Minggu, 23 Oktober 2011

MACAM-MACAM KARAKTERISTIK PEMBAHARUAN PEMIKIRAN DI INDONESIA


A.    PENDAHULUAN
Di sebagaian umat Islam tradisional hingga saat ini tampaknya ada perasaan masih belum mau menerima apa yang dimaskud dengan pembaharuan Islam. Hal ini, antara lain disebabkan karena salah persepsi dalam memahami arti pembaharuan Islam. Mereka memandang bahwa pembaharuan Islam adalah membuang ajaran Islam yang lama diganti dengan ajaran Islam baru, padahal ajarasn Islam yang lama itu berdasarkan pada hasil ijtihad para ulama besar yang dalam ilmunya, taat beribadah dan unggul kepribadiannya, Sedangkan ulama yang ada sekarang dipandang kurang  mendalam ilmu agamanya, kurang taat beribadahnya, dan kurang baik budi pekertinya. Oleh karena itulah merteka masih beranggapan bahwa pemikiran ulama di abad yang lampau sedah cukup baik dan tidak perlu diganti dengan pemikiran ulama sekarang.
Pembaharuan Islam sebenarnya bukan sebagaimana yang dipersepsikan oleh sementara kaum tradisional di atas. Pemabaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajauan ilmu pengetahuan dan tekhnologi moderen. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks Al Quran maupun teks Hadis, melainkan hanya menyesuaikan pemahaman atas keduanya sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dilakukan karena betapaun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekuarangnyanya dan selalu dipengarhui oleh kecenderungan, pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya, Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan  dan masih dapat digunakan tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Mengkaji berbagai upaya pembaharuan berikut pemikiran, tokoh-tokoh, organisasi, strategi dan keberhasilannya selain berguna untuk kepentingan akademisi juga berguna sebagi bahan perbandingan untuk melakukan pembaharuan di Indonesia. Dalam kaitan ini kita merasa perlu menkaji pengertian pembaharuan Islam tersebut, pemikiran-pemikiran dan tokoh-tokoh pembaharuan serta strategi yang diterapkan pada setiap ide pembaharuannya yang dimaksud.
Dari deskripsi tersebut terlihat kemajuan Islam. Kini umat Islam tengah memikirkan bagaiamna cara memajukan dirinya. Pembaharuan terjadi di hampir negara termasuk di Indonesia. Pembaharuan tersebut masih tersus berkembang dan berlangsung untuk menncapai tujuannya yang diinginkan. Sementara itu berbagai penelitian ahli terhadap fenomena pembaharuan Islam terus berlanjut baik  melalui publikasi baik dalam bentuk buku, artikel maupun dakwah dengan lisan dan sebagainya.Keadaan demikian, mencullah suatu bidang studi pembahauan dalam Islam.
Telah banyak penelitian yang dilakukan para ahli yang mengambil tema di sekitar pemikiran modern dalam Islam Makalah singkat ini akan mencoba mengupas macam-macam karakteristik pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia baik dilihat dari aspek ketokohan maupun dari aspek organisasi. Dan untuk itu penulis akan emncukup dengan dari aspek tokoh hanya akan menampilkan sosok KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari dan aspek organisasi yaitu Muhammadiyah, Nadlatul Ulama dan Persatuan Islam. Karena terbatasnya ruang dan tempat penyajian yang cukup mewakili pembaharuan dalam Islam yang merupakan awal tongkak pembaharuan di Indonesia.

B.     PEMBAHARUAN DALAM ISLAM
1.      Pembaruan Pemikiran dalam Islam
Pembaruan atau pemurnian dalam bahasa Arab جددوا “ yang  secara  etimologi  berakar pada kata (جديد ), yang menunjukan kepada tiga arti pokok : (1) keagungan, (2) bahagian, (3) pegangan. Kata ini kemudian berubah menjadi ( جدد ) yang berarti “memperbaharui” sebagai lawan dari usang.[1] Kata “baru” dalam konteks bahasan ini, menghimpun tiga pengertian yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yakni :  (1) barang yang diperbaharui pada mulanya pernah ada dan pernah dialami orang lain; (2) barang itu dilanda zaman sehingga menjadi usang dan ketinggalan zaman; (3) barang itu kembali diaktualkan dalam bentuk kreasi baru.[2]
Dalam bahasa Indonesia telah selalu dipakai kata pembaharuan, modern, modernisasi dan modernisme, seperti yang terdapat umpamanya dalam ”aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi”. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat-sistiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.[3] Sebagaimana halnya di dunia Barat, dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern itu.
Al-Qumi mendefinisikan tajdid sebagai menghidupkan kembali amalan al Quran dan al Sunnah yang pernah aktual dan menetapkan hukum suatu perbuatan berdasarkan kedua sumber tersebut.[4] Sementara itu, Al-Qari menyatakan bahwa tajdid adalah membedakan antara sunnah dan bid’ah; memperjelas kandungan sunnah dan memuliakan ahlinya, serta menghancurkan bid’ah dan memerangi ahlinya.[5]
Prof. Dr. H. Harun Nasution mendefenisikan Pembaruan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.[6] Dengan demikian menurutnya bahwa pembaruan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks Alquran maupun teks Al-Hadis, melainkan hanya mengubah atau menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan perkembangan zaman.  
Hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu, tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecenderungan, pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang munkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan. Tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.[7] Selain itu pembaruan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang teradapat di dalam Alquran dan Al-Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Alquran dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat.[8]
Dengan demikian, tajdid (pembaruan) adalah sesuatu yang pernah aktual pada awalnya, tetapi karena perkembangan waktu, sesuatu tidak menjadi baru lagi dan untuk mengaktualisasikan kembali harus mengacu pada konteksnya semula.

2.      Urgensi Pembaharuan Pemikiran dalam Islam
Alquran misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan modern serta tekhnologi secara seimbang: hidup bersatu, rukun dan damai sebagai suatu keluarga besar: bersikap dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai kebersihan, dan lain sebagainya. Namun kenyataan umatnya menunjukan keadaan yang berbeda. Sebagian besar umat Islam hanya menguasai pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasainya bahkan dimusuhinya; hidup dalam keadaan penuh pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling bermusuhan, statis, memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehendak untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang menghargai waktu, kurang terbuka dan lain sebagainya.
Sikap dan pandangan hidup seperti ini jelas tidak sejalan dengan ajaran Alquran dan Al-Sunnah, dan hal demikian harus diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Alquran dan Al-Sunnah.
Untuk mendukung contoh-contoh tersebut di atas, Harun Nasution dalam bukunya berjudul Pembaharuan dalam Islam telah banyak mengemukakan ide-ide pembaruan dalam Islam dengan maksud  sepert diungkapkan di atas. Muhammad Abduh, salah seorang pembaharu di Mesir, sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, misalnya, mengemukakan ide-ide pemabaruan antara lain dengan cara menghilangkan bid’ah yang teradapat dalam ajaran Islam, kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, dibuka kembali pintu ijtihad, menghargai pendapat akal, dan menghilangkan sikap dualisme dalam bidang pendidikan.[9]
Sementara itu, Sayyid Ahmad Khan, salah seorang tokoh pembaharu dari India, berpendapat bahwa untuk mencapai kemajuan perlu meninggalkan paham teologi jabariah (fatalism) diganti dengan paham qadariah (free will dan free act), perlu percaya bahwa hukum alam dengan wahyu yang ada dalam Alquran tidak bertentangan, karena kedua-duanya berasal dari Tuhan, dan perlu dihilangkan paham taklid diganti dengan paham ijtihad.[10]
Beberapa ajaran Islam (bidang muamalah) pada masa awal perkembangannya juga berada dalam kondisi aktual. Tetapi, dengan terjadinya pergeseran situasi dan kondisi, maka ajaran-ajaran itu telah banyak berubah. Oleh karena itu, untuk mengaktualisasikan ia harus dikembalikan kepada kondisi awalnya dengan mengadakan interprestasi baru. Contoh lain, “memperbarui janji”. Pada waktu pertama kali janji itu diikrarkan ia berada dalam kondisi baru, tetapi karena mengalami waktu yang panjang, maka janji itu menjadi usang, dan untuk memperbaruinya lagi ia diikrarkan kembali.

3.       Gerakkan Pemikiran Modern Islam di Indonesia.
Agama Islam masuk ke Indonesia pertama kalinya di sekitar abad XIII Masehi[11] dan perkembangan Islam tidak dicampuri  oleh sesuatu usaha pemerintah manapun juga, dimana daerah dan pulau-pulau kecil yang lain satu persatu masuk Islam, terutama dengan usaha saudagar-saudagar Islam. Ketika Islam masuk ke Indonesia, ia bukannya menjumpai masyarakat yang masih bersih dari berbagai acam ragam keyakinan hidup. Masyarakat Indonesia pra Islam adalah masyarakat yang telah memiliki kepercayaan, seperi animisme, dinamisme, Hindu maupun Budha yang diyakini dan telah menyatu dalam seluruh aspek kehidupannya sedemikian rupa. Dan ketika mereka dengan kesadarannya sendiri mau menerima seruan dan ajakan Islam, ternyata sisa-sisa kepercayaan sebelumnya tidak serta-merta ditanggalkan dari kebiasaan hidupnya. Gejala bercampur-aduknya antara kepercayaan lama dengan keyakinannya yang baru tidak mungkin dapat dihindari.
Di lain pihak, Islam yang datang ke Indonesia bukannya dibawa oleh para mubaligh yang langsung datang dari jazirah Arab, melainkan dibawa oleh para pedagang dan mubligh dari Gujarat-India. Sebagian besar tersiarnya Islam di Indonesia ini adalah hasil pekerjaan kaum Sufi dan Mistik, sedangkan dalam masalah fiqih yang menguasai lapangan pendidikan dan pengajaran tradisional Islam di Indonesia –disamping tasawwuf- muslim Indonesia mengikuti mazhab Syafi’i.
Dari uarain singkat di atas jelaslah bahwa kondisi keberagaman masyarakat Indonesia sejak semula memang tidak menggambarkan Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah, yaitu suatu agama yang sangat sederhana sekali, bernalar, dan mudah dilaksanakan.[12] Namun kedamaian umat Islam di Indonesia dalam melaksanakan kehidupan keagamaan dan dakwahnya yang berlangsung selama lebih kurang tiga abad, di sekitar awal abad XVI tiba-tiba dikejutkan dengan datangnya bangsa-bangsa Eropa untuk mennjajah secara silih berganti antara bangsa Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda, datang ke Indonesia yang dengan  3 motif utama, yaitu motif ekonomi (gold), motof politik (glory) dan motif penyebaran agama Kristen (gospel).
Kondisi umat Islam di Indonesia seperti di atas berjalan-beratus tahun lamanya. Baru pada sekitar tahun 1803 bersamaan dengan kepulangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari menunaikan ibadah haji dan untuk sementara waktu bermukim, mereka pulang kembali ke kampung halamannya di Minangkabau dengan membawa semangat Islam yang diilhami Gerakan Wahabi yang puritan.[13] Sementara di daerah Luhak Agam para tuanku mengadakan kebulatan tekad untuk memperjuangan tegaknya syara’ sekaligus memberantas segala macam kemaksiatan yang sudah mulai semarak dikerjakan oleh kaum adat. Mereka teridri dari Tuaku Nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuaku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuaku Kubu Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang. Kedelapan-orang inilah yang terkenal dengan julukan ‘Harimau nan Selapan’,[14] di samping itu mucul juga tokoh lain dari gerakan Paderi yang namanya cukup legendaris, yaitu Muhammad Syabab, yang kemdian terkenal dengan nama Tuaku Imam Bonjol, yang memerangi kaum adat yang penuh dengan kemusyrikan, namun dalam perjalanannya kaum adat meminta bantuan ke Belanada pada akhirnya perlawanan bukan melawan kaum adat melainkan melawan kaum kafir Belanda.
Syaik Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang lahir di Bukitttimnggi tahun 1855 ketika berusia 21 tahun pergi ke Makkah untuk belajar memperdalam pengetahuan agama Islam yang berfahamkan mazhab Syafii. Pada puncak kariernya ia menjadi imam dari mazhab Syafii di Masjidil Haram. Ia adalah sosok ulama yang cerdas, kritis dan toleran.  Di samping itu ia mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan agama Islam menurut faham mazhab Syafi’i dan mempelajari kitab-kitab dari para pembaharu Islam seperti kitab tafisir Al Manar karangan Muhamamd Abduh atau majalah Al Urwatul Wutsqa. Murid-muridnya yang datang dari Indonesia banyak yang berlajar dengan beliau, diantaranya Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Abdul Karim Amarullah (Hamka), Abdullah Ahmad, Ahmad Dahlan dan sebagainya, mereka tertarik dengan ide-ide pembaharuan yang diajarkan oleh Ahmad Khatib. Namun sebagian muridnya yang lain tetap berpegang pada mazhab Syafii antara lain, seperti Syaik Sulaiaman Ar Rasuli Candung Bukiittingi, Hasyim Asy’ari dari Jawa Timur dan sebagainya.[15]
Dari para muridnya inilah yang membawa gerakan pembahruan Islam pertama kali di Indonesia, tokoh-tokoh tersebut mayoritas muncul di Minangkabau, tokoh-tokoh tersebut mencoba memajukan anak-anak bangsa pada agama yang lurus dan ber’itikad yang betul. Tokoh ini pengetahuannya tentang Islam diakui oleh ulama-ulama Timur Tengah pada suatu konferensi Khilafat di Kairo tahun 1926.[16]
Memasuki abad XX di Indonesia, terutama di puau Jawa perjuangan menegakkan agama Islam sehingga kemuliaan Islam sebagai idealita dan kejayaan umat Islam sebagai realita dapat direalisasikan secara konkrit telah dimulai dengan menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Umat Islam mulai saat ini menyadari bahwa cita-cita yang demikian besar lagi berat seperti di atas hanya dapat diperjuangan lebih efektif dan efisien manakala menggunakan alat perjuangan yang namanya “organisasi”.  Maka bermuculanlah berbagai Gerakan Pembaharuan dalam Islam, baik yang bergerak dalam bidang politik kenegaraan seperti Syarikat Islam, Partai Islam Indonesia, Partai Islam Masyumi, Partai Muslimin Indonesia, maupun yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan seperti As-Islah wal-Irsyad atau terkenal dengan Al-Irsyad, Persatuan Islam, dan Muhammadiyah.
Sesungguhnya dua pola perjuangan pemikiran pembaharuan seperti di atas telah ada ‘blue print’ atau cetak birunya sebagaimana yang dirintis oleh gerakan salafiyah yang ditokohi oleh Jamaluddin al-Afghany yang teori perjuanganya lebih dititik beratkan untuk merebut dan mengasai berbagai lembaga kenegaraan, terutama legislatif, dengan keyakinan bahwa dengan dikuasainya berbagai lembaga kenegaraan tersebut maka Islam akan dapat menentukan berbagai perundang-undangan, aturan, keputusan dan kebijakan negara yang benar-benar Islamy. Sedangkan pengaruh Muhamamd Abduh yang berpendapat disamping memakai teori Jamaluddin al-Afghany, ditambah  lewat pendidikan yang benar-benar Islami akan lebih melahirkan kader-kader yang siap menyebarkan ide-ide pembaharuan ke seluruh penjuru dunia, dan sekaligus menjadi pendukung yang setia untuk tampil ke depan mengisi tugas-tugas kenegaraan dan kemasyarakatan.
Dua bidang garap berupa politik dan bidang sosial kemasyarakatn seperti di atas pula yang menjadi platform gerakan  warna pembaharuan Islam di Indonesia. Yang kemudian memunculkan pemikir-pemikir pembaharu Islam di Indonesia. Jika kita gambarkan menjadi bahasan tersendiri, berikut polanya tersebut, yaitu :
1        Gerakan Politik Islam :
a.       Partai Serikat Islam Indonesia.
b.      Partai Islam Masjumi.
2        Gerakan Sosial Kemasyarakatan Islam :
a.       Al-Jamiat al-Khair :
b.      Gerakan Al-Islah wal Irsyad.
c.       Persatuan Islam (Persis).
d.      Persarikatan Muhammadiyah.
3        Gerakan Pemikiran Modern Islam :
a.       Model Prof. Dr. H. Nurkolis Madjid.
b.      Model Prof. Dr. H. Harun Nasution.
c.       Model Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA.
d.      Model Prof. Dr. H. Deliar Noer.
e.       Model Prof. Dr.H.Jalaluddin Rahmat, MA.

4.       Karakteristik Pemikiran Modern di Indonesia
Era 1970-an, diyakini banyak kalangan sebagai gerbang baru dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia. Pada masa itulah corak pemikiran keislaman mulai bangkit gejala baru (baca: pembaharuan) yang disbut “neo modernisme”. Sosok Nurcholis Madjid (Cak Nur) kemudian dinobatkan sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana neo-modernisme Islam Indonesia di kemudian hari.
Pada hari ini, lebih kurang 30 tahun, gerakan pemikiran modern ini kian berkibar dan  menadapt tempat dalam konstalasi keilmuan Islam di tanah air. Hanya saja, seiring arus waktu, ia telah mengalami metamorfosa yang begitu rupa  dan berganti nama dengan “Islam liberal”. Ciri khas yang dapat ditangkap dari aliran model ini adalah kuatnya upaya guna menampakkan nuansa keagamaan (Islam) dalam bentuknya yang substansi. Pemahaman yang diusungnya adalah paradigma holistik yang oetentik dengan tetap berpijaknya pada akar tradisi. Ia tidak mengutamakan bentuk, melainkan lebih pada nilai guna sosial yang ditimbulkannya. Istilah “Islam liberal” sendiri muncul pertama kali di saat Indonesia Greg Barton menyebutnya dalam buku karangannya, Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Semenjak itu,  istilah tersebut mulai akrab di telinga khalayak Indonesia. Apalagi, ketika Charles Kurzman meluncurkan karya Wacana Islam Liberal dan digayung-sambuti dengan pendirian Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh Ulil Abshar Abdilla dan kawan-kawan, wacana liberalisme Islam menjadi kian marak dan melahirkan kontraversi berkepanjangan. Dari waktu ke waktu, wacana ini bergulir dan membiak ke berbagai arah.[17]
Gugusan pemikiran yang bergayung modersnisme dan liberalisme kemudian semata konsumsi dan “monopoli” kalangan Islam perkotaan. Pada akademisi, mahasiswa dan aktivis kajian di berbagai tempat, mulai menjadikan wacana ini sebagai paradigma baru pemikiran Islam. Azyumardi Azrra, dalam pengantar buku ini menjelaskan bahwa satu hal yang cukup menguntungkan bagi gerakan Islam liberal di Indonesia, adalah kian dianutnya paradigma ini oleh segmen anak muda. Menurut Azra, dalam perkembangannya, neo-modernisme Islam telah menjelma menjadi wacana yang tidak terbatas pada kelompok yang dulu dianggap sebagai perintis pembaruan, seperti Muhammdiyah saja. Tapi juga telah menyebar ke dalam kasus-kasus muda yang berasal dari pesantren dan pedesaan. Salah stu contohnya adalah Abd ‘Ala. Secara praktis, paham Islam liberal sama sekali tidak menginginkan adanya segala bentuk formalisasi serta radikalisasi sikap keagamaan.
Sebaliknya, ia cenderung menempatkan Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras dengan  tafsir serta tuntutan zaman yang kian dinamis. Watak pemikirannya yang inklusif, moderat, dan plural menggiringnya untuk membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya perbedaan. Tentu saja dengan tetap menggunakan bingkai pemikiran keislaman yan viable, murni (genuine) dan tetap berpijak kukuh pada tradisi.
Berlatar belakang panorama di atas, orang kemudian mulai menghubungkan wacana semacam ini dengan paradigma pemikiran yang disusung oleh intelektual muslin terkemuka Fazlur Rahman. Tokoh reformasi asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan pengaruh yang sangat kuat bai berseminya wacana Islam liberal di Indonesia. Hal ini – antara lain – dapat dirujuk dari kedekatan Fazlur Rahman dengan Cak Nur, pelopor dari gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Kebutalan Cak Nur beserta beberapa tokoh dari Indonesia (antara lain Syafi’i Ma’rif) sempat berhubungan dan beguru langsung dengan Fazlur Rahman. Cukup wajar jika pada akhirnya peran Fazlur Rahman disebut-sebut sebagi “ikon” yang melekat dalam aliran pemikiran Islam modern di neegri ini, pada konteks itulah pengaruhnya terhadap pemahaman Islam di Indonesia.
Penyingkap akan hal tersebut, terasa penting disebabkan perlunya korelasi yang jelas antara konstruksi pemikiran yang dibentuk (liberalisme) dengan landasan ideal yang menjadi pilar penyangganya. Dalam hal ini terdapat setidaknya dua signifikasi yang bisa dipungut dari pengetahuan kita akan hal tersebut. Pertama, secara teoritis keilmuan, warisan pemikiran yang digagas Fazlur Rahman, kelak berhasil menjadi arus utama (mainsteram) bagi gerakan pembaharuan Islam berikut pembiakannya di Indoneisa, pada titik inilah, gagasan ideal Fazlur Rahman sepenuhnya tak dapat dipisahkan dengan wacana keagamaan yang hegemonik di nusantara. Betapa kita lihat, pelbagai gagasan (antara lain yang sangat menonjol adalah ide penafsiran al Quran dan Hadis secara rekonstruktif dan  hidup) telah menjadi topik penting dari beragam diskusi yang marak digelar di berbagai tempat. Kedua, pemikiran Fazlur Rahman pada akhirnya menawarkan altenatif baru serta perspektif lain bagi kesadaran teoligi (sebagian) umat Islam di Indonsia.
Konsep pendekatan holistik (yang dikenal dengan teologi Quran) yang dosodorkan, serta merta telah menbuka cakrawala pandang baru yang fungsional, liberal dan applicable dalam merespon problema sosial kemanusian mutakhir. Paradigma keislaman di Indonesia telah menampakan hasil yang gemilang. Bukan saja dari tawaran pembaharuan yang diretasnya, namun lebih dari itu, ia  menyisakan sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif dan juga otentik.
Oleh karenanya, ke depan, diskursus pemkiran pembaharuan Islam di Indonesia tetap layak untuk digulirkan dan dikaji secara lebih menarik, di tengah kondisi kehidupan dalam global vilage ini, Islam bisa hadir sebagai perekat solidoritas sosial yang senantiasa mengupayakan keadilan beragama serta keberagamaan yang adil. Pada titik inilah pemabaharuan pemikiran sebagai wahana kreasi ulang (re-ceration) bagi kiprah dan perjalanan pembaharuan Islam di tanah air. Kini dan di masa mendatang, diharapkan akan menjadi cermin cemerlang bagi lahirnya iklin keberagaman yang damai dan lapang.

Footnoot:

[1] Lihat, Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’zam Maqayis al-Lughah, Dar al-Fikr li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, Bairut, 1979, juz I, hlm. 306
[2] Lihat, Rifyal Ka’bah dan Busthami Sa’ad, Reaktualisasi Ajaran Islam, (Pembaharuan Agama visi Modernis dan Pembaharuan Agama visi Salaf), Minaret, Jakarta, 1987, hlm. 50
[3] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan  Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, cet. I, hlm. 11
[4] Pernyataan al-Qumi diatas dikutip oleh, Muhammad ‘Abd al-Rauf al-Mannawi, Faidh al-Qadir bi Syarh al-Jami’ al-Shagir, Dar al-Fikr, Bairut, 1972, hlm. 52
[5] Pernyataan al-Qari tersebut diatas dikutip oleh, Abi Thayyib Muhammad Syam al-Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Aun al-Ba’dud Syarh Sunnah Abi Dawud, Dar al-Fikr, Bairut, 1972, Juz XI, hlm. 396.
[6] Harun Nasution, Op.,Cit., hlm. 10
[7] Abuddin  Nata, Metodologi Studi Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 379
[8] Ibid.
[9] Harun Nasution, Op.,Cit., hlm. 57
[10] Ibid., hlm. 172
[11] Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Op.,Cit., hlm. 75
[12] Lihat QS. Al-Hajj-22: 78)
[13] Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Op.,Cit., hlm. 84
[14] Ibid.
[15] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1990-1942, LP3ES, Jakarta, hlm. 38-39
[16] Ibid., hlm. 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini