Jumat, 19 Agustus 2011

TAQWA SEBAGAI LANDASAN MASYARAKAT IDEAL

A.    Pendahuluan.

Ending akhir dari amalan Ramadhan ialah untuk mendapatkan predikat muttaqien (QS. Al Baqarah;183). Taqwa menurut pandangan ilmu tauhid ialah: orang yang mulia di sisi Allah SWT, dan taqwa dapat bermakna bertemu dengan Allah SWT. Sementara taqwa menurut pandangan ahli ma'rifat ialah ta’aruf (mengenal), di mana apabila kita sudah mengenal tentunya akan mudah di dalam mengajukan sesuatu hal atau meminta. Dapatkah kita meminta sesuatu dari orang yang belum kita kenal? Jawabnya: Dapat saja, akan tetapi tidak ubahnya dengan seorang pengemis. Dari Hadits Qudsi dikatakan: "Janganlah kamu menjadi pengemis terhadap Tuhanmu. Bila ingin kenal dengan-Ku berpuasalah."

Menjadi seorang muslim belum mendapat jaminan dari Allah SWT, yang akan dibela Allah SWT. Menjadi orang Islam belum ada jaminan dari Allah SWT  akan diampunkan dosanya, bahwa amal ibadahnya akan diterima, dan akan dapat bantuan dariNya. Karena menjadi seorang muslim atau seorang Islam itu mudah. Apabila sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka tidak boleh dianggap dia itu seorang kafir. Lebih-lebih lagi seseorang itu sudah shalat, berpuasa, naik haji, kita tidak boleh menuduh orang itu kafir. Dia termasuk dalam golongan Islam tetapi belum tentu ia seorang bertaqwa. Setelah menjadi orang bertaqwa baru ada jaminan dan pembelaan dari Allah SWT di dunia dan di akhirat. Bila jadi orang bertaqwa barulah dosa diampunkan, amal ibadah ini diterima, dan mendapat pimpinan dari Allah SWT. Bila menjadi orang bertaqwa pintu rezeki akan terbuka, tidak tahu dari mana datang dan sumbernya, serta Allah SWT mudahkan seluruh pekerjaannya. Bila kerja sedikit, hasilnya banyak. Kalau banyak, lebih banyaklah yang akan diperoleh.


B.    Pengertian Taqwa.

Para ulama telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani mendefinisikan: “Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan”. Sedangkan Imam An-Nawawi mendefinisikan taqwa dengan “Mentaati perintah dan laranganNya.” Maksudnya, menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah SWT. Hal itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani “Taqwa yaitu menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya.” Karena itu, siapa yang tidak menjaga dirinya, dari perbuatan dosa, berarti dia bukanlah orang bertaqwa. Maka orang yang melihat dengan kedua matanya apa yang diharamkan atau mendengarkan dengan kedua telinganya apa yang dimurkai, atau mengambil dengan kedua tangannya apa yang tidak diridhai, atau berjalan ke tempat yang dikutuk Allah SWT, berarti tidak menjaga dirinya dari dosa. Jadi, orang yang membangkang perintah Allah SWT serta melakukan apa yang dilarangNya, dia bukanlah termasuk orang-orang yang bertaqwa. Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat sehingga ia pantas mendapat murka dan siksa dari Allah SWT, maka ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang yang bertaqwa.

Taqwa bukan berarti takut. Taqwa pada Allah SWT bukan berarti takut dengan Allah SWT. Takut hanyalah satu daripada sifat mahmudah yang terangkum dalam sifat taqwa tetapi ia bukan taqwa. Takut dalam bahasa Arab ialah khauf atau kasyaf. Taqwa atau ittaqu berasal dari perkataan biqoyah-baqoyati-wiqoyatan yang artinya terpelihara. Yakni pemeliharaan dari Allah SWT  atau hendaklah jadikan Allah SWT itu pelindung. Jadikan Allah SWT  itu kubu atau benteng. Bila sudah berada dalam perlindungan, kubu atau benteng Allah SWT, perkara yang negatif dan berbahaya tidak akan masuk atau tembus. Taqwa atau wiqoyah telah disalahartikan. Maksudnya telah disempitkan. Taqwa adalah lebih global dan luas. Taqwa adalah gudang mahmudah dan merupakan himpunan segala sifat-sifat mahmudah. Di situ ada sabar, redha, pemurah, berkasih sayang, pemaaf, memberi maaf, meminta maaf dan sebagainya. Jadi, besarlah arti taqwa. Taqwa membawa keselamatan dunia dan akhirat. Taqwa bukan sekedar melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Bukan sekedar menunaikan ketaatan dan menjauhkan kemaksiatan. Bukan sekedar  membuat apa yang disuruh dan meninggalkan apa yang dilarang. 

C.    Tingkatan Iman Seorang Muslim.

Tingkat pertama itu Muslim, yaitu orang Islam yang mengucapkan dua kalimat syahadat, tapi belum melakukan yang namanya shalat, puasa, zakat, dan haji. Tingkat kedua itu Mukmin, yaitu orang beriman telah melakukan yang namanya shalat, puasa, zakat, dan haji namun masih berbuat maksiat. Tingkat ketiga Muhsin, yaitu orang yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT dalam kehidupannya namun kadang-kadang masih ingin pahala. Tingkat keempat Mukhlis, yaitu orang yang ikhlas tidak mengharapkan apa. Kelima Muttaqin, yakni hanya mengharapkan ridha Allah SWT. Derajat taqwa merupakan capaian tertinggi dalam tangga pengabdian seorang hamba kepada Sang Khaliq, karena taqwa merupakan sifat ubudiyah yang hakiki, di dalamnya tercakup semua aspek kehidupan beragama. Manusia bertaqwa adalah yang salalu menghadirkan Allah SWT dalam dirinya (Dzikrullah), ia merasa bahwa pengawasan Allah SWT selalu melekat pada setiap aktivitas hidupnya (Muraqabatullah) sehingga ia senantiasa berada di atas jalan ketaatan kepada-Nya dan tidak melanggar aturan-aturan-Nya (Imtitsalul-Awamir wa ijtinabun-Nawahi).
Taqwa mencakup aspek keimanan, aspek ibadah, akhlak, baik yang terkait dengan kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum; pidana dan perdata. Sifat Taqwa tetap harus menjadi landasan dalam kehidupan setiap individu, keluarga maupun masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam aspek keimanan, manusia bertaqwa adalah orang yang yakin akan kebenaran Islam, bahwa Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu menjadi solusi (problem solving) bagi segala permasalahan kehidupan, karena ajaran ini berasal dari sang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui akan segala rahasia dan hajat yang dibutuhkan oleh manusia dan Maha Mengatur serta Memelihara segala permasalahan makhluk-Nya. Bangunan keimanan utuh dan tidak parsial; yakni membenarkan sebagian ajaran Islam dan ingkar kepada sebagian ajaran yang lain sehinga taqwa sebagai landasan masyarakat ideal baik di dunia maupun di akhirat kelak. Allah SWT berfirman QS. Al Baqarah ayat 177:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّين
“Bukanlah kebajikan itu kalau kamu memalingkan wajah ke timur dan ke barat (untuk mencari ajaran lain selain Islam), tetapi kebajikan yang sesungguhnya adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kita, dan nabi-nabi”
Di bidang sosial, manusia bertaqwa adalah orang yang memiliki kepedulian yang tinggi kepada lingkungannya, baik sosial maupun alam. Sekalipun ia sangat sayang kepada hartanya tetapi ia tetap peduli untuk membantu sesamanya yang membutuhkan, sebagaimana firman Allah SWT:
وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ
Dan ia memberikan harta, meskipun ia sangat menyintai hartanya, kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), orang-orang yang meminta-minta dan untuk memerdekakan hamba sahaya”.
Pada aspek ibadah mahdhah, orang yang bertaqwa selalu konsisten dalam mengerjakan shalat dan menunaikan zakat sebagaimana firman Allah SWT:
وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah shalat dan bayarkan zakat”.
Manusia bertaqwa pun adalah mereka yang memiliki integritas kepribadian yang tinggi, teguh dalam menunaikan amanat dan janjinya, sabar dalam menghadapi berbagai ujian dan rintangan di jalan perjuangan sebagaimana firman Allah SWT.
وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji, dan sabar dalam keadaan sulit dan susah serta ditimpa kesulitan mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”.
Pada level kenegaraan, salah satu bukti ketaqwaan haruslah diimplementasikan dalam bentuk penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan Ilahi. Karena hanya dengan ketegasan hukum di semua level masyarakat dan pelaksanaannya yang tanpa pandang bulu, akan terjamin keamanan, ketenangan dan kelangsungan kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara adil, sejahtera dan aman sentausa. Dengan demikian, kehidupan beragama dan ketaqwaan masyarakat menjadi terjamin dan berkembang secara baik .

D.    Makna Taqwa.

Allah SWT. berfirman dalam QS. Al Hujarat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengena”l.
Juga firman Allah SWT dalam surat yang lain QS. At Taubah ayat 7:
كَيْفَ يَكُونُ لِلْمُشْرِكِينَ عَهْدٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ رَسُولِهِ إِلا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“bagaimana bisa ada Perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam? Maka selama mereka Berlaku Lurus terhadapmu, hendaklah kamu Berlaku Lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.
Berbicara mengenai taqwa sudah sering kita dengar dan juga kita baca. Tapi makna sesungguhnya dari kata taqwa tersebut seringkali kabur dan tidak jelas dalam pemahaman kita. Selama ini masyarakat muslim memaknai kata taqwa dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia menjadi “takut”. Apakah makna demikian benar? Apakah memang Allah SWT itu harus ditakuti? Dan apakah benar makna taqwa itu adalah takut? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Kata takut kalau kita cari makna bahasa Arabnya sepertimana uraian terdahulu adalah 'khawf'. Kata ini juga terdapat dalam Al-Qur'an. Sebagaimana yang telah kita lacak akar kata 'taqwa' dalam bahasa Arab, berasal dari kata 'waqaa-yaqii-wiqaayatan'. Ada pepatah bahasa Arab dalam hal ini yaitu "al-Wiqaayatu khayrun min al-'ilaaj" (Sikap berhati-hati/menjaga kesehatan lebih baik dari pada pergi ke dokter). Jadi makna 'taqwa' dari akar kata bahasa Arabnya adalah 'sikap berhati-hati menjaga diri dari perbuatan dosa sekecil apapun, apalagi dosa besar.
Dari makna di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa orang-orang yang bertaqwa adalah orang yang menjaga dirinya dari perbuatan dosa dan kesalahan kecil. Kalau dosa besar itu sudah keluar dari arena taqwa. Oleh karena itu orang yang terjerumus dalam dosa besar sudah keluar dari dirinya ketaqwaan kepada Allah SWT.Oleh karena itu, kita harus kembali ke jalan taqwa, yaitu jalan Allah SWT. Karena Allah SWT sudah memberikan guide line bahwa hanya taqwalah sebagai bekal yang paling baik dalam kehidupan kita di dunia dan kehidupan akhirat. Tanpa bekal taqwa tersebut hidup kita menjadi hampa, tidak karuan, berantakan, hambar, goncang, tidak ada pegangan dan lain-lain.

E.     Danpak Taqwa Dalam Kehidupan.

Taqwa adalah bekal untuk dunia dan hari akhirat. Firman SWT QS. Al Baqarah ayat 197:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
“Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal”.
Sifat taqwa itu adalah bekalan di hari akhirat dan tidak boleh dinafikan, itulah yang penting dan asas. Tetapi bagi orang mukmin, taqwa juga perlu sebagai bekalan untuk dunia. Sebab jalan dan landasan kejayaan di dunia bagi orang mukmin adalah taqwa. Dengan taqwa dia dibantu Allah SWT. untuk berjaya dalam berekonomi, dapat kemenangan dalam perjuangan mesti dengan taqwa, mendapat bantuan dan pertolongan Allah SWT, mestilah berdasarkan taqwa, dan terlepas dari azab, penderitaan dan bala bencana di dunia mesti dengan sifat taqwa. Di sinilah kita lihat, bukan saja taqwa itu penting di akhirat tetapi untuk orang mukmin, mereka juga mendapat bantuan, rahmat, berkat, kejayaan, kemenangan dan kebahagiaan dari Allah SWT di dunia dengan adanya sifat taqwa. Allah SWT janjikan kepada orang yang bertaqwa; rezekinya terjamin, lepas dari bencana, diberi kejayaan, kemenangan, diampuni dosanya, berkah turun dari langit dan muncul dari permukaan bumi, bantuan dan pembelaan, dilepaskan dari masalah hidup, diberi ilmu, dan dipermudahkan urusan, serta diwariskan bumi ini. Firman Allah dalam Al Quran:
وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ
"Allah jadi pembela (pembantu) bagi orang-orang yang bertoqwa." (Al Jasiyah: 19).
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
"Barang siapa bertaqwa kepada Allah, nescaya dipermudahkan urusannya." (At Thalaq: 4)
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Bertaqwalah kepada Allah, necaya Allah akan mengajar kamu." (At Baqarah: 282).
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
"Barang siapa bertaqwa kepada Allah, Allah akan lepaskan dia dari masalah hidup dan memberi rezeki dari sumber yang tidak diduga." (Al Thalaq: 2-3).
أَنَّ الأرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
"Akan Aku wariskan bumi ini kepada orang-orang yang bertaqwa." (Al Anbiya: 105)
Kalau tidak ada taqwa, mungkin Allah SWT akan membantu juga seperti Allah SWT bantu orang-orang kafir. Artinya dapat bantuan dan pertolongan atas dasar istidraj yaitu atas dasar kutukan dan kemurkaan Allah SWT diberi dengan tidak redha. Istidraj sebenarnya adalah satu tipuan dari Allah SWT. Akhirnya nanti akan terjun ke dalam neraka. Dengan kejayaan itu mereka akan berbuat maksiat dan kemungkaran di atas muka bumi, ia akan rusak dan merusak. Di sini jelas bagi kita bahwa sifat taqwa itu bukan saja perlu di akhirat tetapi perlu juga di dunia. Orang kafir Allah  SWT menangkan atas dasar quwwah (kekuatan lahir). Orang mukmin diberi kemenangan atas dasar taqwa.

F.     Syarat Memperoleh Taqwa.

Untuk memperbaiki diri agar menjadi orang yang soleh atau orang yang bertaqwa, 8 syarat perlu ditempuh :
1.      Mendapat Petunjuk dari Allah SWT.
Di sinilah modal utama ke arah taqwa, yaitu Allah SWT memberi hidayah dengan cara mengetuk pintu hatinya. Dia senang dengan Islam, sayang dengan Islam, suka dengan Islam, dan terbuka hatinya untuk Islam. Sebut saja Islam terasa indah dan senang. Rasa terhibur walaupun dia tidak tahu apa itu Islam. Firman Allah:
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ …….
"Barang siapa yang Allah kehendaki untuk diberi-Nya petunjuk, maka dilapangkan hatinya untuk menerima Islam". (Q.S. Al An'am : 125).

Jadi kalau seseornag itu Allah SWT buka pintu hatinya hingga dia sayang, suka, minat, terhibur dan senang dengan Islam, maka itulah anak kunci yang pertama untuk dia bertindak memperbaiki diri. Tetapi kalau hati sudah tertutup, hidayah sudah tidak dapat, rasa senang hati dengan Islam sudah tidak ada, walau pakar Islam, hafiz Al Qur'an, hafiz ribuan hadits namun tidak akan dapat memperbaiki diri. Kenapa ? Dorongan tidak ada. Rasa minat, cinta dan suka pada Islam, itulah dorongannya. Ibarat orang yang cinta dengan isteri, apa saja kehendak isterinya akan dituruti dan dia akan berkorban habis-habisan, harta nyawa sekalipun.

2.      Faham tentang Islam.
Faham tentang Islam, bukan diberitahu tentang Islam, bukan diajar tentang Islam, inilah yang dimaksud oleh sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa yang Allah hendak dijadikan dia orang yang baik, maka dia akan diberi faham tentang Islam”.
Kalau begitu sekiranya sekedar diajar atau diberitahu, tidak ada jaminan seseorang itu menjadi baik. Tetapi kalau diberi "faham" itulah tanda seseorang itu akan membuat perubahan. Sebab bila dikatakan "diberi faham", akan jatuh ke hati. Tetapi kalau hanya "diberitahu" hanya diakal saja. Akhirnya jadi mental exercise. Pintar mengatakan tentang Islam, hanya berputar di akal tidak di hati. Bila hanya bertapak di akal, ceramahnya hebat, dapat menulis dan sebagainya. Tetapi kalau tidak bertapak di hati, bukan menjadi keyakinan hidupnya. Artinya tidak menghayati ilmunya. Kalau begitu ilmu yang ada di otaknya tidak mendorong untuk memperbaiki diri. Tidak mendorong untuk memperjuangkannya. Ilmu itu tidak mendorong untuk menuntun hidupnya. Tetapi kalau sampai di hati barulah akan berkesan pada dirinya.
Sebab itulah orang alim banyak tetapi orang "fakih" sedikit. Yang diajar dan diberitahu ilmu Islam itu banyak tetapi yang menjiwai tentang Islam itu tidak banyak. Seseorang yang sekedar diberitahu dan diajar tentang Islam, belum tentu akan terdorong untuk memperbaiki diri. Akalnya terisi dengan ilmu Islam, tapi kalau ilmu itu tidak berasas dalam hati, dorongan untuk memperbaiki diri tidak ada. Sedangkan kalau ilmu disertai kefahaman, maknanya seseorang itu tahu dari hati atau jiwa, bukan sekedar dengan akal, dan ini akan mendorongnya memperbaiki diri. Namun perlu diingat, kalau hati terbuka untuk menerima Islam, tetapi ilmunya tidak ada, maka seseorang itu tidak akan dapat berbuat. Beramal tanpa ilmu, tertolak. Ada ilmu tetapi tidak diamalkan, laksana pohon tidak berbuah.
Jadi kefahaman tentang Islam ini perlu ada. Memahami Islam secara syumul, secara lengkap, bukannya secara sebagian-sebagian. Memahami Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Memahami Islam sebagai cara hidup, atau dengan kata-kata lain, memahami Islam sebagai agama akidah, ajaran ibadah, dakwah, ukhuwah, jihad, jamaah, amrun bil ma'ruf wanahyu a'nil mungkar, tarbiah, pendidikan, ekonomi, daulah Islamiah, antara bangsa dan hingga ke alam sejagat. Untuk mendapatkan kefahaman, mesti ada jalan, ada usaha dan ada caranya. Tidak dapat faham begitu saja. Mesti melahirkan sebab, seperti dengan belajar, membaca, menelaah, muzakarah, bertanya dan sebagainya. Jadi lapang dada menerima Islam saja tidak cukup. Mesti disertai kefahaman, kemudian berbuat dan bertindak berdasarkan kefahaman itu.
Kalau sesuatu amalan itu dibuat atas dasar tahu tanpa disertai kefahaman, jadilah amalan itu sekedar betul lahirnya tapi batinnya rusak. Misalnya, dia tahu tentang shalat dan akan melakukan shalat tapi ruh shalat tidak ada. Bila roh shalat tidak ada, hakikatnya dia belum mengerjakan shalat. Begitu juga orang yang sekedar tahu ilmu berjuang dan dapat berjuang; lahirnya saja bagus, tapi hatinya sudah rusak. Roh berjuang tidak ada. Sedangkan kalau diberi ilmu puasa saja dan memang kemampuan pun ada, maka ia akan berpuasa, tapi yang berpuasa hanyalah tangannya, mulutnya, matanya dan perutnya, sedangkan rohnya, hatinya dan nafsunya tidak berpuasa. Sebab "mengetahui" itu hanya terhadap benda-benda lahir yang dapat dinilai oleh mata kepala. Tetapi "faham" itu lebih mendalam yaitu hati dan rohani sama-sama merasa, bukan akal semata-mata.
Begitu juga, tidak cukup membangunkan Islam dengan cara semangat-semangat, slogan-slogan, pekik sana sini, demonstrasi sana sini, kutuk orang ini itu. Itu bukan faham namanya. Jangankan faham, kadang-kadang ilmu pun belum ada. Ini lebih rusak lagi. Beraninya seperti lembu. Lembu, kalau berani, tembok pun ditanduknya. Itu bodoh namanya. Beranikah itu namanya ? Laksana air bah, kalau tidak ada saluran yang betul, habislah dihanyutkannya pohon kelapa orang, kebun orang, rumah orang dan sebagainya. Tapi kalau ada saluran yang betul, air bah itu dapat dialirkan ke sungai. Ada parit, dapat tangkap ikan, dapat main sampan. Minimal kalau berani atas dasar ilmu tapi yang yang paling baik atas dasar faham. Kalau tidak faham, mesti tanya, belajar, muzakarah, berbincang, banyak menelaah dan lain-lain.

3. Yakin.
Apa saja ilmu yang kita ketahui dan fahami perlu kita yakini terutamanya dalam soal-soal aqidah; keyakinan kepada Allah SWT, kepada Rasul, kepada Malaikat dan sebagainya. Keyakinan itu mesti kental, jangan dicelahi oleh syak, waham atau zan. Jangan jadikan ilmu Islam itu seperti ilmu-ilmu sekuler yang lain. Umpamanya sewaktu kita belajar ilmu ideologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dan ilmu alam. Kadang-kadang hati kecil kita bertanya "Iya kah ? Betulkah ?" sudah belajar teori ekonomi, tapi hati kecil pula berkata "Eh, kalau aku buat ini, boleh dapat untungkah ?"
Ada rasa was-was. Ilmu luar Islam boleh begitu. Kalau kita belajar ideologi, belajar teori politik, teori ekonomi dan sebagainya sehingga pandai dan pakar serta boleh mensyarahkannya, tetapi ada rasa ragu, ada syak, waham, zan atau ada rasa tanda tanya, itu tidak salah. Tetapi ilmu Islam tidak boleh begitu. Terutamanya yang ada hubungan dengan akidah. Sebab itu kita mesti amalkan atas dasar keyakinan.

4. Melaksanakan.
Setelah kita mengetahui, faham dan yakin dengan ilmu-ilmu Islam, kita mesti bertindak dan mengamalkannya. Perintah fardhu dan sunnat mesti dilaksanakan; perintah haram dan makruh mesti ditinggalkan. Perintah buat itu baik yang fardhu ain, maupun yang fardhu kifayah. Manakala yang sunat kita laksanakan sejauh yang termampu. Kalau boleh, yang harus pun dijadikan ibadah dengan menempuh lima syarat. Buah ilmu itulah amalnya. Jadi sekiranya ilmu itu tidak diamalkan, jadilah ilmu yang tidak berbuah. Pepatah Arab ada berkata: "Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon tidak berbuah".
Orang yang tidak menanam pohon durian tidak dapat makan buah durian. Orang yang memiliki pohon durian, tapi ketika musim durian tidak berbuah, maka senasib dia dengan orang yang tidak memiliki pohon durian. Orang yang tidak memiliki pohon durian, tidak makan buah durian itu sudah sewajarnya. Tapi orang yang memiliki pohon durian tapi tidak makan buah durian karena pohon duriannya tidak berbuah, ini lebih malang nasibnya. Begitulah kita senang saja beramal tapi malas hendak menuntut ilmu, maka banyaklah kesalahan yang dibuat. Amalannya tidak disuluh dengan ilmu, maka akan tertolak amalannya itu. Bila ada ilmu tidak diamalkan maka ibarat pohon tidak berbuah. Bahkan dalam Matan Zubat dikatakan: "Orang yang berilmu tapi tidak beramal akan masuk ke Neraka 500 tahun lebih dahulu dari penyembah berhala"
Oleh itu jangan jadikan ilmu Islam sebagai "mental exercise" atau riadhah aqidah saja. Kalau kita belajar ilmu ekonomi misalnya, tidak berniaga pun tidak mengapa. Kita belajar ilmu politik, tidak berpolitik pun tidak apa. Tetapi ilmu Islam mesti dilaksanakan. Jadikanlah ilmu yang ada pada kita itu, yang telah kita fahami menjadi panduan hidup dalam semua hal. Dalam menegakkan akhlak, masyarakat, perjuangan, membangun jemaah, berumah tangga, dalam ekonomi, pendidikan, mencari rezeki dan sebagainya. Hingga benar-benar menjadi panduan hidup, agar semua tindak tanduk kita jadi ibadah dan diterima oleh Allah SWT sebagai pahala.
5. Bermujahadah.
Walaupun hati sudah terbuka, rindu dan suka dengan Islam, sudah faham Islam dan yakin dengan yang difahami itu, tapi bila hendak bertindak, masya-Allah, rupanya bukan musuh lahir, seperti Yahudi dan Nasrani yang menghalang, tapi musuh dalam diri kita, yaitu nafsu. Nafsu itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan tidak dapat mempengaruhi sesorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata-kata yang lain, nafsu adalah highway untuk syaitan. Kalau nafsu dibiarkan, akan membesar, maka semakin luaslah highway syaitan. Kalaulah nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan syaitan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita. Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah SWT sangat jahat.
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat membawa pada kejahatan" [Q.S. Yusuf : 53]
Dan ini dikuatkan lagi oleh sabda Rasulullah SAW : "Musuh yang paling memusuhi kamu adalah nafsu yang ada di antara dua lambungmu".
Nafsu itulah yang menjadi penghalang pertama dan utama, kemudian barulah syaitan dan golongan-golongan yang lain. Memerangi hawa nafsu lebih hebat daripada memerangi Yahudi dan Nasrani atau orang kafir. Sebab berperang dengan orang kafir cuma sekali-sekali. Nafsulah penghalang yang paling jahat. Kenapa ? Kalaulah musuh dalam selimut, itu mudah dan dapat kita hadapi. Tetapi nafsu adalah bagian dari badan kita. Tidak sempurna diri kita jikalau tidak ada nafsu. Ini yang disebut musuh dalam diri. Sebagian diri kita, memusuhi kita. Ia adalah jizmullatif, tubuh yang halus yang tidak dapat dilihat dengam mata kepala, hanya dapat dirasa oleh mata otak atau mata hati. Oleh itu tidak dapat kita buang. Sekiranya dibuang kita pasti mati.
Nafsu adalah penghalang yang besar. Kalau hendak shalat bukan mudah untuk mujahadah. Akhirnya terlambat shalat subuh. Sipa yang membisikkan kepada kita ? Itulah nafsu. Tidak mudah hendak berjuang dan berkorban. Tidak mudah hendak sabar apabila berhadapan dengan ujian. Tidak mudah sebab nafsu tidak mau. Begitu juga hendak memberi maaf orang yang berbuat salah kepada kita ? Kita rasa terhina hendak memaafkan orang yang bersalah kepada kita. Lebih-lebih lagi kita yang bersalah, hendak minta maaf lebih sukar lagi. Terasa tergugat ego kita. Lebih-lebih lagi apabila ada jabatan dan pengaruh. Tidak mudah untuk ikut syariat, jika nafsu mengatakan jangan. Sebab itu barang siapa yang berjaya melawan hawa nafsu dia dianggap pahlawan. Dianggap orang berani dan luar biasa. Sebab itu ada hadits yang mengatakan : "Tidak dianggap seseorang itu berani bila ia dapat mengalahkan musuhnya, tetapi dianggap berani, jika seseorang itu dapat melawan hawa nafsunya."
Bukannya seperti yang terjadi hari ini, gelar "Tokoh" atau "pahlawan" yang dikaruniakan kepada seseorang, bila kita tinjau kehidupan mereka, kebanyakan mereka yang sudah dikalahkan oleh hawa nafsu. Itulah pahlawan yang palsu. Pahlawan yang sebenarnya ialah orang yang dapat mengalahkan hawa nafsunya. Inilah yang dikatakan pejuang yang hakiki. Selagi hawa nafsu tidak dapat diperangi, selama itu seseorang itu tidak akan tertuju kepada Allah SWT. Tidak akan dapat benar-benar berbakti kepada Allah SWT. Tidak akan jatuh cinta kepada Allah SWT. Tidak akan dapat memberi ketaatan yang sesungguhnya kepada Allah SWT. Kalau nafsu tidak diperangi, tidak akan dapat hidup dalam kebenaran. Hidup dalam pimpinan Allah. Firman Allah :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.
Ini jaminan dari Allah SWT. Siapa yang melawan hawa nafsu, Allah SWT akan tunjukkan satu jalan hingga diberi kemenangan, diberi bantuan dan tertuju ke jalan yang sebenarnya. Inilah rahasia untuk mendapatkan pembelaan dari Allah SWT. Artinya mereka mendapatkan pembelaan dari Allah SWT sejak di dunia. Jadi sesiapa yang sanggup melawan hawa nafsu, dia adalah rijalullah (orang Allah SWT, keluarga Allah SWT, kepunyaan Allah SWT, tentara Allah SWT), siapa yang menjadi kepunyaan Allah SWT atau tentara Allah SWT, dia akan dibantu oleh Allah SWT. Tetapi selagi belum menjadi tentara Allah SWT, sebaliknya menjadi tentara manusia atau tentara syaitan Allah SWT akan biarkan. Kalau diberi kemenangan atas dasar kuat, bukan atas dasar bantuan. Manakala yang lemah akan diberi kekalahan.
Jadi seseorang itu mesti sanggup melawan hawa nafsu. Kalau tidak banyak ajaran Islam yang terabai, banyak perintah Allah SWT dilalaikan. Bila tidak dapat melawan hawa nafsu, banyak larangan Allah SWT yang akan dibuat. Jadi hanya dengan melakukan mujahadatunnafsi, barulah ajaran Islam itu dapat kita amalkan sungguh-sungguh dan barulah maksiat lahir dan batin dapat kita tinggalkan, karena nafsu yang sangat menghalang itu sudah tidak ada lagi. Nafsu itu sudah kita didik, sudah kita kalahkan, dan sudah menjadi tawanan kita.

6. Istiqomah Beramal.
Beramal jangan bermusim, jangan ada turun naiknya. Kalau sudah beribadah, mesti terus beribadah. Kalau sudah berukhuwah, terus berukhuwah. Kalau tinggalkan maksiat, terus tinggalkan. Jangan sekali buat sekali tinggalkan. Begitu juga kalau berjuang, berdakwah dan sebagainya, hendaklah berjuang dan berdakwah terus. Jangan kadang-kadang beribadah, kadang-kadang tidak; kadang-kadang berdakwah, kadang-kadang tidak. Jadi mesti mengamalkan baik perintah suruh dibuat secara istiqamah maupun perintah larangan itu ditinggalkan secara istiqomah juga. Dengan kata lain, beramal hendaklah secara tetap, secara rajin dan terus menerus. Ini yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW: "Sebaik-baik amalan itu, yang dibuat secara istiqamah sekalipun sedikit".
Apa yang dimaksudkan sedikit ? Sekiranya tidak diuraikan, nanti ada mereka yang ambil kesempatan dengan berkata: "yang penting istiqamah, tetap Allah SWT terima walaupun sedikit. Kalau begitu saya akan shalat saja sampai mati. Puasa, naik haji, berkorban dan sebagainya tak perlu dibuat". Sebenarnya sedikit yang dimaksudkan oleh Rasulullah ialah amalan-amalan yang fardhu sudah ditunaikan. Yang fardhu ain selesai, kemudian ditambah pula dengan amalan yang sunat. Istiqamah amalan yang sunat, amalan wajib memang tidak dapat ditinggalkan.
Amalan yang istiqamah akan membuat kesan pada roh atau hati seseorang. Laksana titisan air, walaupun kecil dan lembut tapi jika ia meniti sepanjang masa, lama-kelamaan batu akan lekuk. Sebaliknya, air banjir yang datang setahun sekali atau dua tiga tahun sekali, walaupun besar tetapi tidak dapat melekukkan batu. Tegasnya, amalan sunat yang istiqamah sangat memberi kesan pada hati. Kesannya dapat dilihat pada gerak-gerik, membuahkan akhlak yang mulia. Sebaliknya amalan sunat yang dibuat walaupun banyak tetapi tidak secara istiqamah, tidak memberi bekas pada jiwa.

7. Ada Pemimpin yang Memimpin.
Dapat memimpin baik di bidang ilmu, akal atau hati. Baik yang lahir maupun yang batin dan dalam semua hal hingga hidup kita ini dapat tertuju kepada Allah SWT. Dalam Islam, pemimpin yang dapat memimpin hidup kita itulah yang dikatakan mursyid. Asalnya dari perkataan 'mursyidun' maknanya orang yang memimpin. Setiap orang wajib ada pemimpin yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau tidak, hafiz atau tidak, pakar Islam atau tidak, mualim atau tidak.
Orang yang memimpin (mursyidun) tidak sama dengan mua'llim. Juga tidak sama dengan ustaz dan guru. Sebab mu'alim itu hanya memberi ilmu. Mereka hanya memandang luar. Tetapi mursyid yang dapat memimpin. Allah SWT memberi padanya ilmu-ilmu yang luar biasa. Ada ilmu lahir dan batin. Bukan saja dia dapat memimpin akal, tetapi juga hati (roh) juga dipimpinnya. Walaupun mursyid itu seorang yang tidak hafal Al Quran dan Hadis. Sebab itu sebagaimana hebat alim seseorang itu, dia mesti punya pemimpin.
Memang guru, pemimpin itu susah dicari. Apalagi di zaman sekarang yang sudah jauh dari Rasulullah. Orang yang jadi mursyid hanya dalam hitungan jari saja. Sebab itu mursyid kurang popular dan jarang disebut dalam kehidupan sehari-hari. Imam Ghazali r.h. berkata: "Untuk mencari seorang mursyid, laksana mencari belerang merah"
Begitulah susahnya untuk mencari mursyid. Sebab itu pimpinan sudah tidak wujud lagi di kalangan umat Islam hari ini. Maka berjuangpun hanya main-main akal, beribadah sesuka hati, bertindak sembrono, tidak diukur secara ilmu lagi. Jadi perlu ada guru yang mursyid, yang dapat memimpin ilmu dan amalan kita, yang memimpin lahir dan batin kita. Guru mursyid ini menjadi tempat kita merujuk walau dalam hal keci sekalipun. Tetapi di sinilah banyak yang tidak faham termasuk alim ulama. Sebagiannya berkata "kalaulah kita sudah berguru ke satu tempat, jangan lagi berguru di tempat lain". Ini satu fahaman yang salah. Sebenarnya guru mursyid yang tidak banyak; seorang saja. Tapi kalau guru sumber ilmu, lebih banyak lebih baik karena lebih banyak saluran untuk dapat ilmu. Imam Ghazali r.h. ada 1000 orang gurunya.
Guru pimpinan, tempat rujuk dalam semua hal hanya seorang saja. Dalam hal apapun mesti dirujuk kepadanya termasuk dalam hal yang mubah. Walaupun mubah, tetapi untuk dapat berkat mesti bertanya kepadanya. Lebih-lebih lagi kalau sudah menjadi arahannya wajib ditaati. Setiap arahannya sudah menjadi wajib sebab mentaati pemimpin adalah wajib. Di sinilah kebanyakan kesalahan pejuang sekarang. Mereka sudah memiliki jemaah, tetapi bila ada masalah dalam jemaah dia rujuk pada 'ulama luar jemaah' atau dukun.
Jadi setiap orang yang ingin membaiki dirinya mesti ada mursyid yang akan memimpinnya, sekalipun dia ulama, alim, hafaz Al Quran dan pakar hadis. Kenapa ? Dalam ajaran Islam ini, ada ilmu yang datang dari akal, dan ada yang dari hati; ada lahir ada batin; ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Kalau seseorang itu diberi ilmu yang tersurat, belum tentu dia akan diberi ilmu yang tersirat. Bukan semua muhaddisin akan diberi ilmu-ilmu hati. Oleh itu, walau ulama pakar sekalipun, mesti ada guru yang memimpinnya. Di sinilah banyak orang salah faham, terutama para ulama. Hati mereka berkata, "Saya sudah jadi ulama, alim, sudah mengajar profesor, sudah menjadi dosen, mengapa perlu pimpinan ? Saya boleh pimpin diri saya sendiri. Buat apa bersandar kepada orang lain ?" Sebab mereka merasa mereka banyak ilmu dan dapat pimpin diri sendiri. Lebih-lebih lagi mereka tidak mau dipimpin oleh guru yang mursyid.
Orang yang boleh memimpin ataupun mursyid, hanyalah orang yang pintu hatinya terbuka, yaitu yang mempunyai basyirah. Bukan sekedar akal saja terbuka. Banyak orang yang akalnya terbuka, hingga dapat menangkap ilmu, tapi orang yang hatinya terbuka tidak banyak. Mursyid itu ialah orang yang hatinya terbuka luas dan dapat memimpin orang lain. Dia tidak semestinya lebih alim daripada orang yang dipimpinnya. Imam Hambali umpamanya, dia tidak disebut ahli tasawuf sebab dia tidak mengarang kitab tasawuf, sebaliknya hanya mengarang kitab ilmu-ilmu lahir. Tetapi yang sebenarnya dia juga alim ilmu batin (karena semua Imam mahzab itu adalah mursyid dan pakar tasawuf). Dia tahu dan mengamalkannya. Menurut riwayat, Imam Hambali selalu merujuk kepada ulama-ulama, menziarahi bisyru al khafi, sering menziarahi ahli-ahli sufi di ujung negeri Baghdad. Jadi setiap orang mesti mencari seorang guru mursyid untuk memimpin dirinya walaupun dia alim. Lahir dan batinnya perlu diserahkan kepada guru mursyid.

8. Berdoa kepada Allah SWT.
Usaha kita tidak memberi bekas walaupun usaha itu diperintahkan oleh Allah SWT. Kita sudah belajar, tetapi ilmu itu sebenarnya tidak memberi bekas. Kita bermujahadah, tetapi usaha kita membaiki diri itu tidak memberi bekas. Mursyid kita tidak memberi bekas walaupun kita disuruh mencari mursyid. Yang memberi bekas hanyalah Allah SWT. Allah-lah yang menghitamputihkan nasib kita. Begitulah keyakinan kita. Sebab itu kita mesti selalu panjatkan doa kepada Allah SWT agar Allah SWT senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita.
Dapat hidayah itu lebih mudah. Contohnya dibuka pintu hatinya untuk menerima dan suka kepada Islam. Tetapi belum tentu dapat taufiq. Taufiq ialah amalannya selaras dengan ilmu atau dengan apa yang dia mau. Praktikal dengan teorinya sama. Ilmiah dengan amaliahnya sama. Oleh karena yang muatsir hanyalah Allah, jadi tujuh hal yang diperkatakan diatas tidak muatsir, walaupun diperintah. Dia tidak memberi bekas. Sebab itulah mesti bersungguh-sungguh berdoa kepada Allah SWT. Bila Allah SWT beri hidayah dan taufiq semua masalah selesai. Tidak ada masalah yang sulit. Yang besar jadi kecil, yang kecil lebih lagilah jadi terlalu kecil.
Ilmu Islam seperti juga sebagaimana ilmu dunia juga. Tidak mesti kita belajar ilmu dan apabila diamalkan itu tepat sebagaimana belajar. Kebanyakannya tidak tepat walaupun sudah ada nasnya. Tepat yang lahir, batin pula yang tidak kena. Contohnya kita belajar ilmu shalat. Dari segi rukuk, sujud, tepat sebagaimana dalam kitabnya. Tapi yang batin, hati tidak sujud, hati pula yang tidak rukuk. Inilah yang dikatakan taufiq tidak ada sebaliknya hanya dapat hidayah saja. Contoh yang lain, seorang yang belajar ilmu ekonomi yang selalu memikirkan soal untung dan rugi. Tetapi bila praktikal tidak selalu begitu. Sebab itu mandor lebih pakar dari enginer. Enginer tahu menyebut dari segi istilah saja sesuatu 'barang'. Tetapi seorang mandor istilahnya tidak tahu menyebutnya tapi dialah yang pakar mengoperasikannya.
Jadi teori dengan amal tidak selaras walaupun dari segi ilmunya sudah nampak tepat. Tetapi bila buat tidak tepat. Itulah yang menunjukkan selain Allah SWT tidak memberi bekas. Oleh itu mesti selalu berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniakan hidayah dan taufiq. Bila Allah SWT berikan hidayah dan taufiq, semua apa yang dibuatnya akan tepat. Begitulah teori ilmiahnya, 8 syarat yang ditempuh oleh seseorang itu agar ia menjadi orang soleh atau menjadi orang yang bertaqwa. Bila kita menjadi orang yang bertaqwa barulah kita akan dapat ganjaran dari Allah SWT dunia dan Akhirat. Jadi sebelum kita menjadi orang yang bertaqwa selagi itulah Allah SWT tidak akan bantu dan bela kita serta tiada jaminan daripada Allah SWT. (Sumber: http://kawansejati.ee.itb.ac.id/kesadaran-islam/id-16-delapan-syarat-taqwa.html)

G.    Jalan Menuju Taqwa.

Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Dzhilalil Qur’an menjelaskan bahwa taqwa merupakan kepekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus-menerus, selalu waspada dan hati-hati terhadap duri yang bertebaran di sepanjang jalan kehidupan. Taqwa merupakan sumber segala kebaikan kehidupan masyarakat, satu-satunya cara untuk mencegah kejahatan, kerusakan, dan perbuatan dosa. Taqwa merupakan pilar utama dalam pembinaan jiwa dan akhlaq seseorang untuk menghadapi berbagai fenomena kehidpuan. Untuk itu, Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Ruhaniyatud Da’iyah (Tarbiyah Ruhiyah) mengajak setiap muslim melakukan aktivitas yang dapat menggapai derajat taqwa. Setiap muslim perlu mengokohkan ruhiyahnya dengan melakukan mu’ahadah, muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, dan mujahadah. Untuk meraih predikat taqwa maka perlu usaha-usaha konkrit/nyata yang harus kita lakukan:
1.    Mu’ahadah, yaitu senantiasa mengingat perjanjian dengan Allah SWT, bahwasanya kita adalah hamba Allah SWT yang diperintahkan untuk senantiasa mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Bagi orang-orang yang mengerjakan shalat mereka berjanji sekurang-kurangnya sebanyak 17 kali bahwa dia tidak akan menyembah Tuhan selain kepada Allah SWT dan tidak memohon pertolongan selain kepada Allah SWT.
2.     Mu’aqobah, yaitu senantiasa memberi sangsi kepada diri sendiri apabila melakukan kesalahan atau lalai dari taat dan ibadah kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Umar bin Khaththab tatkala beliau mengunjungi salah satu kebun, beliau menyaksikan orang-orang yang telah selesai shalat Ashar berjama’ah. Beliau merasa sangat rugi ketinggalan shalat Ashar berjama’ah, maka sebagai hukumannya beliau menginfaqkan kebun yang beliau kunjungi itu untuk kepentingan kaum muslimin, karena kebunnya tersebut telah melalaikannya dari dzikir kepada Allah.
3.      Mujahadah, yaitu selalu bersungguh-sungguh dalam setiap amal sekecil apapun, karena kesuksesan besar itu berawal dari yang kecil-kecil, manakala yang kecil saja tidak mampu dan diabaikan, lalu bagaimana akan meraih yang besar. Kesungguhan dalam beramal, bekerja dan beribadah itu merupakan bukti keimanan seorang mukmin, yaitu beriman dengan meyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan.
4.      Muroqobah, yaitu merasa selalu diawasi oleh Allah SWT. Kesadaran merasakan pengawasan Allah SWT ini sehingga melahirkan kesetiaan dan ketaatan setiat saat. Saat bekerja dirumah, saat dalam perjalanan atau dimana saja berada. Merasakan pengawasan Allah SWT akan membangung kepekaan hati untuk senantiasa taat kepada Allah SWT dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan sejak dari kemaksiatan mata sampai kepada perut.
5.      Muhasabah, yaitu selalu menghisab/menghitung amal yang kita kerjakan membandingkan antara amal yang baik dengan amal yang buruk sebelum segala perbuatan kita dihisab oleh Allah. “Semut diseberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tidak tampak.” Janganlah kita menjadi orang sibuk mengoreksi pekerjaan dan urusan serta kesalahan orang lain sementara kekurangan dan kesalahan sendiri terlupakan.


H.    Penutup.

Jika nilai-nilai taqwa mampu direfleksikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka akan terwujud sebuah tatanan masyarakat yang kita cita-citakan, yaitu Masyarakat Madani yang merupakan warisan dari Sunnah Nabawiyah, sebuah komunitas yang hadir melalui perjuangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW, dengan bingkai Piagam Madinah yang diakui oleh para pakar sebagai konstitusi tertua di dunia yang sangat modern, dan menghadirkan fakta historis tentang pengelolaan negara berbasiskan pada prinsip hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; dan bergotong-royong untuk menjaga kedaulatan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini