Sabtu, 22 Oktober 2011

PEMBARUAN DAN PEMURNIAN DALAM ISLAM


-          Pembaruan dan Pemurnian dalam Islam :
Pembaruan atau pemurnian dalam bahasa Arab جددوا “ yang  secara  etimologi  berakar pada kata (جديد ), yang menunjukan kepada tiga arti pokok :
(1) keagungan,
(2) bahagian,
(3) pegangan.
Kata ini kemudian berubah menjadi ( جدد ) yang berarti “memperbaharui” sebagai lawan dari usang.[1] Kata “baru” dalam konteks bahasan ini, menghimpun tiga pengertian yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yakni :  
(1) barang yang diperbaharui pada mulanya pernah ada dan pernah dialami orang lain;
(2) barang itu dilanda zaman sehingga menjadi usang dan ketinggalan zaman;
(3) barang itu kembali diaktualkan dalam bentuk kreasi baru.[2]
Dalam bahasa Indonesia telah selalu dipakai kata pembaharuan, modern, modernisasi dan modernisme, seperti yang terdapat umpamanya dalam ”aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi”. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat-sistiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.[3] Sebagaimana halnya di dunia Barat, dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern itu.
Al-Qumi mendefinisikan tajdid sebagai menghidupkan kembali amalan al Quran dan al Sunnah yang pernah aktual dan menetapkan hukum suatu perbuatan berdasarkan kedua sumber tersebut.[4]
Sementara itu, Al-Qari menyatakan bahwa tajdid adalah membedakan antara sunnah dan bid’ah; memperjelas kandungan sunnah dan memuliakan ahlinya, serta menghancurkan bid’ah dan memerangi ahlinya.[5] Prof. Dr. H. Harun Nasution mendefenisikan Pembaruan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.[6] Dengan demikian menurutnya bahwa pembaruan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks Alquran maupun teks Al-Hadis, melainkan hanya mengubah atau menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan perkembangan zaman.
Hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu, tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecenderungan, pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang munkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan. Tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.[7]
Selain itu pembaruan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang teradapat di dalam Alquran dan Al-Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Alquran dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat.[8]
Dengan demikian, tajdid (pembaruan) adalah sesuatu yang pernah aktual pada awalnya, tetapi karena perkembangan waktu, sesuatu tidak menjadi baru lagi dan untuk mengaktualisasikan kembali harus mengacu pada konteksnya semula.

-          Contoh-contohnya :
Alquran misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan modern serta tekhnologi secara seimbang: hidup bersatu, rukun dan damai sebagai suatu keluarga besar: bersikap dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai kebersihan, dan lain sebagainya. Namun kenyataan umatnya menunjukan keadaan yang berbeda. Sebagian besar umat Islam hanya menguasai pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasainya bahkan dimusuhinya; hidup dalam keadaan penuh pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling bermusuhan, statis, memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehendak untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang menghargai waktu, kurang terbuka dan lain sebagainya.
 Sikap dan pandangan hidup seperti ini jelas tidak sejalan dengan ajaran Alquran dan Al-Sunnah, dan hal demikian harus diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Alquran dan Al-Sunnah.
Untuk mendukung contoh-contoh tersebut di atas, Harun Nasution dalam bukunya berjudul Pembaharuan dalam Islam telah banyak mengemukakan ide-ide pembaruan dalam Islam dengan maksud  sepert diungkapkan di atas. Muhammad Abduh, salah seorang pembaharu di Mesir, sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, misalnya, mengemukakan ide-ide pemabaruan antara lain dengan cara menghilangkan bid’ah yang teradapat dalam ajaran Islam, kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, dibuka kembali pintu ijtihad, menghargai pendapat akal, dan menghilangkan sikap dualisme dalam bidang pendidikan.[9]
Sementara itu, Sayyid Ahmad Khan, salah seorang tokoh pembaharu dari India, berpendapat bahwa untuk mencapai kemajuan perlu meninggalkan paham teologi jabariah (fatalism) diganti dengan paham qadariah (free will dan free act), perlu percaya bahwa hukum alam dengan wahyu yang ada dalam Alquran tidak bertentangan, karena kedua-duanya berasal dari Tuhan, dan perlu dihilangkan paham taklid diganti dengan paham ijtihad.[10] Beberapa ajaran Islam (bidang muamalah) pada masa awal perkembangannya juga berada dalam kondisi aktual. Tetapi, dengan terjadinya pergeseran situasi dan kondisi, maka ajaran-ajaran itu telah banyak berubah. Oleh karena itu, untuk mengaktualisasikan ia harus dikembalikan kepada kondisi awalnya dengan mengadakan interprestasi baru. Contoh lain, “memperbarui janji”. Pada waktu pertama kali janji itu diikrarkan ia berada dalam kondisi baru, tetapi karena mengalami waktu yang panjang, maka janji itu menjadi usang, dan untuk memperbaruinya lagi ia diikrarkan kembali.

 
Footnoot:

[1] Lihat, Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’zam Maqayis al-Lughah, Dar al-Fikr li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, Bairut, 1979, juz I, hlm. 306
[2] Lihat, Rifyal Ka’bah dan Busthami Sa’ad, Reaktualisasi Ajaran Islam, (Pembaharuan Agama visi Modernis dan Pembaharuan Agama visi Salaf), Minaret, Jakarta, 1987, hlm. 50
[3] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan  Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, cet. I, hlm. 11
[4] Pernyataan al-Qumi diatas dikutip oleh, Muhammad ‘Abd al-Rauf al-Mannawi, Faidh al-Qadir bi Syarh al-Jami’ al-Shagir, Dar al-Fikr, Bairut, 1972, hlm. 52
[5] Pernyataan al-Qari tersebut diatas dikutip oleh, Abi Thayyib Muhammad Syam al-Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Aun al-Ba’dud Syarh Sunnah Abi Dawud, Dar al-Fikr, Bairut, 1972, Juz XI, hlm. 396.
[6] Harun Nasution, Op.,Cit., hlm. 10
[7] Abuddin  Nata, Metodologi Studi Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 379
[8] Ibid.
[9] Harun Nasution, Op.,Cit., hlm. 57
[10] Ibid., hlm. 172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini