Firman Allah dalam QS. Al Qadr ayat 1-5
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (١) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (٢) لَيْلَةُ
الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (٣) تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا
بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (٤) سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (٥)
1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam
kemuliaan[1].
2. dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? 3. malam kemuliaan itu lebih
baik dari seribu bulan. 4. pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat
Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. 5. malam itu (penuh)
Kesejahteraan sampai terbit fajar.
1.
Apa Dimaksud Lailatul Qadar.
Pembicaraan tentang Lailatul Qadar tidak pernah selesai karena unik
dan menarik. Lailatul Qadar mengandung dua pengertian. [2]
Pertama: malam saat turunnya Alquran. Allah SWT, berfirman, "Inna
anzalnahu fi lailatil qadri" (Sesungguhnya Aku telah menurunkannya
(Alquran) itu pada Lailatul Qadar) Q.S. Al-Qadar: Lailatulqadri di
sini bermakna "Malam yang penuh berkah." Hal ini jika dihubungkan
dengan firman-Nya, "Inna anzalnahu fi lailatin mubarakatain"
(Sesungguhnya Aku telah menurunkannya Alquran pada malam yang penuh berkah). Q.S.
Ad-Dukhan:3. "Berkah" berarti kebaikan yang banyak.
Lailatul Qadar dalam pengertian ini terjadi pada bulan Ramadhan dan
terjadi hanya satu kali. Allah berfirman, "Syahru Ramadana alladzi
unzila fihi Alquran" (Bulan Ramadan adalah bulan yang padanya diturunkan
Alquran) Q.S. Al-Baqarah:185. Tentang tanggalnya masih ada ikhtilaf (perbedaan
pendapat) di antara para ulama, sebagian besar ulama menyatakan Lailatul Qadar
itu terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. Hal ini didasarkan pada firman Allah, "In
kuntum amantum billahi wa ma anzalna 'ala 'abdina yaumal furqan, yaumaltaqal
jam'ani" (Jika kamu beriman kepada Allah dan terhadap apa yang Kami
turunkan kepada hamba Kami pada hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua
pasukan) Q.S. Al-Anfal:41. Yang dimaksud dengan "hari pertemuan
dua pasukan" yaitu saat terjadinya Perang Badar, yang diyakini terjadi
pada hari Jumat tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriah. Sahabat Ibnu Abbas
r.a. menjelaskan bahwa Alquran yang diturunkan pada Lailatul Qadar pada bulan
Ramadhan (dari Lauh Mahfudz) ke langit dunia sekaligus atau seluruhnya;
baru kemudian secara berangsur diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. (R.
At-Thabrani).
Kedua, Lailatul Qadar dalam pengertian sebuah malam penuh berkah yang
datang pada setiap bulan Ramadhan. Pengertian ini didasarkan kepada hadis yang
berbunyi, "Suila Rasulullah saw. 'an lailatul qadri, Fa qala, hiya fi
kulli Ramadana" (Nabi saw. ditanya tentang Lailatul qadar, baliau
menjawab, lailatul qadar ada pada setiap bulan Ramadan) H.R. Abu Daud.
Mengenai Lailatul Qadar dalam pengertian ini tidak ditemukan keterangan yang
menunjukkan tanggal yang pasti. Menurut sahabat Ubadah bin Shamit dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Nabi saw. pada suatu hari ke luar
menemui para sahabatnya untuk memberi tahu tentang kapan Lailatul Qadar itu
adanya, tapi karena ada dua orang sahabat yang malah ribut, maka beliau tidak
jadi memberitahukannya, beliau malah akhirnya menganjurkan, "Faltamisuha
fit tasi'ati, was-sabta'ati, wal-khamisati" (Carilah olehmu pada tanggal
21 atau 23 atau 25).
Di hadis lain dari Siti Aisyah riwayat Imam Al-Bukhari, Nabi saw.
memerintahkan, "Taharrau lailatul qadri fil-witri minal 'asyril
awakhiri min Ramadhana" (Carilah Lailatul qadar itu pada tanggal-tanggal
gasal dari sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan). Menurut riwayat Imam
Muslim dijelaskan bahwa Nabi saw. jika memasuki sepuluh hari terakhir dari
bulan Ramadhan beliau meningkatkan kegiatannya, menghidupkan malamnya dengan
mengurangi tidur dan membangunkan keluarganya. Malah beliau menyunatkan untuk
berkitikaf di masjid selama sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Di
antara hikmah tidak diberitahukannya tanggal yang pasti tentang Lailatul Qadar
ini mungkin tidak lepas dari karakteristik ajaran Islam yang memotivasi umatnya
untuk rajin bekerja dan beribadah, seperti diperintahkan Allah, "Fa
idza faraghta fanshab" (Apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka
carilah urusan yang lain) Q.S. Al-Insyirah:7.
Bisa dibayangkan jika Nabi saw. waktu itu jadi memberitahu tentang
tanggal yang pasti datangnya Lailatul Qadar itu, mungkin akan terjadi banyak
orang yang melaksanakan salat tarawih, tadarus dan sebagainya hanya pada
malam itu saja. Tentang fadilah atau keutamaan dan berkah Lailatul Qadar
antara lain:
a.
Nabi saw. bersabda,
"Barang siapa yang melaksanakan salat qiyamu Ramadhan (salat tarawih) pada
malam Lailatul Qadar dengan dasar iman dan mengharap rida Allah, maka akan
diampuni dosanya yang telah lalu". (H.R. Al-Bukhari);
b.
Nabi saw. bersabda,
"Apabila datang Lailatul Qadar, Malaikat Jibril bersama malaikat lainnya
turun ke bumi mendoakan kepada setiap hamba yang berzikir dan berdoa kepada
Allah, Allah menyatakan kepada para malaikat bahwa Allah akan memenuhi doanya.
Allah berfirman, "Pulanglah kamu sekalian, Aku telah mengampuni dosa
kalian dan Aku telah mengganti kejelekan dengan kebaikan". Maka mereka
pulang dan telah mendapatkan ampunan-Nya. (H.R. Al-Baihaqi dari Anas bin Malik).
Kedua hadis itu menunjukkan kepada kita bahwa bagi yang
melaksanakan salat tarawih, memperbanyak zikir, doa dan istighfar, bertepatan
Lailatul Qadar dengan hati yang ikhlas, dengan cara yang benar sesuai dengan
tuntunan Rasulullah saw. dan dengan khusyuk, insya Allah baginya akan
mendapatkan ampunan-Nya. Sesuatu yang senantiasa menjadi harapan dan dambaan
setiap insan mukmin. Karena dengan ampunan-Nya itulah seseorang akan
mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi, yakni
kebahagiaan di akhirat kelak. Tidak diketemukan keterangan yang sahih dan
sharikh (jelas) tentang ciri-ciri atau tanda-tanda bahwa malam itu adalah
Lailatul qadar, kecuali hadis riwayat Muslim yang menyatakan bahwa jika malam
itu adalah Lailatul Qadar maka pagi harinya matahari terbit dengan cuaca yang
cerah. Artinya baru diketahui setelah Lailatul Qadar itu lewat. Hikmah dari
dirahasiakannya Lailatul Qadar ini antara lain kita didorong dan dimotivasi untuk
mengisi malam-malam Ramadhan khususnya pada sepuluh hari terakhir dengan
berbagai amal saleh seperti, tarawih, tadarus Alquran, doa dan istighfar.
Siti Aisyah pernah bertanya kepada Nabi saw. tentang doa yang bisa
dibaca jika bertemu dengan Lailatul Qadar, Nabi saw. menyuruhnya untuk membaca,
"Allahumma innaka 'afuwun tuhibbul 'afwa fa' fu 'anni" (Ya Allah,
sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan menyukai sifat pemaaf, maka maafkanlah
segala dosa hamba) -H.R. Ahmad.
2.
Misteri Lailatul Qadar.
Berbicara[3]
tentang Lailatul Qadar mengharuskan kita berbicara tentang surat Al-Qadar.
Surat Al-Qadar adalah surat ke-97 menurut urutannya dalam Mushaf.
Ia ditempatkan sesudah surat Iqra’. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia
turun jauh sesudah turunnya surat Iqra’. Bahkan sebagian di antara mereka
menyatakan bahwa surat Al-Qadar turun setelah Nabi Saw. berhijrah ke Madinah.
Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah
Swt dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan. Kalau dalam surat Iqra’ Nabi Saw (demikian pula
kaum Muslim) diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain
adalah Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat Al-Qadar
ini berbicara tentang turunnya Al-Quran, dan kemuliaan malam yang
terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.
Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak
keistimewaan, salah satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh
Al-Quran “lebih baik dari seribu bulan”. Tetapi apa dan bagaimana malam itu?
Apakah ia terjadi sekali saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran 15 abad yang
lalu, atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang masa? Bagaimana
kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya,
dan benarkah ada tanda-tanda fisi material yang menyertai kehadirannya (seperti
membekunya air, heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan sebagainya)?
Bahkan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan
dengan malam Al-Qadar itu. Yang pasti dan harus
diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran bahwa, “Ada suatu
malam yang bernama Lailat Al-Qadar, dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh
berkah, dimana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh
kebijaksanaan.”
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada
suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu
dijelaskan semua urusan yang penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami
(QS. Al-Dukhan: 3-5). Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan,
karena kitab suci menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan
Ramadhan (QS Al-Baqarah: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr: 1).
Malam tersebut adalah malam mulia. tidak mudah diketahui betapa besar
kemuliaannya. Hal ini disyaratkan oleh adanya “pertanyaan” dalam bentuk
pengagungan, yaitu: “Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan
itu?” (QS. Al-Qadr: 2)
Tiga belas kali kalimat ma adraka
terulang dalam Al-Quran, sepuluh diantaranya mempertanyakan tentang kehebatan
yang berkait dengan hari kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum al-fashl,
dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal
pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Tiga
kali ma adraka sisa dari angka tiga belas itu adalah: “Tahukah kamu apakah yang datang pada malam
hari itu?” (QS. Al-Thariq: 2). Tahukah kamu apakah
jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad: 12). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS.
Al-Qadr: 2).
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran
berkaitan dengan objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat,
dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia.
Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma
adraka dan ma yudrika yang juga digunakan Al-Quran dalam tiga ayat. “Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit
itu adalah dekat waktunya?” (QS. Al-Ahzab: 63). “Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu
(sudah) dekat?” (QS. Al-Syura: 17). “Tahukah kamu
barangkali ia ingin membersihkan diri (dan dosa)?” (QS. ‘Abasa: 3).
Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan ma
yudrika menyangkut waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga berkaitan
dengan kesucian jiwa manusia. Ketiga hal tersebut tidak mungkin diketahui
manusia. Secara gamblang Al-Quran –demikian pula
As-Sunnah– menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari
kiamat, tidak pula mengetahui tentang~perkara yang ghaib. Ini berarti
bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak
mungkin diketahui walau oleh Nabi Saw. sendiri. Sedang wa ma adraka,
walau berupa pertanyaan namun pada akhirnya Allah Swt. menyampaikannya kepada
Nabi Saw. sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Demikian
perbedaan kedua kalimat tersebut. Ini berarti bahwa
persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah
Saw., karena disanalah kita dapat memperoleh informasinya. Kembali kepada
pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti malam Qadar, dan mengapa
malam itu dinamai demikian? Disini ditemukan berbagai jawaban. Kata qadar sendiri
paling tidak digunakan untuk tiga arti:
1.
Penetapan dan
pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah
bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan
firman Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama yang
memahami penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran yang turun pada malam
Lailat Al-Qadar, diartikan bahwa pada malam itu Allah Swt. mengatur
dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw guna
mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan
perjalanan sejarah umat manusia bagi sebagai individu maupun kelompok.
2.
Kemuliaan. Malam tersebut
adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih
sebagai malam turunnya Al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari
segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadar yang berarti mulia ditemukan
dalam surat Al-An’am: 9 yang berbicara tentang kaum musyrik: Mereka itu tidak
memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa
Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.
3.
Sempit. Malam tersebut
adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti
yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan
Ruh ((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara lain dalam
surat Ar-Ra’d: 26: “Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan
mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya). Ketiga arti tersebut pada
hakikatnya dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam
mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada
malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan.
Namun demikian, sebelum kita melanjutkan bahasan tentang Laitat Al-Qadar, maka
terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah
setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad
yang lalu?
Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu
diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat mempercayai
bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi
Muhammad Saw maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam
mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam
tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran. Pakar
hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang
menyatakan bahwa Nabi Saw pernah bersabda bahwa malam qadar sudah tidak
akan datang lagi. Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena
mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang
menunjukkan bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan.
Bahkan Rasululllah Saw menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa
menyambut malam mulia itu, secara khusus pada malam-malam ganjil setelah
berlalu dua puluh Ramadhan.
Memang turunnya Al-Quran 15 abad yang lalu terjadi pada malam
Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa ketika itu saja malam
mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan
karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam
itu sendiri. Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata
kerja mudhari’ (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung
arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang. Nah,
apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga
(tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang
menduganya demikian. Namun dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal
itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik
untuk menyambutnya maupun tidak. Disisi lain berarti bahwa kehadirannya
ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat
demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Seandainya,
sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun takkan
ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna
menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan
dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih
kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu
tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap
orang disana mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas
kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?
Demikian juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan
menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan
itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam
terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang
berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran
dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan
itu pula sebabnya Rasul Saw menganjurkan sekaligus mempraktekkan i’tikaf
(berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan. Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat
Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat
qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa
mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih
kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu,
malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai
terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian.
(Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).
Syaikh Muhammad ‘Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali
tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. ‘Abduh memberi ilustrasi berikut:
Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik
dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang
terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang
pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata
lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu. Yang
membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang membisikkan
keburukan adalah setan atau paling tidak, kata ‘Abduh, penyebab adanya bisikan
tersebut adalah malaikat atau setan.
Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang
mempersiapkan diri menyambutnya, menjadikan yang bersangkutan akan selalu
disertai oleh malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan
kebaikan-kebaikan, dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan
damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar, tapi sampai
akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak. Di atas telah
dikemukakan bahwa Nabi Saw menganjurkan sambil mengamalkan i’tikaf di masjid
dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala
aktivitas kebajikan bermula di masjid. Di masjid pula seseorang diharapkan
merenung tentang diri dan masyarakatnya, serta dapat menghindar dari hiruk
pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan
pengetahuan dan pengkayaan iman. Itu sebabnya ketika melaksanakan i’tikaf,
dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan
lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.
Malam Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah
ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan
masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Ar-Ruh
(Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan
total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.
Karena itu pula beliau mengajarkan kepada umatnya, dalam rangka menyambut
kehadiran Lailat Al-Qadar itu, antara lain adalah melakukan i’tikaf. Walaupun
i’tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama saja –bahkan
dalam pandangan Imam Syafi’i, walau sesaat selama dibarengi oleh niat yang
suci– namun Nabi Saw selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir
bulan puasa. Disanalah beliau bertadarus dan merenung sambil
berdoa.
Salah satu doa yang paling sering beliau
baca dan hayati maknanya adalah: “Wahai Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, dan
peliharalah kami dan siksa neraka”. (QS Al-Baqarah: 201). Doa ini bukan
sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan
akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam
berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang
disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan
dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas
dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak. Adapun
menyangkut tanda alamiah, maka Al-Quran tidak menyinggungnya. Ada
beberapa hadis mengingatkan hal tersebut, tetapi hadis tersebut tidak
diriwayatkan oleh Bukhari, pakar hadis yang dikenal melakukan penyaringan
yang cukup ketat terhadap hadis Nabi Saw.
Muslim, Abu Daud, dan Al-Tirmidzi antara
lain meriwayatkan melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab, sebagai berikut: “Tanda
kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih
tanpa sinar”. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan: “Tandanya adalah
langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin dan
tidak pula panas…” Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena
itu kita dapat berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailat
Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan. Semoga malam
mulia itu berkenan mampir menemui kita.
3.
Keutamaan Lailatul Qadar.
Cukuplah untuk
mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya
malam itu lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al
Qadr ayat 1-5, tersebut di atas. Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan
nan penuh hikmah firman Allah dalam QS. Ad Dukhoon: 3-6:
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (٣)فِيهَا
يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (٤)أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا
مُرْسِلِينَ (٥)رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (٦)
3. Sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[4]
dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. 4. pada malam itu dijelaskan
segala urusan yang penuh hikmah[5],
5. (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya Kami adalah yang
mengutus rasul-rasul, 6. sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah yang
Maha mendengar lagi Maha mengetahui,
4.
Waktu Lailatul Qadar.[6]
Diriwayatkan dari
Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bahwa malam tersebut terjadi pada malam
tanggal 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. (Pendapat-pendapat
yang ada dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Al Iraqi telah mengarang satu
risalah khusus diberi judul Syarh Shadr bidzkri Lailatul Qadar,
membawakan perkatan para ulama dalam masalah ini, lihatlah). Imam Syafi’i
berkata : “Menurut pemahamanku, wallahu a’lam, Nabi Shalallahu 'alaihi
wasallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau :
“Apakah kami mencarinya di malam hari?”, beliau menjawab : “Carilah di malam
tersebut.”. (Sebagaimana dinukil al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (6/388).
Pendapat yang paling
kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada malam terakhir bulan Ramadhan,
berdasarkan hadits ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, dia berkata : Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan
dan beliau bersabda : (yang artinya) “Carilah malam Lailatur Qadar di (malam
ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”. (HR Bukhari 4/255 dan
Muslim 1169)
Jika seseorang
merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari
terakhir, karena riwayat Ibnu Umar (dia berkata) Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wassalam bersabda (yang artinya) : “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika
tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR Bukari
4/221 dan Muslim 1165). Ini menafsirkan sabdanya : (yang artinya): “Aku
melihat mimpi kalian telah terjadi, maka barangsiapa ingin mencarinya, carilah
pada tujuh hari yang terakhir.” (Lihat maraji’ diatas). Telah diketahui
dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah
bin Shamit Radiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam
keluar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau
bersabda : “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam
Laitul Qadar, tetapi fulan dan fulan (dua orang) berdebat hingga diangkat tidak
bisa lagi diketahui kapan lailatul qadar terjadi), semoga ini lebih baik bagi
kalian, maka carilah pada malam 29,27,25 (dan dalam riwayat lain : tujuh,
sembilan, lima). (HR Bukhari 4/232).
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan
bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya
menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya
umum, sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih
diutamakan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan
bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan,
tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah. Maka dengan
ini, cocoklah hadits-hadits tersebut, tidak saling bertentangan, bahkan bersatu
tidak terpisahkan.
5.
Mencari Lailatul Qadar.
Sesungguhnya malam
yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka
sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan
kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya).
Oleh karena itu, dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat
ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh
keimanan dan mengharapkan pahalaNya yang besar, jika (telah) berbuat demikian
(maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan
Muslim 759).[7]
1. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam
Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “ Barangsiapa berdiri
(shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala
dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” yang telah lalu.
(HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759)
2. Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada
malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha,
(dia) berkata: “Aku bertanya, Ya Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam),
Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang
harus aku ucapkan ?”. Beliau menjawab, “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul
‘afwa fa’fu ‘annii. Ya Allah, Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang
meminta ampunan, maka ampunilah aku.” (HR Tirmidzi (3760), Ibnu Majah
(3850), dari Aisyah, sanadnya shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi
Wadhaifi Ramadhan, halaman 55-57, karya ibnu Rajab al Hanbali.)
3. Saudaraku – semoga Allah memberkahimu dan
memberi taufiq kepadamu untuk mentaatiNya – engkau telah mengetahui bagaimana
keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk
menegakkan sholat) pada sepuluh malam hari terakhir, menghidupkannya dengan
ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu untuk itu
dan perbanyaklah amalan ketaatan.
4. Dari Aisyah Radiyallahu ‘anha, “Adalah
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam apabila masuk pada sepuluh hari
(terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (menjauhi wanita yaitu
istri-istrinya karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencari Lailatul
Qadar), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR Bukhari
4/233 dan Muslim 1174).
5. Juga dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, (dia
berkata) : “Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersungguh-sungguh
(beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir), yang tidak pernah
beliau lakukan pada malam-malam lainnya.” (HR Muslim 1174).
6.
Tanda-tanda Lailatul Qadar.
Ketahuilah hamba
yang taat mudah-mudahan Allah menguatkanmu dengan ruh dariNya dan membantu
dengan pertolonga-Nya sesungguhnya
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam menggambarkan paginya malam Lailatul
Qadar agar seorang muslim mengetahuinya. [8]
1. Dari Ubay Radiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Pagi hari
malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyilaukan, seperti bejana
hingga meninggi.” (HR Muslim 762).
2. Dari Abu Hurairah, ia berkata: Kami
menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam
beliau bersabda: (yang artinya) “Siapa diantara kalian yang ingat ketika
terbit bulan, seperti syiqi jafnah.” (HR Muslim 1170. Perkataannya “Syiqi
Jafnah”, syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al Qadli
‘Iyadh berkata : ”Dalam hadits ini ada isyarata bahwa malam Lailatul Qadar
hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika
terbit kecuali di akhir-akhir bulan.”)
3. Dan dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu, ia
berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “(Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang
indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya
sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.” (HR Thyalisi (349), Ibnu Khuzaimah
(3/231), Bazzar (1/486), sanadnya hasan).
Diantara kita
mungkin pernah mendengar tanda-tanda malam lailatul qadar yang telah tersebar
di masyarakat luas. Sebagian kaum muslimin awam memiliki beragam khurofat dan
keyakinan bathil seputar tanda-tanda lailatul qadar, diantaranya: pohon sujud,
bangunan-bangunan tidur, air tawar berubah asin, anjing-anjing tidak
menggonggong, dan beberapa tanda yang jelas bathil dan rusak. Maka dalam
masalah ini keyakinan tersebut tidak boleh diyakini kecuali berdasarkan atas
dalil, sedangkan tanda-tanda di atas sudah jelas kebathilannya karena tidak
adanya dalil baik dari al-Quran ataupun hadist yang mendukungnya. Lalu
bagaimanakah tanda-tanda yang benar berkenaan dengan malam yang mulia ini ?[9]
Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam pernah mengabarkan kita di beberapa sabda beliau tentang
tanda-tandanya, yaitu:[10]
a. Udara dan suasana pagi yang tenang. Ibnu Abbas radliyallahu’anhu
berkata: Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Lailatul qadar
adalah malam tentram dan tenang, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu
dingin, esok paginya sang surya terbit dengan sinar lemah berwarna merah” (Hadist hasan).
b.
Cahaya mentari
lemah, cerah tak bersinar kuat keesokannya. Dari Ubay bin
Ka’ab radliyallahu’anhu,
bahwasanya Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Keesokan hari
malam lailatul qadar matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar bak nampan” (HR Muslim).
c.
Terkadang
terbawa dalam mimpi. Seperti yang terkadang dialami oleh sebagian sahabat Nabi radliyallahu’anhum.
d.
Bulan nampak separuh bulatan Abu Hurairoh
radliyallahu’anhu pernah bertutur: Kami pernah berdiskusi tentang
lailatul qadar di sisi Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam, beliau berkata, “Siapakah dari
kalian yang masih ingat tatkala bulan muncul, yang berukuran separuh nampan.” (HR. Muslim).
e. Malam yang terang, tidak panas, tidak dingin,
tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang
dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan). Sebagaimana
sebuah hadits, dari Watsilah bin al-Asqo’ dari Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam: “Lailatul qadar adalah malam yang terang, tidak
panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan
tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi
setan)” (HR. at-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabir 22/59 dengan sanad
hasan).
f. Orang yang beribadah pada malam tersebut
merasakan lezatnya ibadah, ketenangan hati dan kenikmatan bermunajat kepada
Rabb-nya tidak seperti malam-malam lainnya.
7.
Amalan Untuk Mendapatkan Lailatul Qadar.
Lailatul qadar
merupakan malam kemulian yang diperkirakan turun pada sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan terutama pada malam-malam ganjil. Ummat Islam dianjurkan
menghidupkan malam-malam ganjil tersebut.
Untuk menghidupkan malam-malam tersebut, dapat dilakukan dengan berbagai
cara, seperti memperbanyak shalat sunat, memperbanyak zikir, membaca Alquran
serta mengagungkan nama Allah SWT.
Lebih bagus jika
dilakukan dengan cara beri’tikaf di masjid sambil melakukan ibadah-ibadah
sunnah tersebut. Bagi kaum muslimin yang meraih malam kemulian lailatul qadar,
akan terasa dalam dirinya ketenangan dan kekhusukan beribadah serta diiringi
suasana alam yang sejuk, tiada hujan atau panas pada pagi harinya. Bagi mereka
yang dianugerahi malam lailatul qadar akan mendapat kan kebahagian serta
kemakmuran dunia dan akhirat atau dengan kata lain perubahan dalam hidupnya.
[1] Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam
Lailatul Qadr yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, karena pada
malam itu permulaan turunnya Al Quran.
[2]
Sumber: http://darmanonline.blogspot.com/2007/09/memburu-lailatul-qadar.html , Penulis Ketua PP
Persatuan Islam.
[3] Sumber : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat Oleh : Dr. M. Quraish Shihab, M.A. dan http://fnoor.wordpress.com/2008/09/02/misteri-lailatul-qadar.
[4] Malam yang diberkahi ialah malam Al Quran
pertama kali diturunkan. di Indonesia umumnya dianggap jatuh pada tanggal 17
Ramadhan.
[5] Yang
dimaksud dengan urusan-urusan di sini ialah segala perkara yang berhubungan
dengan kehidupan makhluk seperti: hidup, mati, rezki, untung baik, untung buruk
dan sebagainya.
[6] Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=757
[7] Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=757
[8] Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=757
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan
Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal
Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii
Ramadhan, Bab "Malam Lailatul Qadar". Penulis Syaikh Salim bin Ied
Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah
cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia)
[9]Sumber
http://maramissetiawan.wordpress.com/2008/09/19/tanda-tanda-malam-lailatul-qadar-dan-koreksi-terhadapnya
[10] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini