleh pengadilan agama.[17]
Kewenangan lainnya dalam perkara wasiat, wakaf, zakat dan infaq, dan kewenangan
baru bidang perkawinan penetapan pengangkatan anak serta memberikan isbat
kesaksian rukyat hilal dan kewenangan yang masih tetap dipertahankan
yakni dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukum
Islam kepada instansi pemerintah. Sementara untuk mempertegas kewenangan di
bidang ekonomi syariah diundangkan pula Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah tanggal 16 Juli 2008[18]
dimana sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut pengadilan agama.
Sebagai upaya untuk penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan
mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated justice system), maka
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman perlu diganti. Sehingga lahirlah
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Dengan diundangkan Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009, maka membawa perubahan pula terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana yang dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 dan menjadi perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, pada
dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan
peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem
peradilan yang terpadu (integrated
justice system),terlebih
Peradilan Agama secara konstitusional merupakan badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung.
Perubahan signifikan dapat dilihat pada penguatan pengawasan hakim
(internal oleh Mahkamah Agungdan exsternal oleh Komisi Yudisial), memperketat
persyaratan pengangkatan hakim, pengaturan mengenai peradilan khusus[19]
dan hakim ad hoc, pengaturan mekanisme dan tata cara pengangatan dan
pemberhentian hakim, keamanan dan kesejahteraan hakim, transparansi putusan dan
limitasi pemberian salinan putusan, transparansi biaya perkara, bantuan hukum
serta Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim mentaati Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.
B.
Sebab-sebab
Berkembang Hukum Keluarga Islam.
Sebab-sebab hanya Hukum Keluarga Islam saja yang dapat berkembang
sedangkan yang lain belum adalah Persoalannya karena Sistem Hukum Islam yang
lain (seperti masalah ekonomi Islam dan jinayat) terlalu lama ditinggalkan
umatnya. Berbagai sistem pemerintahan yang ada di dunia Islam mulai dari masa
kolonial penjajah hingga saat ini (dunia barat) termasuk Indoensia, penjajah senantiasa
selalu mencoba memisahkan Islam dari dunia ekonomi dan yang lainnya (kecuali
hokum keluarga bidang munakahat).. Demikian juga halnya umat Islam di Indonesia terlalu lama hidup
dalam lingkaran kolonial (barat) yang membawa danpak dalam tatanan ekonomi umat
Islam di Indonesia dan hokum yang lainnya. Sejak zaman kolonial, awal kemerdekaan dan pasca kemerdekaan sampai
saat ini bangsa Indonesia telah mencoba
untuk mengeksiskan nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan, namun selalu
mendapat tantangan karena dianggap akan mendirikan Negara Islam, walau setahap
demi setahap mulai menampakan kemajuan dengan telah mulainya dalam bentuk
formal peraturan hukum nasional juga telah dicoba digagas oleh pembuat
undang-undang.
Dalam kenyataan sejarah setelah kedatangan Belanda, pada masa VOC (Verenigde
Oost Indishe Compagnie) tahun 1602-1800 berfungsi sebagai pedagang dan
badan pemerintahan, karena dalam prateknya susunan badan peradilan yang
disandarkan pada Hukum Belanda tidak berjalan. VOC membiarkan lembaga-lembaga
asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya.
Sehingga Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam yang digunakan dalam
menyelesaikan sengketa di kalangan umat Islam yaitu Compendium Freijer.
Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, sikap terhadap hukum Islam
mulai berubah secara berlahan dan sistematis yaitu pada masa Pemerintahan
Belanda / Deandels tahun 1808-1811 Hukum Islam adalah hukum asli orang pribumi.
Pada masa Pemerintahan Inggeris / Thomas S. Rafles (1811-1816) bahwa hukum yang
berlaku di kalangan rakyat adalah Hukum Islam. Setelah Indonesia kembali kepada
Pemerintahan Belanda ada usaha Belanda untuk menghilangkan pengaruh Islam dari
sebagian besar orang Indonesia. Untuk mengekalkan kekuasaanya, Belanda
melaksanakan politik hukum yang dengan standar hendak menata dan mengubah hukum
di Indonesia dengan hukum Belanda. Pada masa abad ke-19 berkembang pendapat,
bahwa di Indonesia berlaku Hukum Islam. Setelah Indonesia merdeka kedudukan
Hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia terbagi dalam dua periode yaitu a)
Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasive dengan
proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945 walaupun di
dalamnya tidak dimuat tujuh kata Piagam Jakarta. ; b) Periode penerimaan Hukum
Islam sumber otoritatif aturan
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, sistem Hukum Nasional yang berlaku sekarang
ini berasal dari beberapa sistem hukum diantaranya Hukum Islam.
Kenyataannya sampai sekarang hukum-hukum yang belum dapat
berkembang karena lintas sejarah tersebut di atas, terutama dengan hukum
kewarisan karena beragama hukum kewarisan yang berlaku dalam masyarakat adat di
Indonesia dan ekonomi syariah karena masih dominannya sistem ekonomi
konvensional dan sistem ekonomi kapitalis di Indonesia.
Footnote:
[1] Zaini Ahmad
Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di
Indonesia, Bina Ilmu, Suravbaya, 1983, hlm. 29.
[2] ASA, Sejarah
Peradilan Agama, Serial Media Dakwah, Jakarta, 1981, hlm. 35.
[3] Idris Ramulyo
M, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum
Perkawinan Islam, Ind-Hill Co, Jakartya, 1985, hlm.8.
[4] Asa, Loc.Cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Sayuti Thalib,
Receptio A Contrario, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 5.
[8] Zaini Ahmad
Noeh dan Abdul Basit, Op. Cit, hlm.34.
[9] Ibid,
hlm.38.
[10] Ibid,
hlm.21.
[11] Al Hikmah
& Ditbinpera Islam, Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, Nomor 59 Tahun
XIV 2003 (Januari-Februari), hlm. 21-22.
[12] Ibid,
hlm. 24.
[13] Undang-undang
Nomor 3 tahun 2006 tenang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
[14] Ibid,
Penjelasan pasal demi pasal.
[15] Pasal 3A dan
Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan perubahan kedua dengan Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009.
[16] Lihat Pasal 15
ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-undang ini dihapus dengan
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009,.
[17] Lihat Pasal 50
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009.
[18] Pasal 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
[19] Pengkhususan
Peradilan adalah diferensisasi / spesialisasi di lingkungan pengadilan
agama dimana dapat dibentuk pengadilan khusus, misalnya pengadilan arbitrase syariah, pengadilan
niaga syariah, pengadilan tindakan kejahatan ekonomi syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini