Selasa, 23 Agustus 2011

MENGINTAI MALAM SERIBU BULAN (LAILATUL QADAR)


Firman Allah dalam QS. Al Qadr ayat 1-5
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (١) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (٢) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (٣) تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (٤) سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (٥)
1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan[1]. 2. dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? 3. malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. 4. pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. 5. malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar.
1.    Apa Dimaksud Lailatul Qadar.
Pembicaraan tentang Lailatul Qadar tidak pernah selesai karena unik dan menarik. Lailatul Qadar mengandung dua pengertian. [2]
Pertama: malam saat turunnya Alquran. Allah SWT, berfirman, "Inna anzalnahu fi lailatil qadri" (Sesungguhnya Aku telah menurunkannya (Alquran) itu pada Lailatul Qadar) Q.S. Al-Qadar: Lailatulqadri di sini bermakna "Malam yang penuh berkah." Hal ini jika dihubungkan dengan firman-Nya, "Inna anzalnahu fi lailatin mubarakatain" (Sesungguhnya Aku telah menurunkannya Alquran pada malam yang penuh berkah). Q.S. Ad-Dukhan:3. "Berkah" berarti kebaikan yang banyak.
Lailatul Qadar dalam pengertian ini terjadi pada bulan Ramadhan dan terjadi hanya satu kali. Allah berfirman, "Syahru Ramadana alladzi unzila fihi Alquran" (Bulan Ramadan adalah bulan yang padanya diturunkan Alquran) Q.S. Al-Baqarah:185. Tentang tanggalnya masih ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, sebagian besar ulama menyatakan Lailatul Qadar itu terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. Hal ini didasarkan pada firman Allah, "In kuntum amantum billahi wa ma anzalna 'ala 'abdina yaumal furqan, yaumaltaqal jam'ani" (Jika kamu beriman kepada Allah dan terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan) Q.S. Al-Anfal:41. Yang dimaksud dengan "hari pertemuan dua pasukan" yaitu saat terjadinya Perang Badar, yang diyakini terjadi pada hari Jumat tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriah. Sahabat Ibnu Abbas r.a. menjelaskan bahwa Alquran yang diturunkan pada Lailatul Qadar pada bulan Ramadhan (dari Lauh Mahfudz) ke langit dunia sekaligus atau seluruhnya; baru kemudian secara berangsur diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. (R. At-Thabrani).
Kedua, Lailatul Qadar dalam pengertian sebuah malam penuh berkah yang datang pada setiap bulan Ramadhan. Pengertian ini didasarkan kepada hadis yang berbunyi, "Suila Rasulullah saw. 'an lailatul qadri, Fa qala, hiya fi kulli Ramadana" (Nabi saw. ditanya tentang Lailatul qadar, baliau menjawab, lailatul qadar ada pada setiap bulan Ramadan) H.R. Abu Daud. Mengenai Lailatul Qadar dalam pengertian ini tidak ditemukan keterangan yang menunjukkan tanggal yang pasti. Menurut sahabat Ubadah bin Shamit dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Nabi saw. pada suatu hari ke luar menemui para sahabatnya untuk memberi tahu tentang kapan Lailatul Qadar itu adanya, tapi karena ada dua orang sahabat yang malah ribut, maka beliau tidak jadi memberitahukannya, beliau malah akhirnya menganjurkan, "Faltamisuha fit tasi'ati, was-sabta'ati, wal-khamisati" (Carilah olehmu pada tanggal 21 atau 23 atau 25).
Di hadis lain dari Siti Aisyah riwayat Imam Al-Bukhari, Nabi saw. memerintahkan, "Taharrau lailatul qadri fil-witri minal 'asyril awakhiri min Ramadhana" (Carilah Lailatul qadar itu pada tanggal-tanggal gasal dari sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan). Menurut riwayat Imam Muslim dijelaskan bahwa Nabi saw. jika memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan beliau meningkatkan kegiatannya, menghidupkan malamnya dengan mengurangi tidur dan membangunkan keluarganya. Malah beliau menyunatkan untuk berkitikaf di masjid selama sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Di antara hikmah tidak diberitahukannya tanggal yang pasti tentang Lailatul Qadar ini mungkin tidak lepas dari karakteristik ajaran Islam yang memotivasi umatnya untuk rajin bekerja dan beribadah, seperti diperintahkan Allah, "Fa idza faraghta fanshab" (Apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka carilah urusan yang lain) Q.S. Al-Insyirah:7.
Bisa dibayangkan jika Nabi saw. waktu itu jadi memberitahu tentang tanggal yang pasti datangnya Lailatul Qadar itu, mungkin akan terjadi banyak orang yang melaksanakan salat tarawih, tadarus dan sebagainya hanya pada malam itu saja. Tentang fadilah atau keutamaan dan berkah Lailatul Qadar antara lain:
a.    Nabi saw. bersabda, "Barang siapa yang melaksanakan salat qiyamu Ramadhan (salat tarawih) pada malam Lailatul Qadar dengan dasar iman dan mengharap rida Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu". (H.R. Al-Bukhari);
b.    Nabi saw. bersabda, "Apabila datang Lailatul Qadar, Malaikat Jibril bersama malaikat lainnya turun ke bumi mendoakan kepada setiap hamba yang berzikir dan berdoa kepada Allah, Allah menyatakan kepada para malaikat bahwa Allah akan memenuhi doanya. Allah berfirman, "Pulanglah kamu sekalian, Aku telah mengampuni dosa kalian dan Aku telah mengganti kejelekan dengan kebaikan". Maka mereka pulang dan telah mendapatkan ampunan-Nya. (H.R. Al-Baihaqi dari Anas bin Malik).
Kedua hadis itu menunjukkan kepada kita bahwa bagi yang melaksanakan salat tarawih, memperbanyak zikir, doa dan istighfar, bertepatan Lailatul Qadar dengan hati yang ikhlas, dengan cara yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. dan dengan khusyuk, insya Allah baginya akan mendapatkan ampunan-Nya. Sesuatu yang senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap insan mukmin. Karena dengan ampunan-Nya itulah seseorang akan mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi, yakni kebahagiaan di akhirat kelak. Tidak diketemukan keterangan yang sahih dan sharikh (jelas) tentang ciri-ciri atau tanda-tanda bahwa malam itu adalah Lailatul qadar, kecuali hadis riwayat Muslim yang menyatakan bahwa jika malam itu adalah Lailatul Qadar maka pagi harinya matahari terbit dengan cuaca yang cerah. Artinya baru diketahui setelah Lailatul Qadar itu lewat. Hikmah dari dirahasiakannya Lailatul Qadar ini antara lain kita didorong dan dimotivasi untuk mengisi malam-malam Ramadhan khususnya pada sepuluh hari terakhir dengan berbagai amal saleh seperti, tarawih, tadarus Alquran, doa dan istighfar.
Siti Aisyah pernah bertanya kepada Nabi saw. tentang doa yang bisa dibaca jika bertemu dengan Lailatul Qadar, Nabi saw. menyuruhnya untuk membaca, "Allahumma innaka 'afuwun tuhibbul 'afwa fa' fu 'anni" (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan menyukai sifat pemaaf, maka maafkanlah segala dosa hamba) -H.R. Ahmad.

2.    Misteri Lailatul Qadar.
Berbicara[3] tentang Lailatul Qadar mengharuskan kita berbicara tentang surat Al-Qadar. Surat  Al-Qadar  adalah surat ke-97 menurut urutannya dalam Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surat Iqra’. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat Iqra’. Bahkan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat Al-Qadar turun setelah Nabi Saw. berhijrah ke Madinah. Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah Swt dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan. Kalau dalam surat Iqra’ Nabi Saw (demikian pula kaum Muslim) diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat Al-Qadar ini  berbicara tentang turunnya Al-Quran, dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.
Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan, salah satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran “lebih baik dari seribu bulan”. Tetapi apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran 15 abad yang lalu, atau terjadi setiap bulan Ramadhan  sepanjang masa? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya, dan benarkah ada tanda-tanda fisi material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan sebagainya)? Bahkan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu. Yang pasti dan harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran bahwa, “Ada suatu malam yang bernama Lailat Al-Qadar, dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh berkah, dimana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan.”
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS. Al-Dukhan: 3-5). Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr: 1). Malam  tersebut adalah malam mulia. tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Hal ini disyaratkan oleh  adanya “pertanyaan” dalam bentuk pengagungan, yaitu: Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?” (QS. Al-Qadr: 2)
Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran, sepuluh diantaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang berkait dengan hari kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum al-fashl, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau  enggan berkata  mustahil dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari angka tiga belas itu adalah: “Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?” (QS. Al-Thariq: 2). Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad: 12). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS. Al-Qadr: 2).
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan dengan objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat, dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Walaupun demikian,  sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma  adraka dan ma yudrika yang juga digunakan Al-Quran dalam tiga ayat. “Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah dekat waktunya?” (QS. Al-Ahzab: 63). “Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat?” (QS. Al-Syura: 17). Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan dosa)?” (QS. ‘Abasa: 3).
Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan ma  yudrika menyangkut waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.  Ketiga hal tersebut tidak mungkin diketahui manusia. Secara gamblang Al-Quran –demikian pula As-Sunnah– menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, tidak pula mengetahui tentang~perkara yang ghaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walau oleh Nabi Saw. sendiri. Sedang wa ma adraka, walau berupa pertanyaan namun pada akhirnya Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Demikian perbedaan kedua kalimat tersebut. Ini berarti bahwa persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena disanalah kita dapat memperoleh informasinya. Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai demikian?  Disini ditemukan berbagai jawaban.  Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
1.    Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran yang turun pada malam Lailat Al-Qadar, diartikan bahwa pada malam itu Allah  Swt.  mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw guna mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia bagi sebagai individu maupun kelompok.
2.    Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih  sebagai  malam turunnya Al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadar yang berarti mulia ditemukan dalam surat Al-An’am: 9 yang berbicara tentang kaum musyrik: Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.
3.    Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh ((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara lain dalam surat Ar-Ra’d: 26: “Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya). Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan. Namun demikian, sebelum kita melanjutkan bahasan tentang Laitat Al-Qadar, maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya  adakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu?
Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam  mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia  terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran. Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw pernah  bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi. Pendapat  tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailat  Al-Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan Rasululllah  Saw menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu, secara khusus pada  malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh Ramadhan.
Memang turunnya Al-Quran 15 abad yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti  bahwa ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri. Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari’ (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang. Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Disisi lain berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.  Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang disana mendambakannya. Bukankah ada orang yang  sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?
Demikian juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan  Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul Saw menganjurkan sekaligus mempraktekkan i’tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak  di hari kemudian.  (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).
Syaikh  Muhammad ‘Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. ‘Abduh  memberi ilustrasi berikut: Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu. Yang membisikkan  kebaikan adalah malaikat, sedang  yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak, kata ‘Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan.
Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya, menjadikan yang bersangkutan akan selalu disertai oleh malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan, dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat  Al-Qadar, tapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak. Di atas telah dikemukakan bahwa Nabi Saw menganjurkan sambil mengamalkan i’tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas kebajikan bermula di masjid. Di masjid pula seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya, serta dapat menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan  pengetahuan dan pengkayaan iman. Itu sebabnya ketika melaksanakan i’tikaf, dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.
Malam Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah  Ar-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia. Karena itu pula beliau mengajarkan kepada umatnya, dalam rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu, antara lain adalah melakukan i’tikaf. Walaupun i’tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama saja –bahkan dalam pandangan Imam Syafi’i, walau sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci– namun Nabi Saw selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa.  Disanalah beliau bertadarus dan merenung  sambil berdoa.
Salah satu doa yang  paling  sering  beliau  baca  dan  hayati maknanya adalah: “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami dan siksa neraka”. (QS Al-Baqarah: 201). Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak. Adapun menyangkut tanda alamiah, maka Al-Quran  tidak menyinggungnya. Ada beberapa hadis mengingatkan hal tersebut, tetapi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar hadis yang dikenal  melakukan penyaringan yang cukup ketat terhadap hadis Nabi Saw.
Muslim,  Abu  Daud,  dan  Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab, sebagai berikut: “Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar”. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan: “Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula panas…” Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena itu kita dapat berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan. Semoga malam  mulia itu berkenan mampir menemui kita.
3.    Keutamaan Lailatul Qadar.
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Qadr ayat 1-5, tersebut di atas. Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan nan penuh hikmah firman Allah dalam QS. Ad Dukhoon: 3-6:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (٣)فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (٤)أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ (٥)رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (٦)
3. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[4] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. 4. pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah[5], 5. (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul, 6. sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui,


4.    Waktu Lailatul Qadar.[6]
Diriwayatkan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bahwa malam tersebut terjadi pada malam tanggal 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. (Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Al Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr bidzkri Lailatul Qadar, membawakan perkatan para ulama dalam masalah ini, lihatlah). Imam Syafi’i berkata : “Menurut pemahamanku, wallahu a’lam, Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : “Apakah kami mencarinya di malam hari?”, beliau menjawab : “Carilah di malam tersebut.”. (Sebagaimana dinukil al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (6/388).
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada malam terakhir bulan Ramadhan, berdasarkan hadits ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, dia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda : (yang artinya) “Carilah malam Lailatur Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”. (HR Bukhari 4/255 dan Muslim 1169)
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat Ibnu Umar (dia berkata) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR Bukari 4/221 dan Muslim 1165). Ini menafsirkan sabdanya : (yang artinya): “Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, maka barangsiapa ingin mencarinya, carilah pada tujuh hari yang terakhir.” (Lihat maraji’ diatas). Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam keluar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda : “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Laitul Qadar, tetapi fulan dan fulan (dua orang) berdebat hingga diangkat tidak bisa lagi diketahui kapan lailatul qadar terjadi), semoga ini lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29,27,25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan, lima). (HR Bukhari 4/232).
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum, sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah. Maka dengan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut, tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisahkan.

5.    Mencari Lailatul Qadar.
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu, dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahalaNya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759).[7]
1.  Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “ Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759)
2.    Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, (dia) berkata: “Aku bertanya, Ya Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam), Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?”. Beliau menjawab, “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii. Ya Allah, Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku.” (HR Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850), dari Aisyah, sanadnya shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan, halaman 55-57, karya ibnu Rajab al Hanbali.)
3.   Saudaraku – semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaatiNya – engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan sholat) pada sepuluh malam hari terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu untuk itu dan perbanyaklah amalan ketaatan.
4.    Dari Aisyah Radiyallahu ‘anha, “Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (menjauhi wanita yaitu istri-istrinya karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencari Lailatul Qadar), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR Bukhari 4/233 dan Muslim 1174).
5.    Juga dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, (dia berkata) : “Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir), yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya.” (HR Muslim 1174).

6.    Tanda-tanda Lailatul Qadar.
Ketahuilah hamba yang taat mudah-mudahan Allah menguatkanmu dengan ruh dariNya dan membantu dengan pertolonga-Nya  sesungguhnya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya. [8]
1. Dari Ubay Radiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (HR Muslim 762).
2.  Dari Abu Hurairah, ia berkata: Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam beliau bersabda: (yang artinya) “Siapa diantara kalian yang ingat ketika terbit bulan, seperti syiqi jafnah.” (HR Muslim 1170. Perkataannya “Syiqi Jafnah”, syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al Qadli ‘Iyadh berkata : ”Dalam hadits ini ada isyarata bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan.”)
3.  Dan dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya):  “(Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.” (HR Thyalisi (349), Ibnu Khuzaimah (3/231), Bazzar (1/486), sanadnya hasan).
Diantara kita mungkin pernah mendengar tanda-tanda malam lailatul qadar yang telah tersebar di masyarakat luas. Sebagian kaum muslimin awam memiliki beragam khurofat dan keyakinan bathil seputar tanda-tanda lailatul qadar, diantaranya: pohon sujud, bangunan-bangunan tidur, air tawar berubah asin, anjing-anjing tidak menggonggong, dan beberapa tanda yang jelas bathil dan rusak. Maka dalam masalah ini keyakinan tersebut tidak boleh diyakini kecuali berdasarkan atas dalil, sedangkan tanda-tanda di atas sudah jelas kebathilannya karena tidak adanya dalil baik dari al-Quran ataupun hadist yang mendukungnya. Lalu bagaimanakah tanda-tanda yang benar berkenaan dengan malam yang mulia ini ?[9]
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah mengabarkan kita di beberapa sabda beliau tentang tanda-tandanya, yaitu:[10]
a.   Udara dan suasana pagi yang tenang. Ibnu Abbas radliyallahu’anhu berkata: Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Lailatul qadar adalah malam tentram dan tenang, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu dingin, esok paginya sang surya terbit dengan sinar lemah berwarna merah” (Hadist hasan).
b.   Cahaya mentari lemah, cerah tak bersinar kuat keesokannya. Dari Ubay bin Ka’ab radliyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Keesokan hari malam lailatul qadar matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar bak nampan” (HR Muslim).
c.  Terkadang terbawa dalam mimpi. Seperti yang terkadang dialami oleh sebagian sahabat Nabi radliyallahu’anhum.
d.    Bulan nampak separuh bulatan Abu Hurairoh radliyallahu’anhu pernah bertutur: Kami pernah berdiskusi tentang lailatul qadar di sisi Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam, beliau berkata, “Siapakah dari kalian yang masih ingat tatkala bulan muncul, yang berukuran separuh nampan.” (HR. Muslim).
e.   Malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan). Sebagaimana sebuah hadits, dari Watsilah bin al-Asqo’ dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: “Lailatul qadar adalah malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan)” (HR. at-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabir 22/59 dengan sanad hasan).
f.    Orang yang beribadah pada malam tersebut merasakan lezatnya ibadah, ketenangan hati dan kenikmatan bermunajat kepada Rabb-nya tidak seperti malam-malam lainnya.

7.    Amalan Untuk Mendapatkan Lailatul Qadar.
Lailatul qadar merupakan malam kemulian yang diperkirakan turun pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan terutama pada malam-malam ganjil. Ummat Islam dianjurkan menghidupkan malam-malam ganjil tersebut.  Untuk menghidupkan malam-malam tersebut, dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti memperbanyak shalat sunat, memperbanyak zikir, membaca Alquran serta mengagungkan nama Allah SWT.
Lebih bagus jika dilakukan dengan cara beri’tikaf di masjid sambil melakukan ibadah-ibadah sunnah tersebut. Bagi kaum muslimin yang meraih malam kemulian lailatul qadar, akan terasa dalam dirinya ketenangan dan kekhusukan beribadah serta diiringi suasana alam yang sejuk, tiada hujan atau panas pada pagi harinya. Bagi mereka yang dianugerahi malam lailatul qadar akan mendapat kan kebahagian serta kemakmuran dunia dan akhirat atau dengan kata lain perubahan dalam hidupnya.
Footnoote:

[1] Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadr yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, karena pada malam itu permulaan turunnya Al Quran.
[3] Sumber : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat Oleh : Dr. M. Quraish Shihab, M.A. dan http://fnoor.wordpress.com/2008/09/02/misteri-lailatul-qadar.
[4] Malam yang diberkahi ialah malam Al Quran pertama kali diturunkan. di Indonesia umumnya dianggap jatuh pada tanggal 17 Ramadhan.
[5] Yang dimaksud dengan urusan-urusan di sini ialah segala perkara yang berhubungan dengan kehidupan makhluk seperti: hidup, mati, rezki, untung baik, untung buruk dan sebagainya.
[6] Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=757
[7] Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=757
[8] Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=757 (Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Malam Lailatul Qadar". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia)
[9]Sumber http://maramissetiawan.wordpress.com/2008/09/19/tanda-tanda-malam-lailatul-qadar-dan-koreksi-terhadapnya
[10] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini