A.
Pendahuluan.
Ending akhir dari amalan Ramadhan ialah untuk
mendapatkan predikat muttaqien (QS. Al Baqarah;183). Taqwa menurut
pandangan ilmu tauhid ialah: orang yang mulia di sisi Allah SWT, dan taqwa
dapat bermakna bertemu dengan Allah SWT. Sementara taqwa menurut pandangan ahli
ma'rifat ialah ta’aruf (mengenal), di mana apabila kita sudah
mengenal tentunya akan mudah di dalam mengajukan sesuatu hal atau meminta.
Dapatkah kita meminta sesuatu dari orang yang belum kita kenal? Jawabnya: Dapat
saja, akan tetapi tidak ubahnya dengan seorang pengemis. Dari Hadits Qudsi
dikatakan: "Janganlah kamu menjadi pengemis terhadap Tuhanmu. Bila
ingin kenal dengan-Ku berpuasalah."
Menjadi seorang muslim belum mendapat jaminan dari Allah SWT, yang akan dibela
Allah SWT.
Menjadi orang Islam belum ada jaminan dari Allah SWT akan diampunkan dosanya, bahwa amal ibadahnya
akan diterima, dan akan dapat bantuan dariNya. Karena menjadi seorang muslim
atau seorang Islam itu mudah. Apabila sudah mengucapkan dua kalimat syahadat,
maka tidak boleh dianggap dia itu seorang kafir. Lebih-lebih lagi seseorang itu
sudah shalat, berpuasa, naik haji, kita tidak boleh menuduh orang itu kafir.
Dia termasuk dalam golongan Islam tetapi belum tentu ia seorang bertaqwa.
Setelah menjadi orang bertaqwa baru ada jaminan dan pembelaan dari Allah SWT di dunia dan
di akhirat. Bila jadi orang bertaqwa barulah dosa diampunkan, amal ibadah ini
diterima, dan mendapat pimpinan dari Allah SWT. Bila menjadi
orang bertaqwa pintu rezeki akan terbuka, tidak tahu dari mana datang dan
sumbernya, serta Allah SWT
mudahkan seluruh pekerjaannya. Bila kerja sedikit, hasilnya banyak. Kalau
banyak, lebih banyaklah yang akan diperoleh.
B.
Pengertian Taqwa.
Para ulama
telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar-Raghib
Al-Ashfahani mendefinisikan: “Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang
membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, menjadi
sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan”. Sedangkan Imam
An-Nawawi mendefinisikan taqwa dengan “Mentaati perintah dan laranganNya.”
Maksudnya, menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah SWT. Hal itu sebagaimana
didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani “Taqwa yaitu menjaga diri dari pekerjaan
yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau
meninggalkannya.” Karena itu, siapa yang tidak menjaga dirinya, dari perbuatan
dosa, berarti dia bukanlah orang bertaqwa. Maka orang yang melihat dengan kedua
matanya apa yang diharamkan atau mendengarkan dengan kedua telinganya apa yang
dimurkai, atau mengambil dengan kedua tangannya apa yang tidak diridhai, atau
berjalan ke tempat yang dikutuk Allah SWT, berarti tidak menjaga dirinya dari
dosa. Jadi, orang yang membangkang perintah Allah SWT serta melakukan apa yang
dilarangNya, dia bukanlah termasuk orang-orang yang bertaqwa. Orang yang
menceburkan diri ke dalam maksiat sehingga ia pantas mendapat murka dan siksa
dari Allah SWT, maka ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang
yang bertaqwa.
Taqwa
bukan berarti takut. Taqwa pada Allah SWT bukan berarti takut dengan Allah SWT. Takut hanyalah satu daripada sifat mahmudah yang
terangkum dalam sifat taqwa tetapi ia bukan taqwa. Takut dalam bahasa Arab
ialah khauf atau kasyaf. Taqwa atau ittaqu berasal dari
perkataan biqoyah-baqoyati-wiqoyatan yang artinya terpelihara. Yakni
pemeliharaan dari Allah SWT atau hendaklah jadikan Allah
SWT itu pelindung. Jadikan Allah
SWT itu kubu atau benteng. Bila sudah berada dalam
perlindungan, kubu atau benteng Allah SWT, perkara yang negatif dan berbahaya tidak akan masuk atau
tembus. Taqwa atau wiqoyah telah disalahartikan. Maksudnya telah
disempitkan. Taqwa adalah lebih global dan luas. Taqwa adalah gudang mahmudah
dan merupakan himpunan segala sifat-sifat mahmudah. Di situ ada sabar,
redha, pemurah, berkasih sayang, pemaaf, memberi maaf, meminta maaf dan
sebagainya. Jadi, besarlah arti taqwa. Taqwa membawa keselamatan dunia dan akhirat.
Taqwa bukan sekedar melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Bukan sekedar
menunaikan ketaatan dan menjauhkan kemaksiatan. Bukan sekedar membuat apa yang disuruh dan meninggalkan apa
yang dilarang.
C.
Tingkatan Iman Seorang
Muslim.
Tingkat pertama itu Muslim,
yaitu orang Islam yang mengucapkan dua kalimat syahadat, tapi belum melakukan
yang namanya shalat, puasa, zakat, dan haji. Tingkat kedua itu Mukmin,
yaitu orang beriman telah melakukan yang namanya shalat, puasa, zakat, dan haji
namun masih berbuat maksiat. Tingkat ketiga Muhsin, yaitu orang yang
selalu merasa diawasi oleh Allah SWT dalam kehidupannya namun kadang-kadang
masih ingin pahala. Tingkat keempat Mukhlis, yaitu orang yang ikhlas
tidak mengharapkan apa. Kelima Muttaqin, yakni hanya mengharapkan ridha
Allah SWT. Derajat taqwa merupakan capaian tertinggi dalam tangga pengabdian
seorang hamba kepada Sang Khaliq, karena taqwa merupakan sifat ubudiyah
yang hakiki, di dalamnya tercakup semua aspek kehidupan beragama. Manusia
bertaqwa adalah yang salalu menghadirkan Allah SWT dalam dirinya (Dzikrullah),
ia merasa bahwa pengawasan Allah SWT selalu melekat pada setiap aktivitas
hidupnya (Muraqabatullah) sehingga ia senantiasa berada di atas jalan
ketaatan kepada-Nya dan tidak melanggar aturan-aturan-Nya (Imtitsalul-Awamir
wa ijtinabun-Nawahi).
Taqwa mencakup aspek
keimanan, aspek ibadah, akhlak, baik yang terkait dengan kehidupan sosial,
politik, ekonomi, hukum; pidana dan perdata. Sifat Taqwa tetap harus menjadi
landasan dalam kehidupan setiap individu, keluarga maupun masyarakat, berbangsa
dan bernegara. Dalam aspek keimanan, manusia bertaqwa adalah orang yang yakin
akan kebenaran Islam, bahwa Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu menjadi
solusi (problem solving) bagi segala permasalahan kehidupan, karena
ajaran ini berasal dari sang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui akan segala
rahasia dan hajat yang dibutuhkan oleh manusia dan Maha Mengatur serta
Memelihara segala permasalahan makhluk-Nya. Bangunan keimanan utuh dan tidak
parsial; yakni membenarkan sebagian ajaran Islam dan ingkar kepada sebagian
ajaran yang lain sehinga taqwa sebagai landasan masyarakat ideal baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Allah SWT berfirman QS. Al Baqarah ayat 177:
لَيْسَ
الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ
الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ
وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّين
“Bukanlah
kebajikan itu kalau kamu memalingkan wajah ke timur dan ke barat (untuk mencari
ajaran lain selain Islam), tetapi kebajikan yang sesungguhnya adalah beriman
kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kita, dan nabi-nabi”
Di bidang sosial,
manusia bertaqwa adalah orang yang memiliki kepedulian yang tinggi kepada
lingkungannya, baik sosial maupun alam. Sekalipun ia sangat sayang kepada
hartanya tetapi ia tetap peduli untuk membantu sesamanya yang membutuhkan,
sebagaimana firman Allah SWT:
وَآَتَى
الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ
السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ
“Dan ia
memberikan harta, meskipun ia sangat menyintai hartanya, kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), orang-orang
yang meminta-minta dan untuk memerdekakan hamba sahaya”.
Pada aspek ibadah mahdhah,
orang yang bertaqwa selalu konsisten dalam mengerjakan shalat dan menunaikan
zakat sebagaimana firman Allah SWT:
وَأَقَامَ
الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah
shalat dan bayarkan zakat”.
Manusia bertaqwa pun
adalah mereka yang memiliki integritas kepribadian yang tinggi, teguh dalam
menunaikan amanat dan janjinya, sabar dalam menghadapi berbagai ujian dan
rintangan di jalan perjuangan sebagaimana firman Allah SWT.
وَالْمُوفُونَ
بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ
وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Orang-orang yang
menepati janjinya apabila mereka berjanji, dan sabar dalam keadaan sulit dan
susah serta ditimpa kesulitan mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka
itulah orang-orang yang bertaqwa”.
Pada level
kenegaraan, salah satu bukti ketaqwaan haruslah diimplementasikan dalam bentuk
penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan Ilahi. Karena hanya dengan
ketegasan hukum di semua level masyarakat dan pelaksanaannya yang tanpa pandang
bulu, akan terjamin keamanan, ketenangan dan kelangsungan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara secara adil, sejahtera dan aman sentausa. Dengan
demikian, kehidupan beragama dan ketaqwaan masyarakat menjadi terjamin dan
berkembang secara baik .
D.
Makna Taqwa.
Allah SWT. berfirman
dalam QS. Al Hujarat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ
ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengena”l.
Juga firman Allah
SWT dalam surat yang lain QS. At Taubah ayat 7:
كَيْفَ يَكُونُ لِلْمُشْرِكِينَ عَهْدٌ عِنْدَ
اللَّهِ وَعِنْدَ رَسُولِهِ إِلا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“bagaimana bisa ada Perjanjian (aman) dari sisi Allah dan
RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah
Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam? Maka selama
mereka Berlaku Lurus terhadapmu, hendaklah kamu Berlaku Lurus (pula) terhadap
mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.
Berbicara mengenai
taqwa sudah sering kita dengar dan juga kita baca. Tapi makna sesungguhnya dari
kata taqwa tersebut seringkali kabur dan tidak jelas dalam pemahaman kita.
Selama ini masyarakat muslim memaknai kata taqwa dengan menerjemahkannya ke
dalam bahasa Indonesia menjadi “takut”. Apakah makna demikian benar? Apakah
memang Allah SWT itu harus ditakuti? Dan apakah benar makna taqwa itu adalah
takut? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Kata takut kalau kita cari makna
bahasa Arabnya sepertimana uraian terdahulu adalah 'khawf'. Kata ini juga
terdapat dalam Al-Qur'an. Sebagaimana yang telah kita lacak akar kata 'taqwa'
dalam bahasa Arab, berasal dari kata 'waqaa-yaqii-wiqaayatan'. Ada
pepatah bahasa Arab dalam hal ini yaitu "al-Wiqaayatu khayrun min
al-'ilaaj" (Sikap berhati-hati/menjaga kesehatan lebih baik dari pada
pergi ke dokter). Jadi makna 'taqwa' dari akar kata bahasa Arabnya adalah
'sikap berhati-hati menjaga diri dari perbuatan dosa sekecil apapun, apalagi
dosa besar.
Dari makna di atas
dapat kita tarik kesimpulan bahwa orang-orang yang bertaqwa adalah orang yang
menjaga dirinya dari perbuatan dosa dan kesalahan kecil. Kalau dosa besar itu
sudah keluar dari arena taqwa. Oleh karena itu orang yang terjerumus dalam dosa
besar sudah keluar dari dirinya ketaqwaan kepada Allah SWT.Oleh karena itu,
kita harus kembali ke jalan taqwa, yaitu jalan Allah SWT. Karena Allah SWT
sudah memberikan guide line bahwa hanya taqwalah sebagai bekal yang
paling baik dalam kehidupan kita di dunia dan kehidupan akhirat. Tanpa bekal
taqwa tersebut hidup kita menjadi hampa, tidak karuan, berantakan, hambar,
goncang, tidak ada pegangan dan lain-lain.
E.
Danpak
Taqwa Dalam Kehidupan.
Taqwa adalah bekal untuk dunia dan
hari akhirat. Firman SWT QS. Al Baqarah ayat 197:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
“Berbekallah,
dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai
orang-orang yang berakal”.
Sifat taqwa itu adalah bekalan di hari akhirat dan tidak
boleh dinafikan, itulah yang penting dan asas. Tetapi bagi orang mukmin, taqwa
juga perlu sebagai bekalan untuk dunia. Sebab jalan dan landasan kejayaan di
dunia bagi orang mukmin adalah taqwa. Dengan taqwa dia dibantu Allah SWT. untuk
berjaya dalam berekonomi, dapat kemenangan dalam perjuangan mesti dengan taqwa,
mendapat bantuan dan pertolongan Allah SWT, mestilah berdasarkan taqwa, dan terlepas
dari azab, penderitaan dan bala bencana di dunia mesti dengan sifat taqwa. Di
sinilah kita lihat, bukan saja taqwa itu penting di akhirat tetapi untuk orang
mukmin, mereka juga mendapat bantuan, rahmat, berkat, kejayaan, kemenangan dan
kebahagiaan dari Allah SWT di dunia dengan adanya sifat taqwa. Allah SWT janjikan
kepada orang yang bertaqwa; rezekinya terjamin, lepas dari bencana, diberi
kejayaan, kemenangan, diampuni dosanya, berkah turun dari langit dan muncul
dari permukaan bumi, bantuan dan pembelaan, dilepaskan dari masalah hidup, diberi
ilmu, dan dipermudahkan urusan, serta diwariskan bumi ini. Firman Allah dalam
Al Quran:
وَاللَّهُ
وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ
"Allah jadi pembela (pembantu) bagi orang-orang yang
bertoqwa." (Al Jasiyah: 19).
وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ
السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
“Jikalau
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya”.
وَمَنْ
يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
"Barang siapa bertaqwa kepada Allah, nescaya
dipermudahkan urusannya." (At Thalaq: 4)
وَاتَّقُوا
اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Bertaqwalah kepada Allah, necaya Allah akan mengajar
kamu." (At Baqarah: 282).
وَمَنْ
يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا
يَحْتَسِبُ …
"Barang siapa bertaqwa kepada Allah, Allah akan
lepaskan dia dari masalah hidup dan memberi rezeki dari sumber yang tidak
diduga." (Al Thalaq: 2-3).
أَنَّ
الأرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
"Akan Aku wariskan bumi ini kepada
orang-orang yang bertaqwa." (Al Anbiya: 105)
Kalau tidak ada taqwa, mungkin Allah SWT akan membantu
juga seperti Allah SWT bantu orang-orang kafir. Artinya dapat bantuan dan
pertolongan atas dasar istidraj yaitu atas dasar kutukan dan kemurkaan Allah
SWT diberi dengan tidak redha. Istidraj sebenarnya adalah satu tipuan
dari Allah SWT. Akhirnya nanti akan terjun ke dalam neraka. Dengan kejayaan itu
mereka akan berbuat maksiat dan kemungkaran di atas muka bumi, ia akan rusak
dan merusak. Di sini jelas bagi kita bahwa sifat taqwa itu bukan saja perlu di akhirat
tetapi perlu juga di dunia. Orang kafir Allah SWT menangkan atas dasar quwwah
(kekuatan lahir). Orang mukmin diberi kemenangan atas dasar taqwa.
F.
Syarat
Memperoleh Taqwa.
Untuk memperbaiki diri agar menjadi orang yang
soleh atau orang yang bertaqwa, 8 syarat perlu ditempuh :
1.
Mendapat Petunjuk dari Allah SWT.
Di
sinilah modal utama ke arah taqwa, yaitu Allah SWT memberi hidayah dengan cara
mengetuk pintu hatinya. Dia senang dengan Islam, sayang dengan Islam, suka
dengan Islam, dan terbuka hatinya untuk Islam. Sebut saja Islam terasa indah
dan senang. Rasa terhibur walaupun dia tidak tahu apa itu Islam. Firman Allah:
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ
يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ …….
"Barang
siapa yang Allah kehendaki untuk diberi-Nya petunjuk, maka dilapangkan hatinya
untuk menerima Islam". (Q.S. Al An'am : 125).
Jadi
kalau seseornag itu Allah SWT buka pintu hatinya hingga dia sayang, suka,
minat, terhibur dan senang dengan Islam, maka itulah anak kunci yang pertama
untuk dia bertindak memperbaiki diri. Tetapi kalau hati sudah tertutup, hidayah
sudah tidak dapat, rasa senang hati dengan Islam sudah tidak ada, walau pakar
Islam, hafiz Al Qur'an, hafiz ribuan hadits namun tidak akan
dapat memperbaiki diri. Kenapa ? Dorongan tidak ada. Rasa minat, cinta dan suka
pada Islam, itulah dorongannya. Ibarat orang yang cinta dengan isteri, apa saja
kehendak isterinya akan dituruti dan dia akan berkorban habis-habisan, harta
nyawa sekalipun.
2.
Faham
tentang Islam.
Faham tentang Islam, bukan diberitahu
tentang Islam, bukan diajar tentang Islam, inilah yang dimaksud oleh sabda Rasulullah
SAW: “Barang siapa yang Allah hendak dijadikan dia orang yang baik, maka dia akan
diberi faham tentang Islam”.
Kalau
begitu sekiranya sekedar diajar atau diberitahu, tidak ada jaminan seseorang
itu menjadi baik. Tetapi kalau diberi "faham" itulah tanda seseorang
itu akan membuat perubahan. Sebab bila dikatakan "diberi faham", akan
jatuh ke hati. Tetapi kalau hanya "diberitahu" hanya diakal saja.
Akhirnya jadi mental exercise. Pintar mengatakan tentang Islam, hanya
berputar di akal tidak di hati. Bila hanya bertapak di akal, ceramahnya hebat,
dapat menulis dan sebagainya. Tetapi kalau tidak bertapak di hati, bukan menjadi
keyakinan hidupnya. Artinya tidak menghayati ilmunya. Kalau begitu ilmu yang
ada di otaknya tidak mendorong untuk memperbaiki diri. Tidak mendorong untuk
memperjuangkannya. Ilmu itu tidak mendorong untuk menuntun hidupnya. Tetapi
kalau sampai di hati barulah akan berkesan pada dirinya.
Sebab
itulah orang alim banyak tetapi orang "fakih" sedikit. Yang diajar
dan diberitahu ilmu Islam itu banyak tetapi yang menjiwai tentang Islam itu
tidak banyak. Seseorang yang sekedar diberitahu dan diajar tentang Islam, belum
tentu akan terdorong untuk memperbaiki diri. Akalnya terisi dengan ilmu Islam,
tapi kalau ilmu itu tidak berasas dalam hati, dorongan untuk memperbaiki diri
tidak ada. Sedangkan kalau ilmu disertai kefahaman, maknanya seseorang itu tahu
dari hati atau jiwa, bukan sekedar dengan akal, dan ini akan mendorongnya
memperbaiki diri. Namun perlu diingat, kalau hati terbuka untuk menerima Islam,
tetapi ilmunya tidak ada, maka seseorang itu tidak akan dapat berbuat. Beramal
tanpa ilmu, tertolak. Ada ilmu tetapi tidak diamalkan, laksana pohon tidak
berbuah.
Jadi
kefahaman tentang Islam ini perlu ada. Memahami Islam secara syumul,
secara lengkap, bukannya secara sebagian-sebagian. Memahami Islam yang meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia. Memahami Islam sebagai cara hidup, atau dengan
kata-kata lain, memahami Islam sebagai agama akidah, ajaran ibadah, dakwah,
ukhuwah, jihad, jamaah, amrun bil ma'ruf wanahyu a'nil mungkar, tarbiah,
pendidikan, ekonomi, daulah Islamiah, antara bangsa dan hingga ke alam sejagat.
Untuk mendapatkan kefahaman, mesti ada jalan, ada usaha dan ada caranya. Tidak
dapat faham begitu saja. Mesti melahirkan sebab, seperti dengan belajar,
membaca, menelaah, muzakarah, bertanya dan sebagainya. Jadi lapang dada
menerima Islam saja tidak cukup. Mesti disertai kefahaman, kemudian berbuat dan
bertindak berdasarkan kefahaman itu.
Kalau
sesuatu amalan itu dibuat atas dasar tahu tanpa disertai kefahaman, jadilah
amalan itu sekedar betul lahirnya tapi batinnya rusak. Misalnya, dia tahu
tentang shalat dan akan melakukan shalat tapi ruh shalat tidak ada. Bila roh
shalat tidak ada, hakikatnya dia belum mengerjakan shalat. Begitu juga orang
yang sekedar tahu ilmu berjuang dan dapat berjuang; lahirnya saja bagus, tapi
hatinya sudah rusak. Roh berjuang tidak ada. Sedangkan kalau diberi ilmu puasa
saja dan memang kemampuan pun ada, maka ia akan berpuasa, tapi yang berpuasa
hanyalah tangannya, mulutnya, matanya dan perutnya, sedangkan rohnya, hatinya
dan nafsunya tidak berpuasa. Sebab "mengetahui" itu hanya terhadap
benda-benda lahir yang dapat dinilai oleh mata kepala. Tetapi "faham"
itu lebih mendalam yaitu hati dan rohani sama-sama merasa, bukan akal
semata-mata.
Begitu
juga, tidak cukup membangunkan Islam dengan cara semangat-semangat,
slogan-slogan, pekik sana sini, demonstrasi sana sini, kutuk orang ini itu. Itu
bukan faham namanya. Jangankan faham, kadang-kadang ilmu pun belum ada. Ini
lebih rusak lagi. Beraninya seperti lembu. Lembu, kalau berani, tembok pun
ditanduknya. Itu bodoh namanya. Beranikah itu namanya ? Laksana air bah, kalau
tidak ada saluran yang betul, habislah dihanyutkannya pohon kelapa orang, kebun
orang, rumah orang dan sebagainya. Tapi kalau ada saluran yang betul, air bah
itu dapat dialirkan ke sungai. Ada parit, dapat tangkap ikan, dapat main
sampan. Minimal kalau berani atas dasar ilmu tapi yang yang paling baik atas
dasar faham. Kalau tidak faham, mesti tanya, belajar, muzakarah,
berbincang, banyak menelaah dan lain-lain.
3. Yakin.
Apa saja
ilmu yang kita ketahui dan fahami perlu kita yakini terutamanya dalam soal-soal
aqidah; keyakinan kepada Allah SWT, kepada Rasul, kepada Malaikat dan
sebagainya. Keyakinan itu mesti kental, jangan dicelahi oleh syak, waham atau
zan. Jangan jadikan ilmu Islam itu seperti ilmu-ilmu sekuler yang lain. Umpamanya
sewaktu kita belajar ilmu ideologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dan ilmu alam.
Kadang-kadang hati kecil kita bertanya "Iya kah ? Betulkah ?" sudah
belajar teori ekonomi, tapi hati kecil pula berkata "Eh, kalau aku buat
ini, boleh dapat untungkah ?"
Ada rasa
was-was. Ilmu luar Islam boleh begitu. Kalau kita belajar ideologi, belajar
teori politik, teori ekonomi dan sebagainya sehingga pandai dan pakar serta
boleh mensyarahkannya, tetapi ada rasa ragu, ada syak, waham, zan atau ada rasa
tanda tanya, itu tidak salah. Tetapi ilmu Islam tidak boleh begitu. Terutamanya
yang ada hubungan dengan akidah. Sebab itu kita mesti amalkan atas dasar
keyakinan.
4. Melaksanakan.
Setelah
kita mengetahui, faham dan yakin dengan ilmu-ilmu Islam, kita mesti bertindak
dan mengamalkannya. Perintah fardhu dan sunnat mesti dilaksanakan;
perintah haram dan makruh mesti ditinggalkan. Perintah buat itu baik yang fardhu
ain, maupun yang fardhu kifayah. Manakala yang sunat kita laksanakan
sejauh yang termampu. Kalau boleh, yang harus pun dijadikan ibadah dengan
menempuh lima syarat. Buah ilmu itulah amalnya. Jadi sekiranya ilmu itu tidak
diamalkan, jadilah ilmu yang tidak berbuah. Pepatah Arab ada berkata: "Ilmu
yang tidak diamalkan laksana pohon tidak berbuah".
Orang
yang tidak menanam pohon durian tidak dapat makan buah durian. Orang yang
memiliki pohon durian, tapi ketika musim durian tidak berbuah, maka senasib dia
dengan orang yang tidak memiliki pohon durian. Orang yang tidak memiliki pohon
durian, tidak makan buah durian itu sudah sewajarnya. Tapi orang yang memiliki
pohon durian tapi tidak makan buah durian karena pohon duriannya tidak berbuah,
ini lebih malang nasibnya. Begitulah kita senang saja beramal tapi malas hendak
menuntut ilmu, maka banyaklah kesalahan yang dibuat. Amalannya tidak disuluh
dengan ilmu, maka akan tertolak amalannya itu. Bila ada ilmu tidak diamalkan
maka ibarat pohon tidak berbuah. Bahkan dalam Matan Zubat dikatakan: "Orang
yang berilmu tapi tidak beramal akan masuk ke Neraka 500 tahun lebih dahulu
dari penyembah berhala"
Oleh itu
jangan jadikan ilmu Islam sebagai "mental exercise" atau riadhah
aqidah saja. Kalau kita belajar ilmu ekonomi misalnya, tidak berniaga pun
tidak mengapa. Kita belajar ilmu politik, tidak berpolitik pun tidak apa. Tetapi
ilmu Islam mesti dilaksanakan. Jadikanlah ilmu yang ada pada kita itu, yang
telah kita fahami menjadi panduan hidup dalam semua hal. Dalam menegakkan
akhlak, masyarakat, perjuangan, membangun jemaah, berumah tangga, dalam
ekonomi, pendidikan, mencari rezeki dan sebagainya. Hingga benar-benar menjadi
panduan hidup, agar semua tindak tanduk kita jadi ibadah dan diterima oleh
Allah SWT sebagai pahala.
5. Bermujahadah.
Walaupun
hati sudah terbuka, rindu dan suka dengan Islam, sudah faham Islam dan yakin
dengan yang difahami itu, tapi bila hendak bertindak, masya-Allah, rupanya
bukan musuh lahir, seperti Yahudi dan Nasrani yang menghalang, tapi musuh dalam
diri kita, yaitu nafsu. Nafsu itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan
tidak dapat mempengaruhi sesorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan
kata-kata yang lain, nafsu adalah highway untuk syaitan. Kalau nafsu dibiarkan,
akan membesar, maka semakin luaslah highway syaitan. Kalaulah nafsu dapat
diperangi, maka tertutuplah jalan syaitan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa
kita. Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah SWT sangat
jahat.
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ
لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Sesungguhnya
hawa nafsu itu sangat membawa pada kejahatan" [Q.S. Yusuf : 53]
Dan ini
dikuatkan lagi oleh sabda Rasulullah SAW : "Musuh yang paling memusuhi kamu adalah
nafsu yang ada di antara dua lambungmu".
Nafsu
itulah yang menjadi penghalang pertama dan utama, kemudian barulah syaitan dan
golongan-golongan yang lain. Memerangi hawa nafsu lebih hebat daripada
memerangi Yahudi dan Nasrani atau orang kafir. Sebab berperang dengan orang
kafir cuma sekali-sekali. Nafsulah penghalang yang paling jahat. Kenapa ?
Kalaulah musuh dalam selimut, itu mudah dan dapat kita hadapi. Tetapi nafsu
adalah bagian dari badan kita. Tidak sempurna diri kita jikalau tidak ada
nafsu. Ini yang disebut musuh dalam diri. Sebagian diri kita, memusuhi kita. Ia
adalah jizmullatif, tubuh yang halus yang tidak dapat dilihat dengam
mata kepala, hanya dapat dirasa oleh mata otak atau mata hati. Oleh itu tidak
dapat kita buang. Sekiranya dibuang kita pasti mati.
Nafsu
adalah penghalang yang besar. Kalau hendak shalat bukan mudah untuk mujahadah.
Akhirnya terlambat shalat subuh. Sipa yang membisikkan kepada kita ? Itulah
nafsu. Tidak mudah hendak berjuang dan berkorban. Tidak mudah hendak sabar
apabila berhadapan dengan ujian. Tidak mudah sebab nafsu tidak mau. Begitu juga
hendak memberi maaf orang yang berbuat salah kepada kita ? Kita rasa terhina
hendak memaafkan orang yang bersalah kepada kita. Lebih-lebih lagi kita yang
bersalah, hendak minta maaf lebih sukar lagi. Terasa tergugat ego kita.
Lebih-lebih lagi apabila ada jabatan dan pengaruh. Tidak mudah untuk ikut
syariat, jika nafsu mengatakan jangan. Sebab itu barang siapa yang berjaya
melawan hawa nafsu dia dianggap pahlawan. Dianggap orang berani dan luar biasa.
Sebab itu ada hadits yang mengatakan : "Tidak dianggap seseorang itu berani bila
ia dapat mengalahkan musuhnya, tetapi dianggap berani, jika seseorang itu dapat
melawan hawa nafsunya."
Bukannya
seperti yang terjadi hari ini, gelar "Tokoh" atau
"pahlawan" yang dikaruniakan kepada seseorang, bila kita tinjau
kehidupan mereka, kebanyakan mereka yang sudah dikalahkan oleh hawa nafsu.
Itulah pahlawan yang palsu. Pahlawan yang sebenarnya ialah orang yang dapat
mengalahkan hawa nafsunya. Inilah yang dikatakan pejuang yang hakiki. Selagi
hawa nafsu tidak dapat diperangi, selama itu seseorang itu tidak akan tertuju
kepada Allah SWT. Tidak
akan dapat benar-benar berbakti kepada Allah SWT. Tidak akan jatuh cinta kepada Allah SWT. Tidak akan dapat memberi ketaatan yang
sesungguhnya kepada Allah SWT. Kalau
nafsu tidak diperangi, tidak akan dapat hidup dalam kebenaran. Hidup dalam
pimpinan Allah. Firman Allah :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan
Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.
Ini
jaminan dari Allah SWT. Siapa
yang melawan hawa nafsu, Allah SWT akan
tunjukkan satu jalan hingga diberi kemenangan, diberi bantuan dan tertuju ke
jalan yang sebenarnya. Inilah rahasia untuk mendapatkan pembelaan dari Allah SWT. Artinya mereka mendapatkan pembelaan dari
Allah SWT sejak di
dunia. Jadi sesiapa yang sanggup melawan hawa nafsu, dia adalah rijalullah
(orang Allah SWT,
keluarga Allah SWT,
kepunyaan Allah SWT,
tentara Allah SWT), siapa
yang menjadi kepunyaan Allah SWT atau
tentara Allah SWT, dia
akan dibantu oleh Allah SWT. Tetapi
selagi belum menjadi tentara Allah SWT,
sebaliknya menjadi tentara manusia atau tentara syaitan Allah SWT akan biarkan. Kalau diberi kemenangan atas
dasar kuat, bukan atas dasar bantuan. Manakala yang lemah akan diberi
kekalahan.
Jadi
seseorang itu mesti sanggup melawan hawa nafsu. Kalau tidak banyak ajaran Islam
yang terabai, banyak perintah Allah SWT dilalaikan.
Bila tidak dapat melawan hawa nafsu, banyak larangan Allah SWT yang akan dibuat. Jadi hanya dengan melakukan mujahadatunnafsi,
barulah ajaran Islam itu dapat kita amalkan sungguh-sungguh dan barulah maksiat
lahir dan batin dapat kita tinggalkan, karena nafsu yang sangat menghalang itu
sudah tidak ada lagi. Nafsu itu sudah kita didik, sudah kita kalahkan, dan
sudah menjadi tawanan kita.
6. Istiqomah
Beramal.
Beramal
jangan bermusim, jangan ada turun naiknya. Kalau sudah beribadah, mesti terus
beribadah. Kalau sudah berukhuwah, terus berukhuwah. Kalau tinggalkan maksiat,
terus tinggalkan. Jangan sekali buat sekali tinggalkan. Begitu juga kalau
berjuang, berdakwah dan sebagainya, hendaklah berjuang dan berdakwah terus.
Jangan kadang-kadang beribadah, kadang-kadang tidak; kadang-kadang berdakwah,
kadang-kadang tidak. Jadi mesti mengamalkan baik perintah suruh dibuat secara
istiqamah maupun perintah larangan itu ditinggalkan secara istiqomah juga.
Dengan kata lain, beramal hendaklah secara tetap, secara rajin dan terus
menerus. Ini yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW: "Sebaik-baik amalan itu, yang dibuat
secara istiqamah sekalipun sedikit".
Apa yang
dimaksudkan sedikit ? Sekiranya tidak diuraikan, nanti ada mereka yang ambil
kesempatan dengan berkata: "yang penting istiqamah, tetap Allah SWT terima walaupun sedikit. Kalau begitu saya akan
shalat saja sampai mati. Puasa, naik haji, berkorban dan sebagainya tak perlu
dibuat". Sebenarnya sedikit yang dimaksudkan oleh Rasulullah ialah
amalan-amalan yang fardhu sudah ditunaikan. Yang fardhu ain selesai, kemudian
ditambah pula dengan amalan yang sunat. Istiqamah amalan yang sunat, amalan
wajib memang tidak dapat ditinggalkan.
Amalan
yang istiqamah akan membuat kesan pada roh atau hati seseorang. Laksana titisan
air, walaupun kecil dan lembut tapi jika ia meniti sepanjang masa,
lama-kelamaan batu akan lekuk. Sebaliknya, air banjir yang datang setahun
sekali atau dua tiga tahun sekali, walaupun besar tetapi tidak dapat melekukkan
batu. Tegasnya, amalan sunat yang istiqamah sangat memberi kesan pada hati.
Kesannya dapat dilihat pada gerak-gerik, membuahkan akhlak yang mulia.
Sebaliknya amalan sunat yang dibuat walaupun banyak tetapi tidak secara istiqamah,
tidak memberi bekas pada jiwa.
7. Ada Pemimpin
yang Memimpin.
Dapat
memimpin baik di bidang ilmu, akal atau hati. Baik yang lahir maupun yang batin
dan dalam semua hal hingga hidup kita ini dapat tertuju kepada Allah SWT. Dalam
Islam, pemimpin yang dapat memimpin hidup kita itulah yang dikatakan mursyid.
Asalnya dari perkataan 'mursyidun' maknanya orang yang memimpin. Setiap
orang wajib ada pemimpin yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau tidak, hafiz
atau tidak, pakar Islam atau tidak, mualim atau tidak.
Orang
yang memimpin (mursyidun) tidak sama dengan mua'llim. Juga tidak
sama dengan ustaz dan guru. Sebab mu'alim itu hanya memberi ilmu. Mereka
hanya memandang luar. Tetapi mursyid yang dapat memimpin. Allah SWT memberi
padanya ilmu-ilmu yang luar biasa. Ada ilmu lahir dan batin. Bukan saja dia
dapat memimpin akal, tetapi juga hati (roh) juga dipimpinnya. Walaupun mursyid
itu seorang yang tidak hafal Al Quran dan Hadis. Sebab itu sebagaimana hebat
alim seseorang itu, dia mesti punya pemimpin.
Memang
guru, pemimpin itu susah dicari. Apalagi di zaman sekarang yang sudah jauh dari
Rasulullah. Orang yang jadi mursyid hanya dalam hitungan jari saja.
Sebab itu mursyid kurang popular dan jarang disebut dalam kehidupan
sehari-hari. Imam Ghazali r.h. berkata: "Untuk mencari seorang mursyid, laksana
mencari belerang merah"
Begitulah
susahnya untuk mencari mursyid. Sebab itu pimpinan sudah tidak wujud
lagi di kalangan umat Islam hari ini. Maka berjuangpun hanya main-main akal,
beribadah sesuka hati, bertindak sembrono, tidak diukur secara ilmu lagi. Jadi
perlu ada guru yang mursyid, yang dapat memimpin ilmu dan amalan kita,
yang memimpin lahir dan batin kita. Guru mursyid ini menjadi tempat kita
merujuk walau dalam hal keci sekalipun. Tetapi di sinilah banyak yang tidak
faham termasuk alim ulama. Sebagiannya berkata "kalaulah kita sudah
berguru ke satu tempat, jangan lagi berguru di tempat lain". Ini satu
fahaman yang salah. Sebenarnya guru mursyid yang tidak banyak; seorang
saja. Tapi kalau guru sumber ilmu, lebih banyak lebih baik karena lebih banyak
saluran untuk dapat ilmu. Imam Ghazali r.h. ada 1000 orang gurunya.
Guru
pimpinan, tempat rujuk dalam semua hal hanya seorang saja. Dalam hal apapun
mesti dirujuk kepadanya termasuk dalam hal yang mubah. Walaupun mubah, tetapi
untuk dapat berkat mesti bertanya kepadanya. Lebih-lebih lagi kalau sudah
menjadi arahannya wajib ditaati. Setiap arahannya sudah menjadi wajib sebab
mentaati pemimpin adalah wajib. Di sinilah kebanyakan kesalahan pejuang
sekarang. Mereka sudah memiliki jemaah, tetapi bila ada masalah dalam jemaah
dia rujuk pada 'ulama luar jemaah' atau dukun.
Jadi
setiap orang yang ingin membaiki dirinya mesti ada mursyid yang akan
memimpinnya, sekalipun dia ulama, alim, hafaz Al Quran dan pakar hadis. Kenapa
? Dalam ajaran Islam ini, ada ilmu yang datang dari akal, dan ada yang dari
hati; ada lahir ada batin; ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Kalau
seseorang itu diberi ilmu yang tersurat, belum tentu dia akan diberi ilmu yang
tersirat. Bukan semua muhaddisin akan diberi ilmu-ilmu hati. Oleh itu,
walau ulama pakar sekalipun, mesti ada guru yang memimpinnya. Di sinilah banyak
orang salah faham, terutama para ulama. Hati mereka berkata, "Saya sudah
jadi ulama, alim, sudah mengajar profesor, sudah menjadi dosen, mengapa perlu
pimpinan ? Saya boleh pimpin diri saya sendiri. Buat apa bersandar kepada orang
lain ?" Sebab mereka merasa mereka banyak ilmu dan dapat pimpin diri
sendiri. Lebih-lebih lagi mereka tidak mau dipimpin oleh guru yang mursyid.
Orang
yang boleh memimpin ataupun mursyid, hanyalah orang yang pintu hatinya
terbuka, yaitu yang mempunyai basyirah. Bukan sekedar akal saja terbuka.
Banyak orang yang akalnya terbuka, hingga dapat menangkap ilmu, tapi orang yang
hatinya terbuka tidak banyak. Mursyid itu ialah orang yang hatinya
terbuka luas dan dapat memimpin orang lain. Dia tidak semestinya lebih alim
daripada orang yang dipimpinnya. Imam Hambali umpamanya, dia tidak disebut ahli
tasawuf sebab dia tidak mengarang kitab tasawuf, sebaliknya hanya mengarang
kitab ilmu-ilmu lahir. Tetapi yang sebenarnya dia juga alim ilmu batin (karena
semua Imam mahzab itu adalah mursyid dan pakar tasawuf). Dia tahu dan
mengamalkannya. Menurut riwayat, Imam Hambali selalu merujuk kepada
ulama-ulama, menziarahi bisyru al khafi, sering menziarahi ahli-ahli
sufi di ujung negeri Baghdad. Jadi setiap orang mesti mencari seorang guru
mursyid untuk memimpin dirinya walaupun dia alim. Lahir dan batinnya perlu
diserahkan kepada guru mursyid.
8. Berdoa
kepada Allah SWT.
Usaha
kita tidak memberi bekas walaupun usaha itu diperintahkan oleh Allah SWT. Kita
sudah belajar, tetapi ilmu itu sebenarnya tidak memberi bekas. Kita
bermujahadah, tetapi usaha kita membaiki diri itu tidak memberi bekas. Mursyid
kita tidak memberi bekas walaupun kita disuruh mencari mursyid. Yang
memberi bekas hanyalah Allah SWT. Allah-lah yang menghitamputihkan nasib kita.
Begitulah keyakinan kita. Sebab itu kita mesti selalu panjatkan doa kepada
Allah SWT agar Allah SWT senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita.
Dapat
hidayah itu lebih mudah. Contohnya dibuka pintu hatinya untuk menerima dan suka
kepada Islam. Tetapi belum tentu dapat taufiq. Taufiq ialah amalannya selaras
dengan ilmu atau dengan apa yang dia mau. Praktikal dengan teorinya sama.
Ilmiah dengan amaliahnya sama. Oleh karena yang muatsir hanyalah Allah,
jadi tujuh hal yang diperkatakan diatas tidak muatsir, walaupun
diperintah. Dia tidak memberi bekas. Sebab itulah mesti bersungguh-sungguh
berdoa kepada Allah SWT. Bila Allah SWT beri hidayah dan taufiq semua masalah
selesai. Tidak ada masalah yang sulit. Yang besar jadi kecil, yang kecil lebih
lagilah jadi terlalu kecil.
Ilmu
Islam seperti juga sebagaimana ilmu dunia juga. Tidak mesti kita belajar ilmu
dan apabila diamalkan itu tepat sebagaimana belajar. Kebanyakannya tidak tepat
walaupun sudah ada nasnya. Tepat yang lahir, batin pula yang tidak kena.
Contohnya kita belajar ilmu shalat. Dari segi rukuk, sujud, tepat sebagaimana
dalam kitabnya. Tapi yang batin, hati tidak sujud, hati pula yang tidak rukuk.
Inilah yang dikatakan taufiq tidak ada sebaliknya hanya dapat hidayah saja. Contoh
yang lain, seorang yang belajar ilmu ekonomi yang selalu memikirkan soal untung
dan rugi. Tetapi bila praktikal tidak selalu begitu. Sebab itu mandor lebih
pakar dari enginer. Enginer tahu menyebut dari segi istilah saja sesuatu
'barang'. Tetapi seorang mandor istilahnya tidak tahu menyebutnya tapi dialah
yang pakar mengoperasikannya.
Jadi
teori dengan amal tidak selaras walaupun dari segi ilmunya sudah nampak tepat.
Tetapi bila buat tidak tepat. Itulah yang menunjukkan selain Allah SWT tidak
memberi bekas. Oleh itu mesti selalu berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniakan
hidayah dan taufiq. Bila Allah SWT berikan hidayah dan taufiq, semua apa yang
dibuatnya akan tepat. Begitulah teori ilmiahnya, 8 syarat yang ditempuh oleh
seseorang itu agar ia menjadi orang soleh atau menjadi orang yang bertaqwa.
Bila kita menjadi orang yang bertaqwa barulah kita akan dapat ganjaran dari
Allah SWT dunia dan Akhirat. Jadi sebelum kita menjadi orang yang bertaqwa
selagi itulah Allah SWT tidak akan bantu dan bela kita serta tiada jaminan
daripada Allah SWT. (Sumber:
http://kawansejati.ee.itb.ac.id/kesadaran-islam/id-16-delapan-syarat-taqwa.html)
G.
Jalan
Menuju Taqwa.
Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Dzhilalil
Qur’an menjelaskan bahwa taqwa merupakan kepekaan batin, kelembutan
perasaan, rasa takut terus-menerus, selalu waspada dan hati-hati terhadap duri
yang bertebaran di sepanjang jalan kehidupan. Taqwa merupakan sumber segala
kebaikan kehidupan masyarakat, satu-satunya cara untuk mencegah kejahatan,
kerusakan, dan perbuatan dosa. Taqwa merupakan pilar utama dalam pembinaan jiwa
dan akhlaq seseorang untuk menghadapi berbagai fenomena kehidpuan. Untuk itu,
Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Ruhaniyatud Da’iyah (Tarbiyah
Ruhiyah) mengajak setiap muslim melakukan aktivitas yang dapat menggapai
derajat taqwa. Setiap muslim perlu mengokohkan ruhiyahnya dengan melakukan mu’ahadah,
muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, dan mujahadah. Untuk
meraih predikat taqwa maka perlu usaha-usaha konkrit/nyata yang harus kita
lakukan:
1. Mu’ahadah, yaitu senantiasa mengingat perjanjian dengan Allah SWT,
bahwasanya kita adalah hamba Allah SWT yang diperintahkan untuk senantiasa
mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Bagi orang-orang yang mengerjakan shalat
mereka berjanji sekurang-kurangnya sebanyak 17 kali bahwa dia tidak akan
menyembah Tuhan selain kepada Allah SWT dan tidak memohon pertolongan selain
kepada Allah SWT.
2. Mu’aqobah, yaitu senantiasa memberi sangsi kepada diri sendiri
apabila melakukan kesalahan atau lalai dari taat dan ibadah kepada Allah SWT.
Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Umar bin Khaththab tatkala beliau
mengunjungi salah satu kebun, beliau menyaksikan orang-orang yang telah selesai
shalat Ashar berjama’ah. Beliau merasa sangat rugi ketinggalan shalat Ashar
berjama’ah, maka sebagai hukumannya beliau menginfaqkan kebun yang beliau
kunjungi itu untuk kepentingan kaum muslimin, karena kebunnya tersebut telah
melalaikannya dari dzikir kepada Allah.
3. Mujahadah, yaitu selalu bersungguh-sungguh dalam setiap amal
sekecil apapun, karena kesuksesan besar itu berawal dari yang kecil-kecil,
manakala yang kecil saja tidak mampu dan diabaikan, lalu bagaimana akan meraih
yang besar. Kesungguhan dalam beramal, bekerja dan beribadah itu merupakan
bukti keimanan seorang mukmin, yaitu beriman dengan meyakini dalam hati,
mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan.
4. Muroqobah, yaitu merasa selalu diawasi oleh Allah SWT. Kesadaran
merasakan pengawasan Allah SWT ini sehingga melahirkan kesetiaan dan ketaatan
setiat saat. Saat bekerja dirumah, saat dalam perjalanan atau dimana saja
berada. Merasakan pengawasan Allah SWT akan membangung kepekaan hati untuk
senantiasa taat kepada Allah SWT dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan sejak
dari kemaksiatan mata sampai kepada perut.
5. Muhasabah, yaitu selalu menghisab/menghitung amal yang kita
kerjakan membandingkan antara amal yang baik dengan amal yang buruk sebelum
segala perbuatan kita dihisab oleh Allah. “Semut diseberang lautan tampak,
gajah dipelupuk mata tidak tampak.” Janganlah kita menjadi orang sibuk
mengoreksi pekerjaan dan urusan serta kesalahan orang lain sementara kekurangan
dan kesalahan sendiri terlupakan.
H.
Penutup.
Jika nilai-nilai taqwa mampu direfleksikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka akan terwujud sebuah tatanan masyarakat yang kita
cita-citakan, yaitu Masyarakat Madani yang merupakan warisan dari Sunnah
Nabawiyah, sebuah komunitas yang hadir melalui perjuangan yang dipimpin
langsung oleh Rasulullah SAW, dengan bingkai Piagam Madinah yang diakui oleh
para pakar sebagai konstitusi tertua di dunia yang sangat modern, dan
menghadirkan fakta historis tentang pengelolaan negara berbasiskan pada prinsip
hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; dan
bergotong-royong untuk menjaga kedaulatan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini