-
Pembaruan
dan Pemurnian dalam Islam :
Pembaruan atau pemurnian dalam bahasa Arab “جددوا “ yang secara etimologi
berakar pada kata (جديد ), yang
menunjukan kepada tiga arti pokok :
(1) keagungan,
(2) bahagian,
(3) pegangan.
Kata ini kemudian berubah menjadi ( جدد ) yang berarti “memperbaharui”
sebagai lawan dari usang.[1]
Kata “baru” dalam konteks bahasan ini, menghimpun tiga pengertian yang tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yakni :
(1) barang yang diperbaharui pada mulanya pernah ada dan pernah
dialami orang lain;
(2) barang itu dilanda zaman sehingga menjadi usang dan ketinggalan
zaman;
(3) barang itu kembali diaktualkan dalam bentuk kreasi baru.[2]
Dalam bahasa Indonesia telah selalu dipakai kata pembaharuan, modern,
modernisasi dan modernisme, seperti yang terdapat umpamanya dalam
”aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi”. Modernisme
dalam masyarakat Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk
merubah faham-faham, adat-sistiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya,
untuk disesuaikan dengan suasana yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.[3]
Sebagaimana halnya di dunia Barat, dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan
untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern itu.
Al-Qumi mendefinisikan tajdid sebagai menghidupkan kembali
amalan al Quran dan al Sunnah yang pernah aktual dan menetapkan hukum suatu
perbuatan berdasarkan kedua sumber tersebut.[4]
Sementara itu, Al-Qari menyatakan bahwa tajdid adalah membedakan
antara sunnah dan bid’ah; memperjelas kandungan sunnah dan
memuliakan ahlinya, serta menghancurkan bid’ah dan memerangi ahlinya.[5] Prof. Dr. H. Harun Nasution mendefenisikan Pembaruan Islam adalah
upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru
yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.[6]
Dengan demikian menurutnya bahwa pembaruan dalam Islam bukan berarti mengubah,
mengurangi atau menambah teks Alquran maupun teks Al-Hadis, melainkan hanya
mengubah atau menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan perkembangan
zaman.
Hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang
dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu, tetap ada kekurangannya
dan selalu dipengaruhi oleh kecenderungan, pengetahuan, situasi sosial, dan
lain sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang munkin masih
banyak yang relevan dan masih dapat digunakan. Tetapi mungkin sudah banyak yang
tidak sesuai lagi.[7]
Selain itu pembaruan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan
umat agar mengikuti ajaran yang teradapat di dalam Alquran dan Al-Sunnah. Hal
ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Alquran
dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat.[8]
Dengan demikian, tajdid (pembaruan) adalah sesuatu yang
pernah aktual pada awalnya, tetapi karena perkembangan waktu, sesuatu tidak
menjadi baru lagi dan untuk mengaktualisasikan kembali harus mengacu pada
konteksnya semula.
-
Contoh-contohnya
:
Alquran misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama
dan ilmu pengetahuan modern serta tekhnologi secara seimbang: hidup bersatu,
rukun dan damai sebagai suatu keluarga besar: bersikap dinamis, kreatif, inovatif,
demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai
kebersihan, dan lain sebagainya. Namun kenyataan umatnya menunjukan keadaan
yang berbeda. Sebagian besar umat Islam hanya menguasai pengetahuan agama
sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasainya bahkan dimusuhinya; hidup
dalam keadaan penuh pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling
bermusuhan, statis, memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehendak untuk
meningkatkan produktifitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang
menghargai waktu, kurang terbuka dan lain sebagainya.
Sikap dan pandangan hidup
seperti ini jelas tidak sejalan dengan ajaran Alquran dan Al-Sunnah, dan hal
demikian harus diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam
yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung maksud mengembalikan
sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Alquran dan
Al-Sunnah.
Untuk mendukung contoh-contoh tersebut di atas, Harun Nasution dalam
bukunya berjudul Pembaharuan dalam Islam telah banyak mengemukakan
ide-ide pembaruan dalam Islam dengan maksud
sepert diungkapkan di atas. Muhammad Abduh, salah seorang pembaharu di
Mesir, sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, misalnya, mengemukakan ide-ide
pemabaruan antara lain dengan cara menghilangkan bid’ah yang teradapat
dalam ajaran Islam, kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, dibuka kembali
pintu ijtihad, menghargai pendapat akal, dan menghilangkan sikap
dualisme dalam bidang pendidikan.[9]
Sementara itu, Sayyid Ahmad Khan, salah seorang tokoh pembaharu dari
India, berpendapat bahwa untuk mencapai kemajuan perlu meninggalkan paham
teologi jabariah (fatalism) diganti dengan paham qadariah
(free will dan free act), perlu percaya bahwa hukum alam dengan
wahyu yang ada dalam Alquran tidak bertentangan, karena kedua-duanya berasal
dari Tuhan, dan perlu dihilangkan paham taklid diganti dengan paham ijtihad.[10] Beberapa ajaran Islam (bidang muamalah) pada
masa awal perkembangannya juga berada dalam kondisi aktual. Tetapi, dengan
terjadinya pergeseran situasi dan kondisi, maka ajaran-ajaran itu telah banyak
berubah. Oleh karena itu, untuk mengaktualisasikan ia harus dikembalikan kepada
kondisi awalnya dengan mengadakan interprestasi baru. Contoh lain, “memperbarui
janji”. Pada waktu pertama kali janji itu diikrarkan ia berada dalam kondisi baru,
tetapi karena mengalami waktu yang panjang, maka janji itu menjadi usang, dan
untuk memperbaruinya lagi ia diikrarkan kembali.
Footnoot:
[1] Lihat, Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’zam
Maqayis al-Lughah, Dar al-Fikr li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, Bairut, 1979,
juz I, hlm. 306
[2] Lihat, Rifyal Ka’bah dan Busthami Sa’ad, Reaktualisasi Ajaran
Islam, (Pembaharuan Agama visi Modernis dan Pembaharuan Agama visi Salaf),
Minaret, Jakarta, 1987, hlm. 50
[3] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran
dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang,
1975, cet. I, hlm. 11
[4] Pernyataan al-Qumi diatas dikutip oleh, Muhammad ‘Abd al-Rauf
al-Mannawi, Faidh al-Qadir bi Syarh al-Jami’ al-Shagir, Dar al-Fikr,
Bairut, 1972, hlm. 52
[5] Pernyataan al-Qari tersebut diatas dikutip oleh, Abi Thayyib
Muhammad Syam al-Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Aun al-Ba’dud Syarh Sunnah Abi Dawud,
Dar al-Fikr, Bairut, 1972, Juz XI, hlm. 396.
[6] Harun Nasution, Op.,Cit., hlm. 10
[7] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 379
[8] Ibid.
[9] Harun Nasution, Op.,Cit., hlm. 57
[10] Ibid., hlm. 172
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Coment Anda Disini