Selasa, 02 Agustus 2011

ZAKAT PROFESI

A.   Pendapat Ulama tentang Zakat Profesi
Profesi diberi beberapa pengertian yang berbeda. Akan tetapi intinya adalah suatu pekerjaan yang dilakukan sebagai kegaitan pokok (bukan sebagai hobi, rekreasi atau pengisi waktu luang) yang berdasarkan antara lain :
  1)    keahlian dan pengetahuan spesialis serta tekhnik  intelektual,
  2)  pendidikan atau pelatihan yang cukup lama untuk menguasai pengetahuan tentang profesi tersebut,
3)    mendapat izin dari negara untuk melakukannya,
4)    ada organisasi yang mengendalikan profesi,
5)    adanya suatu janji publik untuk memberi bantuan kepada yang membutuhkan dan akibatnya mempunyai tanggung jawab dan tugas khusus,
6)    adanya suatu kode etik bagi profesi.
Dalam kitab-kitab fiqh kontemporer, pembicaraan lebih luas dari sekedar zakat profesi. Dalam karya-karya fiqh tersebut zakat profesi masuk dalam suatu bab pembahasan lebih luas yang biasanya diberi judul “zakat kasbil-‘amal wa al-mihan al-hurrah,”[1] yang secara harfiah berarti zakat hasil pekerjaan terikat dan pekerjaan bebas. Zakat hasil pekejraan terikat maksudnya adalah zakat atas penghasilan dari melakukan suatu pekerjaan -baik pekerjaan fisik, intelek, maupun gabungan keduanya- untuk pihak  lain itu suatu badan atau perorangan, dan dari pekejraan itu orang tersebut mendapat gaji atau upah, sepeerti pegawai, karyawan, buruh. Sedangkan zakat hasil pekerjaan bebas dalam konteks ini dimaksudkan zakat atas penghasilan dari melalukan pekerjaan bebas, seperti pekerjaan yang dilakukan secara mandiri (tidak untuk orang lain) seperti pengacara, konsultan, tukang, penjahit, dan semacamnya yang tidak terikat perjanjian kerja dengan pihak lain.[2] Dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, pasal 11 ayat (2) huruf f, zakat kasbil-‘amal wa al-mihanil-hurrah ini disebut zakat hasil pendapatan dan jasa.[3] Dengan demikian ulama menyatakan bahwa zakat profesi, yang merupakan zakat penghasilan yang diperoleh dari melakukan suatu pekerjaan berdasarkan keahlian khusus termasuk bagian apa yangt dalam fiqh kontemporer disebut zakah kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurrah.
Dasar wacana zakat profesi yang dikemukakan oleh ulama berdasarkan firman Allah QS Al Baqarah ayat 267 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ[4]
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Sedangkan yang dimaksud dengan hasil usaha dalam ayat tersebut dikatakan oleh al-Jassas (w.370/981) dalam tafsirnya Ahkam al-Quran, “hasil usaha (kasb) itu ada dua macam: pertama, keuntungan yang diperoleh melalui pertukaran barang, kedua, hasil dari kegiatan memberikan jasa.”[5] Kemudian al-Jassas menyatakan lebih lanjut bahwa keumuman ayat ini mewajibkan zakat pada semua jenis harta kekayaan (amwal) karena tercakup dalam kata-kata ma kasabtum (hasil usaha kamu) dalam ayat dimaksud.[6]
 Memang ada bebrapa ulama salaf, seperti al-Hasan al-Basri (w.110/728) dan Mujtahid (w.103/721), yang membatasi pengertian “hasil usaha” (ma kasabtum) hanya pada perdagangan (altijarah) saja. Penafsiran ini memang dapat dimakulmi karena barang kali memang pada zaman mereka usaha yang mendatang hasil itu terutama adalah perdagangan. Sementara pada zaman sekarang yang ditandai kemajuan ilmu dan tekhnologi telah berkembang berbagai jenis usaha, pekerjaan dan okupasi baru yang dahulu belum ada, dan bahkan mendatangkan penghasilan yang cukup besar. Oleh karena itu tafsiran yang diberikan oleh al-Jassas lebih logis dan masuk akal untuk dipegangi.[7]
Hasil Bahsul Masail dalam Munas Alim Ulama NU 2002 cenderung memasukan zakat profesi dan zakat pendapatan dan jasa secara umum (zakah kasb al-’iamal wal al-mihan al-hurrah) sebagai zakat tijarah. Oleh karena itu, untuk dikenai zakat, hasil pendapatan dan jasa itu harus memenuhi unsur tijarah (pertukaran harta terus menerus untuk memperoleh keuntungan). Hasil Bahsul Masail tersebut menegaskan lebih lanjut bahwa dalam realitasnya jarang yang bisa memenuhi persyarakatn tijarah itu.[8]
Di lingkungan Muhammadiyah zakat profesi telah diterima dalam Putusan Tarjih ke-25 di Jakarta tahun 2000. Namun tidak dikualifikasikan ke mana-mana. Nisabnya ditentukan setera dengan 85 gram emas murni 24 karat dan kadar zakatnya 2,5 %.[9] Sedang dalam Pedoman Zakat Praktis yang dikeluarkn oleh Dewan Syariah LAZIZ Muhamamdiyah, zakat profesi juga diterima, tetapi tidak ada kepastian nisabnya apakah dikiaskan kepada hasil pertanian ataukah kepada emas.[10]
Pandangan dua ulama kotemporer terkemuka, Al-Qardawi dan az-Zuhaili lebih mudah dipahami dan sesuai dengan kenyataan bahwa penghasilan dari profesi dan kasbil-‘amal wa al-mihan al-hurrah secara umum memang menggambarkan harta mustafad (penghasilan) yaitu segala pendapatan baru yang diperoleh dan masuk ke dalam pemilikan seseorang melalui sarana pemiilkan apapun yang sah, baik pendapatan baru itu merupakan perkembangan dari kenyataannya yang sudah ada, seperti hasil binatang, hasil pertanian, keuntungan dagang maupun penadapatan yang tidak merupakan perkembangan dari kenyataan yang sudah ada melainkan diperoleh dengan suatu cara terpisah dan beridi sendiri seperti gaji atau upah hasil dari modal, hadiah, hibah dan sebagainya.
Zakat harta mustafad termasuk di dalamnya penghasilan dari profesi, merupakan zakat pendapatan (zakah ad-dakhl) yaitu zakat terhadap hasil. Oleh karena itu tidak diberlakukan haul seperti zakat pertanian.[11]
B.   Analisis
Pekerjaan profesi jelas mendatangkan penghasilan dan menjadi sumber pendapatan utama yang menopang kehidupan manusia di zaman modern. Oleh karena itu menurut hemat saya layak dikenai zakat dengah memenuhi ketentuan umum tentang zakat seperti dikemukakan terdahulu. Kewajiban zakat atas penghasilan dari pekerjaan profesi dan penghasilan dari melakukan pekerjaan terikat maupun bebas secara umum sebagaimana dikemukan di atas dapat didasarkan kepada keumuman perintah membayar zakat atas hasil usaha dan keumumnan kata amwal yang disebut dalam al Quran dan Sunnah Nabi SAW. Di antara nash-nash umum tersebut adalah :
1)    Firman Allah QS Al Baqarah ayat 267 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ   [12]
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
2)    Firman Allah QS Az-Zariat ayat 19 :
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ [13]

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.

3)    Firman Allah QS Al-Ma’arij ayat 24-25 :
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ [14]

Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu,. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta),

4)    HR. Bukhari dan Muslim :
عن اين عباس رضى الله أن النبى صلى الله عليه وسلم بعث معاذا رضي الله عنه إلى اليمن فقال ادعهم إلى شهادة أن لاإله إلا الله وأني رسول الله فإن هم أطعو لذلك فأعلمهم إن الله قد افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم تؤخذ من أغنيائهم وترد على فقرائهم  (روه البخاري ومسلم ) [15] 
Dari Ibn ‘Abbas r.a (diriwayatkan) bahwa Nabi SAW mengutus Mu’az r.a ke Yaman. Beliau beerpesan kepada Mu’az: Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku (Muhammad) adalah Rasulullah. Jika mereka mematuhimu dalam hal  itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan lima salat atas mereka setiap semalam, dan jika mereka mematuhimu hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat atas kekayaan meerka yang dipungut dari orang-orang kaya di antara mereka dan diberi kepada orang-orang fakir (HR. Bukhari dan Muslim).
Sesuatu penghasilan dari profesi dan kasbil-‘amal wa al-mihan al-hurrah secara umum memang menggambarkan harta mustafad (penghasilan) yaitu segala pendapatan baru yang diperoleh dan masuk ke dalam pemilkian seseorang melalui sarana pemilikan apaun yang sah, baik pendapatan baru itu merupakan perkembangan dari kenyataannya yang sudah ada, seperti hasil binatang, hasil pertanian, keuntungan dagang maupun pendapatan yang tidak merupakan perkembangan dari kenyataan yang sudah ada melainkan diperoleh dengan suatu cara terpisah dan beriri sendiri seperti gaji atau upah hasil dari modal, hadiah, hibah dan sebagainya.
Zakat profesi dikeluarkan pada saat diterima tanpa dikenakan haul dan hasil bersih setelah dipotong pengeluaran kebutuhan pokok minimal. Apabila sisa dari kebutuhan pokok minimal itu mencapai nisab, maka dikeluarkan zakatnya 2,5 %. Apabila kelebihan kebutuhan  pokok minimal itu tidak mencapai nisab, maka tidak zakat. Namun ada kemungkinan sisa itu tidak mencapai nisab pada saat diterima, namun bila digabungkan dengan sisa-sisa penerimaan bulan-bulan berikutnya akan mencapai nisab. Bahkan sesungguhnya perhitungannya dibuat per tahun saja, sehingga perhitungan zakatnya adalah 2,5 % x (gaji satu tahun dikurangi kebutuhan pokok satu tahun).
      Dengan demikian zakat profesi adalah zakat atas penghasilan yang diperoleh dari melakukan suatu pekerjaan profesi dan dimasukan ke dalam pembahasan fiqh kontemporer yang mana zakat profesi termasuk ke dalam zakat kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurra (zakat pendapatan kerja dan jasa), dan tidak berlaku haul terhadapnya karena termasuk dalam kategori harta mustafad, yang disamakan dengan nisab dan kadar zakat an-nuqud (mata uang emas) yaitu kira-kira 85 gram emas murni dengan zakat 2,5 % yang dapat dikeluarkan saat menerima pendapatan atau dihitung satu tahun setelah dan dikeluarkan kebutuhan pokok minimal.
Footnote:

[1] Lihat ‘Ali, al-Mawarid al-Maliyyah fi al-Islam, cet. Ke-3, Kairo, Maktabah al-Anglo al-Misiriyyah, 1972, hlm. 107
[2] Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillah, cet. Ke-3, Damaskus, Dar al-Fikr, 1989, II, hlm. 865-866
[3] Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Zaklat, Jakarta, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Depag, 2002, hlm. 6
[4] Departemen Agama RI, Al Quran dan Tarjamahannya, hlm. 67
[5] Al-Jassas, Ahkam al-Quran, Beirut, Dar al-Fikr, 1993, I, hlm. 623
[6] Ibid.
[7] Syamsul Anwar, Studi Islam Kontemporer, Yogyakarta, Cakrawala, 2006, hlm. 50-51
[8] Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nadhdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d Ketigapuluh/2000, cet. Ke-1 Jakarta, PPRMI dan Qultum Media, 2004, II, hlm. 184 Nomor 431
[9] Putusan Tarjih Tahun 2000 dalam Munas Ke-25, Lampiran II (naskah tidak diterbitkan), hlm. 27
[10]Dewan Syariah LAZIZ Muhammadiyah, Pedoman Zakat Praktis, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2004, hlm. 43-44
[11] Syamsul Anwar, Op.,Cit, hlm. 55
[12] Departemen Agama RI, Al Quran dan Tarjamahannya, hlm. 67
[13] Ibid., hlm. 859
[14] Ibid., hlm. 974
[15] Dikutip dalam buku Syamsul Anwar, Studi Op.,Cit., hlm. 49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini