A. PENDAHULUAN
Di sebagaian
umat Islam tradisional hingga saat ini tampaknya ada perasaan masih belum mau
menerima apa yang dimaskud dengan pembaharuan Islam. Hal ini, antara lain
disebabkan karena salah persepsi dalam memahami arti pembaharuan Islam. Mereka
memandang bahwa pembaharuan Islam adalah membuang ajaran Islam yang lama
diganti dengan ajaran Islam baru, padahal ajarasn Islam yang lama itu
berdasarkan pada hasil ijtihad para ulama besar yang dalam ilmunya, taat
beribadah dan unggul kepribadiannya, Sedangkan ulama yang ada sekarang
dipandang kurang mendalam ilmu agamanya,
kurang taat beribadahnya, dan kurang baik budi pekertinya. Oleh karena itulah
merteka masih beranggapan bahwa pemikiran ulama di abad yang lampau sedah cukup
baik dan tidak perlu diganti dengan pemikiran ulama sekarang.
Pembaharuan
Islam sebenarnya bukan sebagaimana yang dipersepsikan oleh sementara kaum
tradisional di atas. Pemabaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan
paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajauan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi moderen. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan
berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks Al Quran maupun teks Hadis,
melainkan hanya menyesuaikan pemahaman atas keduanya sesuai dengan perkembangan
zaman. Hal ini dilakukan karena betapaun hebatnya paham-paham yang dihasilkan
para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekuarangnyanya dan selalu
dipengarhui oleh kecenderungan, pengetahuan, situasi sosial, dan lain
sebagainya, Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak
yang relevan dan masih dapat digunakan
tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Mengkaji
berbagai upaya pembaharuan berikut pemikiran, tokoh-tokoh, organisasi, strategi
dan keberhasilannya selain berguna untuk kepentingan akademisi juga berguna
sebagi bahan perbandingan untuk melakukan pembaharuan di Indonesia. Dalam
kaitan ini kita merasa perlu menkaji pengertian pembaharuan Islam tersebut,
pemikiran-pemikiran dan tokoh-tokoh pembaharuan serta strategi yang diterapkan
pada setiap ide pembaharuannya yang dimaksud.
Dari deskripsi
tersebut terlihat kemajuan Islam. Kini umat Islam tengah memikirkan bagaiamna
cara memajukan dirinya. Pembaharuan terjadi di hampir negara termasuk di
Indonesia. Pembaharuan tersebut masih tersus berkembang dan berlangsung untuk
menncapai tujuannya yang diinginkan. Sementara itu berbagai penelitian ahli
terhadap fenomena pembaharuan Islam terus berlanjut baik melalui publikasi baik dalam bentuk buku,
artikel maupun dakwah dengan lisan dan sebagainya.Keadaan demikian, mencullah
suatu bidang studi pembahauan dalam Islam.
Telah banyak
penelitian yang dilakukan para ahli yang mengambil tema di sekitar pemikiran
modern dalam Islam Makalah singkat ini akan mencoba mengupas macam-macam
karakteristik pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia baik dilihat dari aspek
ketokohan maupun dari aspek organisasi. Dan untuk itu penulis akan emncukup
dengan dari aspek tokoh hanya akan menampilkan sosok KH. Ahmad Dahlan dan KH.
Hasyim Asy’ari dan aspek organisasi yaitu Muhammadiyah, Nadlatul Ulama dan
Persatuan Islam. Karena terbatasnya ruang dan tempat penyajian yang cukup
mewakili pembaharuan dalam Islam yang merupakan awal tongkak pembaharuan di
Indonesia.
B.
PEMBAHARUAN DALAM ISLAM
1.
Pembaruan Pemikiran dalam Islam
Pembaruan atau
pemurnian dalam bahasa Arab “جددوا “ yang secara etimologi
berakar pada kata (جديد ),
yang menunjukan kepada tiga arti pokok : (1) keagungan, (2) bahagian, (3)
pegangan. Kata ini kemudian berubah menjadi ( جدد ) yang berarti “memperbaharui” sebagai
lawan dari usang.[1]
Kata “baru” dalam konteks bahasan ini, menghimpun tiga pengertian yang tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yakni : (1) barang yang diperbaharui pada mulanya
pernah ada dan pernah dialami orang lain; (2) barang itu dilanda zaman sehingga
menjadi usang dan ketinggalan zaman; (3) barang itu kembali diaktualkan dalam
bentuk kreasi baru.[2]
Dalam bahasa
Indonesia telah selalu dipakai kata pembaharuan, modern, modernisasi dan
modernisme, seperti yang terdapat umpamanya dalam ”aliran-aliran modern dalam
Islam” dan “Islam dan modernisasi”. Modernisme dalam masyarakat Barat
mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham,
adat-sistiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan
dengan suasana yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi
modern.[3]
Sebagaimana halnya di dunia Barat, dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan
untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern itu.
Al-Qumi
mendefinisikan tajdid sebagai menghidupkan kembali amalan al Quran dan
al Sunnah yang pernah aktual dan menetapkan hukum suatu perbuatan berdasarkan
kedua sumber tersebut.[4]
Sementara itu, Al-Qari menyatakan bahwa tajdid adalah membedakan antara sunnah
dan bid’ah; memperjelas kandungan sunnah dan memuliakan ahlinya, serta
menghancurkan bid’ah dan memerangi ahlinya.[5]
Prof. Dr. H.
Harun Nasution mendefenisikan Pembaruan Islam adalah upaya-upaya untuk
menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.[6]
Dengan demikian menurutnya bahwa pembaruan dalam Islam bukan berarti mengubah,
mengurangi atau menambah teks Alquran maupun teks Al-Hadis, melainkan hanya
mengubah atau menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan perkembangan
zaman.
Hal ini
dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau
pakar di zaman lampau itu, tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh
kecenderungan, pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya. Paham-paham
tersebut untuk di masa sekarang munkin masih banyak yang relevan dan masih
dapat digunakan. Tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.[7]
Selain itu pembaruan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar
mengikuti ajaran yang teradapat di dalam Alquran dan Al-Sunnah. Hal ini perlu
dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Alquran dengan
kenyataan yang terjadi di masyarakat.[8]
Dengan
demikian, tajdid (pembaruan) adalah sesuatu yang pernah aktual pada
awalnya, tetapi karena perkembangan waktu, sesuatu tidak menjadi baru lagi dan
untuk mengaktualisasikan kembali harus mengacu pada konteksnya semula.
2.
Urgensi Pembaharuan Pemikiran dalam Islam
Alquran
misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan
modern serta tekhnologi secara seimbang: hidup bersatu, rukun dan damai sebagai
suatu keluarga besar: bersikap dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka,
menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai kebersihan, dan lain
sebagainya. Namun kenyataan umatnya menunjukan keadaan yang berbeda. Sebagian
besar umat Islam hanya menguasai pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan
modern tidak dikuasainya bahkan dimusuhinya; hidup dalam keadaan penuh
pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling bermusuhan, statis,
memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehendak untuk meningkatkan
produktifitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang menghargai waktu,
kurang terbuka dan lain sebagainya.
Sikap dan
pandangan hidup seperti ini jelas tidak sejalan dengan ajaran Alquran dan
Al-Sunnah, dan hal demikian harus diperbarui dengan jalan kembali kepada dua
sumber ajaran Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam
mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan
dengan petunjuk Alquran dan Al-Sunnah.
Untuk mendukung
contoh-contoh tersebut di atas, Harun Nasution dalam bukunya berjudul Pembaharuan
dalam Islam telah banyak mengemukakan ide-ide pembaruan dalam Islam dengan
maksud sepert diungkapkan di atas.
Muhammad Abduh, salah seorang pembaharu di Mesir, sebagaimana dikemukakan Harun
Nasution, misalnya, mengemukakan ide-ide pemabaruan antara lain dengan cara
menghilangkan bid’ah yang teradapat dalam ajaran Islam, kembali kepada
ajaran Islam yang sebenarnya, dibuka kembali pintu ijtihad, menghargai
pendapat akal, dan menghilangkan sikap dualisme dalam bidang pendidikan.[9]
Sementara itu,
Sayyid Ahmad Khan, salah seorang tokoh pembaharu dari India, berpendapat bahwa
untuk mencapai kemajuan perlu meninggalkan paham teologi jabariah (fatalism)
diganti dengan paham qadariah (free will dan free act), perlu
percaya bahwa hukum alam dengan wahyu yang ada dalam Alquran tidak
bertentangan, karena kedua-duanya berasal dari Tuhan, dan perlu dihilangkan
paham taklid diganti dengan paham ijtihad.[10]
Beberapa ajaran
Islam (bidang muamalah) pada masa awal perkembangannya juga berada dalam
kondisi aktual. Tetapi, dengan terjadinya pergeseran situasi dan kondisi, maka
ajaran-ajaran itu telah banyak berubah. Oleh karena itu, untuk
mengaktualisasikan ia harus dikembalikan kepada kondisi awalnya dengan
mengadakan interprestasi baru. Contoh lain, “memperbarui janji”. Pada waktu
pertama kali janji itu diikrarkan ia berada dalam kondisi baru, tetapi karena
mengalami waktu yang panjang, maka janji itu menjadi usang, dan untuk
memperbaruinya lagi ia diikrarkan kembali.
3.
Gerakkan Pemikiran Modern Islam di Indonesia.
Agama Islam
masuk ke Indonesia pertama kalinya di sekitar abad XIII Masehi[11]
dan perkembangan Islam tidak dicampuri
oleh sesuatu usaha pemerintah manapun juga, dimana daerah dan
pulau-pulau kecil yang lain satu persatu masuk Islam, terutama dengan usaha
saudagar-saudagar Islam. Ketika Islam masuk ke Indonesia, ia bukannya menjumpai
masyarakat yang masih bersih dari berbagai acam ragam keyakinan hidup.
Masyarakat Indonesia pra Islam adalah masyarakat yang telah memiliki
kepercayaan, seperi animisme, dinamisme, Hindu maupun Budha yang diyakini dan
telah menyatu dalam seluruh aspek kehidupannya sedemikian rupa. Dan ketika
mereka dengan kesadarannya sendiri mau menerima seruan dan ajakan Islam,
ternyata sisa-sisa kepercayaan sebelumnya tidak serta-merta ditanggalkan dari
kebiasaan hidupnya. Gejala bercampur-aduknya antara kepercayaan lama dengan
keyakinannya yang baru tidak mungkin dapat dihindari.
Di lain pihak,
Islam yang datang ke Indonesia bukannya dibawa oleh para mubaligh yang langsung
datang dari jazirah Arab, melainkan dibawa oleh para pedagang dan mubligh dari
Gujarat-India. Sebagian besar tersiarnya Islam di Indonesia ini adalah hasil
pekerjaan kaum Sufi dan Mistik, sedangkan dalam masalah fiqih yang menguasai
lapangan pendidikan dan pengajaran tradisional Islam di Indonesia –disamping
tasawwuf- muslim Indonesia mengikuti mazhab Syafi’i.
Dari uarain
singkat di atas jelaslah bahwa kondisi keberagaman masyarakat Indonesia sejak
semula memang tidak menggambarkan Islam sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasulullah, yaitu suatu agama yang sangat sederhana sekali, bernalar, dan mudah
dilaksanakan.[12] Namun
kedamaian umat Islam di Indonesia dalam melaksanakan kehidupan keagamaan dan
dakwahnya yang berlangsung selama lebih kurang tiga abad, di sekitar awal abad
XVI tiba-tiba dikejutkan dengan datangnya bangsa-bangsa Eropa untuk mennjajah
secara silih berganti antara bangsa Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda,
datang ke Indonesia yang dengan 3 motif
utama, yaitu motif ekonomi (gold), motof politik (glory) dan
motif penyebaran agama Kristen (gospel).
Kondisi umat
Islam di Indonesia seperti di atas berjalan-beratus tahun lamanya. Baru pada
sekitar tahun 1803 bersamaan dengan kepulangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan
Haji Piobang dari menunaikan ibadah haji dan untuk sementara waktu bermukim,
mereka pulang kembali ke kampung halamannya di Minangkabau dengan membawa
semangat Islam yang diilhami Gerakan Wahabi yang puritan.[13]
Sementara di daerah Luhak Agam para tuanku mengadakan kebulatan tekad untuk
memperjuangan tegaknya syara’ sekaligus memberantas segala macam kemaksiatan
yang sudah mulai semarak dikerjakan oleh kaum adat. Mereka teridri dari Tuaku
Nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuaku Padang Lawas,
Tuanku Padang Luar, Tuaku Kubu Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang. Kedelapan-orang
inilah yang terkenal dengan julukan ‘Harimau nan Selapan’,[14]
di samping itu mucul juga tokoh lain dari gerakan Paderi yang namanya cukup
legendaris, yaitu Muhammad Syabab, yang kemdian terkenal dengan nama Tuaku Imam
Bonjol, yang memerangi kaum adat yang penuh dengan kemusyrikan, namun dalam
perjalanannya kaum adat meminta bantuan ke Belanada pada akhirnya perlawanan
bukan melawan kaum adat melainkan melawan kaum kafir Belanda.
Syaik Ahmad
Khatib Al Minangkabawi yang lahir di Bukitttimnggi tahun 1855 ketika berusia 21
tahun pergi ke Makkah untuk belajar memperdalam pengetahuan agama Islam yang
berfahamkan mazhab Syafii. Pada puncak kariernya ia menjadi imam dari mazhab
Syafii di Masjidil Haram. Ia adalah sosok ulama yang cerdas, kritis dan
toleran. Di samping itu ia mengajarkan
berbagai ilmu pengetahuan agama Islam menurut faham mazhab Syafi’i dan
mempelajari kitab-kitab dari para pembaharu Islam seperti kitab tafisir Al Manar
karangan Muhamamd Abduh atau majalah Al Urwatul Wutsqa. Murid-muridnya
yang datang dari Indonesia banyak yang berlajar dengan beliau, diantaranya
Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Abdul Karim Amarullah (Hamka), Abdullah Ahmad,
Ahmad Dahlan dan sebagainya, mereka tertarik dengan ide-ide pembaharuan yang
diajarkan oleh Ahmad Khatib. Namun sebagian muridnya yang lain tetap berpegang
pada mazhab Syafii antara lain, seperti Syaik Sulaiaman Ar Rasuli Candung
Bukiittingi, Hasyim Asy’ari dari Jawa Timur dan sebagainya.[15]
Dari para
muridnya inilah yang membawa gerakan pembahruan Islam pertama kali di
Indonesia, tokoh-tokoh tersebut mayoritas muncul di Minangkabau, tokoh-tokoh
tersebut mencoba memajukan anak-anak bangsa pada agama yang lurus dan
ber’itikad yang betul. Tokoh ini pengetahuannya tentang Islam diakui oleh
ulama-ulama Timur Tengah pada suatu konferensi Khilafat di Kairo tahun 1926.[16]
Memasuki abad
XX di Indonesia, terutama di puau Jawa perjuangan menegakkan agama Islam
sehingga kemuliaan Islam sebagai idealita dan kejayaan umat Islam sebagai
realita dapat direalisasikan secara konkrit telah dimulai dengan menggunakan
organisasi sebagai alat perjuangannya. Umat Islam mulai saat ini menyadari
bahwa cita-cita yang demikian besar lagi berat seperti di atas hanya dapat
diperjuangan lebih efektif dan efisien manakala menggunakan alat perjuangan
yang namanya “organisasi”. Maka
bermuculanlah berbagai Gerakan Pembaharuan dalam Islam, baik yang bergerak
dalam bidang politik kenegaraan seperti Syarikat Islam, Partai Islam Indonesia,
Partai Islam Masyumi, Partai Muslimin Indonesia, maupun yang bergerak dalam
bidang sosial kemasyarakatan seperti As-Islah wal-Irsyad atau terkenal dengan
Al-Irsyad, Persatuan Islam, dan Muhammadiyah.
Sesungguhnya
dua pola perjuangan pemikiran pembaharuan seperti di atas telah ada ‘blue
print’ atau cetak birunya sebagaimana yang dirintis oleh gerakan salafiyah
yang ditokohi oleh Jamaluddin al-Afghany yang teori perjuanganya lebih dititik
beratkan untuk merebut dan mengasai berbagai lembaga kenegaraan, terutama
legislatif, dengan keyakinan bahwa dengan dikuasainya berbagai lembaga
kenegaraan tersebut maka Islam akan dapat menentukan berbagai
perundang-undangan, aturan, keputusan dan kebijakan negara yang benar-benar
Islamy. Sedangkan pengaruh Muhamamd Abduh yang berpendapat disamping memakai
teori Jamaluddin al-Afghany, ditambah
lewat pendidikan yang benar-benar Islami akan lebih melahirkan
kader-kader yang siap menyebarkan ide-ide pembaharuan ke seluruh penjuru dunia,
dan sekaligus menjadi pendukung yang setia untuk tampil ke depan mengisi
tugas-tugas kenegaraan dan kemasyarakatan.
Dua bidang
garap berupa politik dan bidang sosial kemasyarakatn seperti di atas pula yang
menjadi platform gerakan warna
pembaharuan Islam di Indonesia. Yang kemudian memunculkan pemikir-pemikir
pembaharu Islam di Indonesia. Jika kita gambarkan menjadi bahasan tersendiri,
berikut polanya tersebut, yaitu :
1
Gerakan
Politik Islam :
a.
Partai
Serikat Islam Indonesia.
b.
Partai
Islam Masjumi.
2
Gerakan
Sosial Kemasyarakatan Islam :
a.
Al-Jamiat
al-Khair :
b.
Gerakan
Al-Islah wal Irsyad.
c.
Persatuan
Islam (Persis).
d.
Persarikatan
Muhammadiyah.
3
Gerakan
Pemikiran Modern Islam :
a.
Model
Prof. Dr. H. Nurkolis Madjid.
b.
Model
Prof. Dr. H. Harun Nasution.
c.
Model
Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA.
d.
Model
Prof. Dr. H. Deliar Noer.
e.
Model
Prof. Dr.H.Jalaluddin Rahmat, MA.
4.
Karakteristik Pemikiran Modern di Indonesia
Era 1970-an,
diyakini banyak kalangan sebagai gerbang baru dalam kancah pemikiran Islam di
Indonesia. Pada masa itulah corak pemikiran keislaman mulai bangkit gejala baru
(baca: pembaharuan) yang disbut “neo modernisme”. Sosok Nurcholis Madjid (Cak
Nur) kemudian dinobatkan sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana
neo-modernisme Islam Indonesia di kemudian hari.
Pada hari ini,
lebih kurang 30 tahun, gerakan pemikiran modern ini kian berkibar dan menadapt tempat dalam konstalasi keilmuan
Islam di tanah air. Hanya saja, seiring arus waktu, ia telah mengalami
metamorfosa yang begitu rupa dan
berganti nama dengan “Islam liberal”. Ciri khas yang dapat ditangkap dari
aliran model ini adalah kuatnya upaya guna menampakkan nuansa keagamaan (Islam)
dalam bentuknya yang substansi. Pemahaman yang diusungnya adalah paradigma
holistik yang oetentik dengan tetap berpijaknya pada akar tradisi. Ia tidak
mengutamakan bentuk, melainkan lebih pada nilai guna sosial yang
ditimbulkannya. Istilah “Islam liberal” sendiri muncul pertama kali di saat Indonesia
Greg Barton menyebutnya dalam buku karangannya, Gagasan Islam Liberal di
Indonesia. Semenjak itu, istilah
tersebut mulai akrab di telinga khalayak Indonesia. Apalagi, ketika Charles
Kurzman meluncurkan karya Wacana Islam Liberal dan digayung-sambuti dengan
pendirian Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh Ulil Abshar Abdilla dan
kawan-kawan, wacana liberalisme Islam menjadi kian marak dan melahirkan
kontraversi berkepanjangan. Dari waktu ke waktu, wacana ini bergulir dan
membiak ke berbagai arah.[17]
Gugusan
pemikiran yang bergayung modersnisme dan liberalisme kemudian semata konsumsi
dan “monopoli” kalangan Islam perkotaan. Pada akademisi, mahasiswa dan aktivis
kajian di berbagai tempat, mulai menjadikan wacana ini sebagai paradigma baru
pemikiran Islam. Azyumardi Azrra, dalam pengantar buku ini menjelaskan bahwa
satu hal yang cukup menguntungkan bagi gerakan Islam liberal di Indonesia,
adalah kian dianutnya paradigma ini oleh segmen anak muda. Menurut Azra, dalam
perkembangannya, neo-modernisme Islam telah menjelma menjadi wacana yang tidak
terbatas pada kelompok yang dulu dianggap sebagai perintis pembaruan, seperti
Muhammdiyah saja. Tapi juga telah menyebar ke dalam kasus-kasus muda yang
berasal dari pesantren dan pedesaan. Salah stu contohnya adalah Abd ‘Ala.
Secara praktis, paham Islam liberal sama sekali tidak menginginkan adanya
segala bentuk formalisasi serta radikalisasi sikap keagamaan.
Sebaliknya, ia
cenderung menempatkan Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang harus
dibumikan selaras dengan tafsir serta
tuntutan zaman yang kian dinamis. Watak pemikirannya yang inklusif, moderat,
dan plural menggiringnya untuk membentuk sikap keagamaan yang menghargai
timbulnya perbedaan. Tentu saja dengan tetap menggunakan bingkai pemikiran keislaman
yan viable, murni (genuine) dan tetap berpijak kukuh pada
tradisi.
Berlatar
belakang panorama di atas, orang kemudian mulai menghubungkan wacana semacam
ini dengan paradigma pemikiran yang disusung oleh intelektual muslin terkemuka
Fazlur Rahman. Tokoh reformasi asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar
dan pengaruh yang sangat kuat bai berseminya wacana Islam liberal di Indonesia.
Hal ini – antara lain – dapat dirujuk dari kedekatan Fazlur Rahman dengan Cak
Nur, pelopor dari gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Kebutalan Cak Nur
beserta beberapa tokoh dari Indonesia (antara lain Syafi’i Ma’rif) sempat
berhubungan dan beguru langsung dengan Fazlur Rahman. Cukup wajar jika pada
akhirnya peran Fazlur Rahman disebut-sebut sebagi “ikon” yang melekat dalam
aliran pemikiran Islam modern di neegri ini, pada konteks itulah pengaruhnya
terhadap pemahaman Islam di Indonesia.
Penyingkap akan
hal tersebut, terasa penting disebabkan perlunya korelasi yang jelas antara
konstruksi pemikiran yang dibentuk (liberalisme) dengan landasan ideal yang
menjadi pilar penyangganya. Dalam hal ini terdapat setidaknya dua signifikasi
yang bisa dipungut dari pengetahuan kita akan hal tersebut. Pertama,
secara teoritis keilmuan, warisan pemikiran yang digagas Fazlur Rahman, kelak
berhasil menjadi arus utama (mainsteram) bagi gerakan pembaharuan Islam
berikut pembiakannya di Indoneisa, pada titik inilah, gagasan ideal Fazlur Rahman
sepenuhnya tak dapat dipisahkan dengan wacana keagamaan yang hegemonik di
nusantara. Betapa kita lihat, pelbagai gagasan (antara lain yang sangat
menonjol adalah ide penafsiran al Quran dan Hadis secara rekonstruktif dan hidup) telah menjadi topik penting dari beragam
diskusi yang marak digelar di berbagai tempat. Kedua, pemikiran Fazlur Rahman
pada akhirnya menawarkan altenatif baru serta perspektif lain bagi kesadaran
teoligi (sebagian) umat Islam di Indonsia.
Konsep
pendekatan holistik (yang dikenal dengan teologi Quran) yang dosodorkan, serta
merta telah menbuka cakrawala pandang baru yang fungsional, liberal dan applicable
dalam merespon problema sosial kemanusian mutakhir. Paradigma keislaman di
Indonesia telah menampakan hasil yang gemilang. Bukan saja dari tawaran
pembaharuan yang diretasnya, namun lebih dari itu, ia menyisakan sejumlah “organisme” pemikiran
yang sangat berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual,
transformatif dan juga otentik.
Oleh karenanya,
ke depan, diskursus pemkiran pembaharuan Islam di Indonesia tetap layak untuk
digulirkan dan dikaji secara lebih menarik, di tengah kondisi kehidupan dalam
global vilage ini, Islam bisa hadir sebagai perekat solidoritas sosial
yang senantiasa mengupayakan keadilan beragama serta keberagamaan yang adil.
Pada titik inilah pemabaharuan pemikiran sebagai wahana kreasi ulang (re-ceration)
bagi kiprah dan perjalanan pembaharuan Islam di tanah air. Kini dan di masa
mendatang, diharapkan akan menjadi cermin cemerlang bagi lahirnya iklin keberagaman
yang damai dan lapang.
Footnoot:
[1] Lihat, Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’zam
Maqayis al-Lughah, Dar al-Fikr li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, Bairut, 1979,
juz I, hlm. 306
[2] Lihat, Rifyal Ka’bah dan Busthami Sa’ad, Reaktualisasi Ajaran
Islam, (Pembaharuan Agama visi Modernis dan Pembaharuan Agama visi Salaf),
Minaret, Jakarta, 1987, hlm. 50
[3] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran
dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang,
1975, cet. I, hlm. 11
[4] Pernyataan al-Qumi diatas dikutip oleh, Muhammad ‘Abd al-Rauf
al-Mannawi, Faidh al-Qadir bi Syarh al-Jami’ al-Shagir, Dar al-Fikr,
Bairut, 1972, hlm. 52
[5] Pernyataan al-Qari tersebut diatas dikutip oleh, Abi Thayyib
Muhammad Syam al-Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Aun al-Ba’dud Syarh Sunnah Abi Dawud,
Dar al-Fikr, Bairut, 1972, Juz XI, hlm. 396.
[6] Harun Nasution, Op.,Cit., hlm. 10
[7] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 379
[8] Ibid.
[9] Harun Nasution, Op.,Cit., hlm. 57
[10] Ibid., hlm. 172
[12] Lihat QS. Al-Hajj-22: 78)
[14] Ibid.
[15] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1990-1942,
LP3ES, Jakarta, hlm. 38-39
[16] Ibid., hlm. 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini