Selasa, 02 Agustus 2011

IKHTISAR PERTUMBUHAN SEJARAH HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA

A.   Perkembangan Hukum Keluarga Islam Dari Masa Ke Masa
Pertumbuhan dan Perkembaagan Hukum Islam (Hukum Keluarga) di Indonesia dapat dibagi dalam beberapa periodesasi sebagai berikut :
  1. Masa Islam Masuk ke Indonesia (Keadaan masyarakat Indonesia masih menganut agama Hindu dan Budha).
Sebelum kedatangan Islam Indonesia belum terdapat sebuah sistem hukum tentang Hukum Keluarga, sebelumnya terdapat berbagai pandangan budaya dan agama yang mempunyai ciri sendiri-sendiri. Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 atau 8 Masehi melalui samudra Pasai yang dibawa oleh Pedagang Gujarab India, dan ada yang berpendapat Saudagar Arab, yang pad akhirnya kerajaan yang yang ada menyatakan dirinya memeluk agama Islam.
Hukum Islam berlaku sejak Islam itu masuk, yang aplikasi hokum Islam secara ringkas dapat dilihat dengan adanya lembaga Peradilan Agama pada abad ke 7 dan 8 Masehi.[1], Peradilan Agama sebagai praktek hukum Islam masih bersifat Tahkim yakni suatu penyerahan kepada seseorang Muhakkam guna menyelesaikan suatu hukum atas sengketa (hukum keluarga), yang pengangkatannya berdasarkan ba’iat yang dinamakan Ahlu Hili wal Aqdli.
Perkembangannya Islam sebagai agama dan hukum dominant dalam masyakat yang dimulai Islam ditetapkan sebagai agama resmi pada Kerjaan Demak sekitar abad ke 15 Masehi.[2] Dan akirnya diikuti beberapa daerah di Indonesia seperti Sultan Aceh, Pagaruyung, Bonjol, Pajang, Pasai dan lain-lain memberlakukan Islam sebagai agama resmi dan hukum negaranya.[3] Akhirnya puncak dominasi hukum Islam berlaku di zaman Kerjaaan Mataram di tangan Sultan Agung sekitar tahun 1750 M.[4] Dalam keadaan demikian bentuk pelaksanaan hukum Islam di peradilan tidak memakai istilah Tahkim, melainkan meingkat menjdi qadli (hakim). 

  1. Masa VOC.
Ketika Belanda masuk ke Indonesia melalui VOC, yakni sebuah wadah dagang bangsa Belanda eksistensi hukum Islam tidak dapat mereka sepelekan. Meskipun akhirnya VOC semakin kokoh tidak dapat menekan dan membendung pelaskanaan hukum Islam (pidana dan perdata) yang menjadi keyakinan hidup. 

  1. Masa Indonesia dijajah Kolonial Belanda.
Masuknya Belanda melalui VOC yang sasarannya untuk menjajah Nusantara, upaya penghapusan hukum Islam sama sekali yang dilakukan secara terus-menerus hanya mampu pada bidang pidana,[5]dengan mengdakan aturan pemisahan antara peradilan keduniawian (wewldlijke rechtpraak) yang dilakukan oleh pengadilan-pengadilan Gubernemen dengan Peradilan Agama. Untuk bidang perdata (hukum keluarga) karena telah begitu mapannya dilaksanakan, maka tetapi dibiarkan hidup dan berjalan sendiri ditangani oleh Peradilan Agama. Kenyataan itu dapat dilihat dalam satu Instruksi bulan September 1808 M bahwa Ulama dibiarkan untuk memutus perkara-perkara tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan……….[6]
Ikut campur mendalaman Pemerintah Kolonial atas pelaksanaan hukum keluarga Islam baru mulai tahun 1820 M sebagaimana tertuang dalam Stbl. 1820 Nomor 24 Pasal 13 yang diperjelas oleh Stbl. 1835 Nomor 58., yang intinya sengekata perkawinan, bagaian harta dan sengekata sejenis harus diputus menurut Hukum Islam, dan gugatan mendapatkan pembayaran harus diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa.
Bahkan atas usul LWC Van Den berg (1845-1927) dengan terinya “reception in complexu” yaitu suatu pafam yng mengatakan bahwa hukum bagi orang Indonesia mengikuti agamanya[7] pada akhirnya Pemerintah Kolonial memebrikan aturan formal dalam undang-undang yang lebih konkrit atas pelaksanaan Hukum Islam, yang diwujudkan dalam Stbl. 1882 Nomor 152 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dengan nama Priesterraden. Sedangkan di luar Jawa dan Madura masih diserahkan kepada Peraturan-peraturan Adat maupun Swapraja.
Berbeda dengan LWC Van den Berg, penganut dan pencetus teori recepstio in complexu, adalah C.Snouck Hurgronye (1857-1936), ahli Hukum Adat, mencetuskan teori baru yaitu yang belaku din Indoensia adalah hukum Adat, pengarug Hukum Islam itu, baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh Hukum Adat dan dengan demikian lahirlah dia sebagai Hukum Adat bukan sebagai Hukum Islam.[8]
Berdasarkan teorinya bahwa keluarnya Stbl.  1882 Nomor 152 merupakan kesalahan yang patut disesalkan, seharusnya dibiarkan terus berjalan secara liar tanpa campur tangan Pemerintah, sehingga keputusan-keptusannya tidak perlu memperoleh kekuatan undang-undang.[9] Secara sistematis hukum agama yang berlaku bagi orang Islam mulai diubah dan dipersempit ruang geraknya dalam kehidupan masyarakat sehingga menimbulkan banyak reaksi dan kekecewaan umat Islam.
Berdasarkan Stbl. 1992 Nomor 221 dalam hal terjadi perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukun adat mereka menghendaki dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonassi, dengan demikian Hukum Keluarga Islam telah dicabut dari Tata Hukum Hindia Belanda.
Melalui Stbl. 1931 Nomor 53 terjadi penggurangan wewenang bagi Pengadilan Agama mengadli Hukum Keluarga Islam yang tinggal mengenai persengketaan-persengketaan di bidang nikah, talak, rujuk, perceraian dan hal-hal yang berhubungan dengan itu seperti mahar dan nafkah isteri. Sedangkan bidang untuk hadlanah, waris, wakaf dan lan-lainnya dicabut dan selanjutnya diserahkan kepada Landraad. Meskipun tidak sempat diberlakukan, namun akhirnya dikeluarkan ordonantie baru berupa Stbl. 1937 Nomor 116 yang diberlakukan mulai tanggal 1 April 1937 yang pada intinya mengurangi kewenangan Pengadialn Agama dalam mengadili perkara sengketa perdata Islam.
Kemudian Pemerintah Kolonial mengeluarkan Stb. 1937 Nomor 610 tentang pembentukan Mahkmah Islam Tinggi yang berkedudukan di Jakarta sebagai Pengadilan Agama Tingkat Banding untuk Jawa dan Madura yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1938.[10] Pada 21 Desember 1937 dikeluarkan ordonansi beruapa Tbl. 1937 Nomor 368 dan 369 tentang pengaturan dan pembentukan Kadigerecht disebagian Daerah Kalimantan dan Het Opperkadigerecht mulai berlaku tanggal 1 Januari 1938.

  1. Masa Pemerintah Jepang.
Sampai akhir masa kekuasaan Kolonial Belanda tidak semapat mengatur Pengadilan Agama untuk selain Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan tersebut sehingga keberadaannya untuk daerah tersebut tetap didasarkan kepada peraturan-peraturan Adat maupun Swapraja.
Selama kekuasaan Jepang di Indonesia (1942-1945) keadaan Hukum Keluarga Islam tidak ada perubahan mendasar kecuali penyesuaian nama Peangadilan Agama menjadi Sooryoo Hoin untuk Pengadilan Agama / Kerapatan Kadi dan Kaiyo Kooto Hoin untuk Mahkamah Islam Tinggi / Kerapatan Kadi Besar. Keadaan seperti ini karena kesibukannya dalam menghadapi peperangan dimana-mana selama pemerintahannya di Indonesia sehingga Hukum Keluarga Islam belum sempat dikotak katik oleh Jepang.

  1. Masa Kemerdekaan.
Berdasarkan Pasal II Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 masih didasarkan kepada Stbl. 1882 Nomor 152 jo. Stbl. 1937 Nomor 116 dan 610 pelaksanaan Hukum Islam masih diberlakukan melalui Peradilan Agama terhadap daerah-daerah secara de facto dikuasai oleh Pemerintah Indonesia. Sedangkan untuk daerah-daerah yang dikuasai oleh tentara sekutu dan Belanda beberpa tempat didirikan Pengadilan Agama dengan nama Penghulu Gerechten sebagai pengganti Priesteraaden, untuk tingkat banding Majelis Ulama, untuk mengimbangi Mahkmah Islam Tinggi yang telah dipindahkan ke Surakarta.[11]
  1. Masa Orde Lama.
Dalam rangka usaha ke arah kesatuan dalam bidang peradilan secara menyeluruh dan pelaksanaan Hukum Keluarga Islam di Indonesia melaaui Penetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1951 diadakan pengangkatan pegawai  di lingkungan Peradilan Agama untuk pelaksanaan Hukum Keluarga Islam terseut. Melalui Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 juga merupakan landasan yang kuat untuk penyeenggaraan Hukum Islam melalui Peradilan Agama.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama / Mahkmah Syari’ah di daerah luar Jawa dan Madura serta sebagian Kalimantan Selatan yang mulai berlaku tangal 9 Oktober 1957 merupakan awal pengakuan Hukum Islam secara nyata.

  1. Masa Odre Baru.
Pemerintahan Orde baru untuk menjalankan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 jo. Nomor XXXIX/MPRS/1968, maka untuk itu disyhkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan undang-undang ini keberadaan Peradilan Agama sebagai pelaksanaan Hukum Islam semakin kokoh, bahkan kedudukannya disejajarkan dengan badan peradilan lannya.
Kekokohan pelaksanaannya bertambah ketika disahkan dan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksannannya pada tanggal 1 April 1975 yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. dan disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 beserta peraturannya (bidang wakaf ). Dengan diundangkannya peraturan ini sebagai bukti bahwa eksistensi Hukum Keluarga di Indonesia memperkokoh keberadaanya di Indonesia.
Pada akhirnya sebagai puncak dari kekohan dan kemapanan Hukum Islam di Indonesia adalah dengan disahkan dan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 pada tanggal 27 Desember 1989 Peradilan Agama yang memuat tentang kompetensi Peradilan Agama dalam bidang perkawinan, waris, hibah, sedekah dan wasiat serta hokum acaranya. Bahkan untuk pelaksanaanya Pengadialn Agama sudah dapat menjalankan putusannya (eksekusi) tanpa memerlukan pengkuhan oleh Pengadilan Negeri.
Sepanjang pemerintah Orde Baru, keberadaan Lembaga Peradilan Agama sebagai satu pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman pembinaann dan pengawasannya dilakukan oleh dua lembaga yakni Yudikatif oleh Mahkamah Agung RI dan Eksekutif oleh Departemen Agama RI.[12]
UUPA merupakan hukum formal secara teoritik untuk mengabdi kepada hukum material, akan tetapi karena belum ada dahulu sampai saat itu hukum mana yang dipergunakan bagi Pengadilan Agama, maka untuk kepeluan itu Kompilasi Hukum Islam disusun untuk mendorong lahirnya Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Dan pada tnggal 10 Juni 1991 Nomor 1 Tahun 1991 Presdien menandatangani INPRES secara formal berlakulah Komplasi Hukum Islam di seluruh Indonesia sebagi hokum materiil yang dipergunakan di lingkungan Peradilan Agama.

  1. Masa Reformasi.
Pemerintah Reformasi Pembangunan keberadaan seperti di atas tidak relevan, untuk itu badan-badan peradilan pembinaanya sepatutnya hanya dilakukan oleh Mahkamah Agng baik teknis, organisasi, administarsi dan keuangannya. Untuk terpenuhinyahal dimaksud, maka diadakan perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 pada tanggal 30 Juli 1999. Pemisahan kekuasaan Yudikatidf dan Eksekutif tidak lain adalah memantapkan posisi Lembaga Peradilan Agama untuk pelaksanaan Hukum Keluarga Islam di Indonesia.
Pada era reformasi Pemerintah RI memberikan keweanangan kepada Provinsi NAD  untuk melaksanakan syariat Islam engan Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus NAD, maka melalui Pengaturan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) terhadap seluruh d bidang Syari’ah yang mencakup bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam yang diatur mellaui Qanun Nomor 10 Tahun 2002 dan Nomor 11 Tahun 2002. Dalam Qanun ini diatur mulai dari bentuknya sampai sanksi atas pelanggaran terhadapnya, suatu bukti pengakuan pemerintah terhadap Hukum Keluarga Islam.
Kemudian pada tahun 2004 Pemerintah mengsahkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 lahir pula aturan pelaksanaan hukum wakaf yang merupakan salah satu bentuk Hukum Keluarga Islam di Indonesia.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menambah kokoh eksistensi Hukum Keluarga di Indonesia, yaitu dengan bertambahnya kompetensi obsolut Pengadilan Agama dibidang Ekonomi Syaria’h.
Dan pada saat ini sedang dirancang Hukum Terapan Peradilan Agama (bidang Perkawinan dan Kewarisan), yang pada kenyataannya masih terdapat tarik ulur antara eksekutif dan yudikatif dan wallahu’allam ………entah bagaimana akhir sejarah perjalan Hukum Keluarga Islam di Indonesia, kita lihat sejarah perjalannya ke depan nanti.
Realisasi kehendak Undang-undang tersebut yakni terlepasnya kekuasaan Eksekutif atas Badan Peradilan Agama dan Badan-badan Peradilan lainnya di bidang keuangan, organisasi dan finansial bagi Peradilan Agama setelah 58 tahun berada di bawah kekuasaan Eksekutif, tepatnya pada tanggal 30 Juni 2004 berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 Pengadilan Agama dialihkan ke bawah Mahkamah Agung RI, pengalihan inilah populer dengan istilah satu atap (one roof system) yang sepanjang Pemerintahan Orde Baru di mana kekuasaan Negara didominasi oleh kekuasaan Eksekutif atau dikenal dengan ungkapan executive heavy, sehingga dengan peraturan tersebut di atas Peradilan Agama pembinaan; Organisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2004.
Kemudian pada tahun 2006 dengan diberlakukan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang merupakan revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama   sebagai pelaku kekuasaan kehakiman untuk penyelenggaraan penegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan dalam perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam dalam Pasal 49 disebutkan bahwa:
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; perkawinan, waris,wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah  dan ekonomi syari'ah.[13]
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 49 tersebut dikatakan:
“Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi[14]  bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.
Dengan penegasan kewenangan tersebut memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu termasuk pelanggaran atas Undang-undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaanya, juga memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah melaksanakan kompetensinya di bidang jinayah berdasarkan qanun. Bahkan kompetensi pengadilan agama diperluas dalam bidang sengketa ekonomi syariah, pilihan hukum (opsi) dalam kewarisan dinyatakan dihapus. Dan dalam lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undang-undang,[15] yakni pengadilan syariah Islam yang diatur tersendiri dengan undang-undang yaitu Mahkamah Syari’ah di Provinsi NAD yang dibentuk dengan Undang-undang Otonomi Khusus.[16]
Demikian juga sengketa hak milik atau sengketa perdataan lain antara orang-orang yang beragama Islam dan non Islam mengenai sengketa objek sengketa, maka menurut ketentuan Undang-undang Peradilan Agama dapat langsung diputus oleh pengadilan agama.[17] Kewenangan lainnya dalam perkara wasiat, wakaf, zakat dan infaq, dan kewenangan baru bidang perkawinan penetapan pengangkatan anak serta memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dan kewenangan yang masih tetap dipertahankan yakni dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah. Sementara untuk mempertegas kewenangan di bidang ekonomi syariah diundangkan pula Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tanggal 16 Juli 2008[18] dimana sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut pengadilan agama.
Sebagai upaya untuk penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated justice system), maka Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman perlu diganti. Sehingga lahirlah Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Dengan diundangkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, maka membawa perubahan pula terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan menjadi perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system),terlebih Peradilan Agama secara konstitusional merupakan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Perubahan signifikan dapat dilihat pada penguatan pengawasan hakim (internal oleh Mahkamah Agungdan exsternal oleh Komisi Yudisial), memperketat persyaratan pengangkatan hakim, pengaturan mengenai peradilan khusus[19] dan hakim ad hoc, pengaturan mekanisme dan tata cara pengangatan dan pemberhentian hakim, keamanan dan kesejahteraan hakim, transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan, transparansi biaya perkara, bantuan hukum serta Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim mentaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

B.    Sebab-sebab Berkembang Hukum Keluarga Islam.
Sebab-sebab hanya Hukum Keluarga Islam saja yang dapat berkembang sedangkan yang lain belum adalah Persoalannya karena Sistem Hukum Islam yang lain (seperti masalah ekonomi Islam dan jinayat) terlalu lama ditinggalkan umatnya. Berbagai sistem pemerintahan yang ada di dunia Islam mulai dari masa kolonial penjajah hingga saat ini (dunia barat) termasuk Indoensia, penjajah senantiasa selalu mencoba memisahkan Islam dari dunia ekonomi dan yang lainnya (kecuali hokum keluarga bidang munakahat).. Demikian juga halnya   umat Islam di Indonesia terlalu lama hidup dalam lingkaran kolonial (barat) yang membawa danpak dalam tatanan ekonomi umat Islam di Indonesia dan hokum yang lainnya. Sejak zaman kolonial,  awal kemerdekaan dan pasca kemerdekaan sampai saat ini bangsa Indonesia  telah mencoba untuk mengeksiskan nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan, namun selalu mendapat tantangan karena dianggap akan mendirikan Negara Islam, walau setahap demi setahap mulai menampakan kemajuan dengan telah mulainya dalam bentuk formal peraturan hukum nasional juga telah dicoba digagas oleh pembuat undang-undang.
Dalam kenyataan sejarah setelah kedatangan Belanda, pada masa VOC (Verenigde Oost Indishe Compagnie) tahun 1602-1800 berfungsi sebagai pedagang dan badan pemerintahan, karena dalam prateknya susunan badan peradilan yang disandarkan pada Hukum Belanda tidak berjalan. VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. Sehingga Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa di kalangan umat Islam yaitu Compendium Freijer.
Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, sikap terhadap hukum Islam mulai berubah secara berlahan dan sistematis yaitu pada masa Pemerintahan Belanda / Deandels tahun 1808-1811 Hukum Islam adalah hukum asli orang pribumi. Pada masa Pemerintahan Inggeris / Thomas S. Rafles (1811-1816) bahwa hukum yang berlaku di kalangan rakyat adalah Hukum Islam. Setelah Indonesia kembali kepada Pemerintahan Belanda ada usaha Belanda untuk menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia. Untuk mengekalkan kekuasaanya, Belanda melaksanakan politik hukum yang dengan standar hendak menata dan mengubah hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Pada masa abad ke-19 berkembang pendapat, bahwa di Indonesia berlaku Hukum Islam. Setelah Indonesia merdeka kedudukan Hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia terbagi dalam dua periode yaitu a) Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasive dengan proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945 walaupun di dalamnya tidak dimuat tujuh kata Piagam Jakarta. ; b) Periode penerimaan Hukum Islam sumber otoritatif  aturan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, sistem Hukum Nasional yang berlaku sekarang ini berasal dari beberapa sistem hukum diantaranya Hukum Islam.
Kenyataannya sampai sekarang hukum-hukum yang belum dapat berkembang karena lintas sejarah tersebut di atas, terutama dengan hukum kewarisan karena beragama hukum kewarisan yang berlaku dalam masyarakat adat di Indonesia dan ekonomi syariah karena masih dominannya sistem ekonomi konvensional dan sistem ekonomi kapitalis di Indonesia.

Footnote:

[1] Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama Islam di Indonesia, Bina Ilmu, Suravbaya, 1983, hlm. 29.
[2] ASA, Sejarah Peradilan Agama, Serial Media Dakwah, Jakarta, 1981, hlm. 35.
[3] Idris Ramulyo M, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Ind-Hill Co, Jakartya, 1985, hlm.8.
[4] Asa, Loc.Cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 5.
[8] Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit, Op. Cit, hlm.34.
[9] Ibid, hlm.38.
[10] Ibid, hlm.21.
[11] Al Hikmah & Ditbinpera Islam, Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum, Nomor 59 Tahun XIV 2003 (Januari-Februari), hlm. 21-22.
[12] Ibid, hlm. 24.
[13] Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tenang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
[14] Ibid, Penjelasan pasal demi pasal.
[15] Pasal 3A dan Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
[16] Lihat Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-undang ini dihapus dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009,.
[17] Lihat Pasal 50 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
[18] Pasal 55  Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[19] Pengkhususan Peradilan adalah diferensisasi / spesialisasi di lingkungan pengadilan agama dimana dapat dibentuk pengadilan khusus, misalnya  pengadilan arbitrase syariah, pengadilan niaga syariah, pengadilan tindakan kejahatan ekonomi syariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini