Sabtu, 07 Juli 2012

Nikmatnya Bersyukur atas Nikmat Allah SWT

BERSYUKUR DAN SABAR SEBAGAI KUNCI KENIKMATAN HIDUP

Al Imam Ibnu Qudamah ra menjelaskan bahwa rasa syukur tidak akan menyampaikan tingkat kesempurnaan melainkan dengan mengetahui apa yang dicintai oleh Allah SWT, sehingga wajar jika beliau mengatakan:
“Ketahuilah bahwa syukur dan tidak kufur tidak akan sempurna melainkan dengan mengetahui segala apa yang dicintai oleh Allah SWT. Makna syukur adalah mempergunakan segala karunia Allah Ta’ala kepada apa yang dicintai-Nya dan kufur nikmat adalah sebaliknya. Bisa juga dengan tidak memanfaatkan nikmat tersebut atau mempergunakan pada apa yang dimurkai-Nya.”

Pengertian Syukur.
Ditinjau dari sudut lughawi syukur secara bahasa berarti nampak bekas makan pada badan binatang dengan jelas. Binatang yang syakur artinya apabila nampak pada kegemukan karena makan melebihi takarannya. Sedangkan syukur dalam tinjauan syara’ diartikan dengan nampaknya pengaruh nikmat Allah SWT., atas seorang hamba melalui lisan dengan cara memuji dan mengakuinya, melalui hati dengan cara meyakini dan cinta, serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan serta ketaatan nya. Sementara itu pendapat yang lain juga mengemukakan defenisi syukur, di antaranya:
1. Mengakui akan nikmat yang dikaruniakan dengann penuh ketundukan (hanif).
2.    Memuji (hamdalah) yang memberi nikmat atas nikmat yang diberikannya.
3.  Cinta hati (mahabbah al qulb) kepada yg memberi nikmat dan anggota badan dengan ketaatan serta lisan dengan cara memuji dan menyanjungnya.
4.    Menyaksikan (syahadah) kenikmatan dan menjaga keharaman (wara’).
5.    Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur.
6.    Menyandarkan nikmat tersebut kepada pemberi dengan ketenangan (qalbun salaim).
7.    Melihat diri sendiri orang yang tidak pantas untuk mendapatkan nikmat.
8.    Mengikat nikmat yang ada dan mencari nikmat yang tidak ada.
Banyak definisi para ulama tentang syukur akan tetapi semuanya bisa saja dikembalikan kepada penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Namun yang jelas syukur merupakan terminologi sebuah istilah yang digunakan pada pengakuan dan pengetahuan akan sebuah nikmat. Karena mengetahui nikmat merupakan jalan (thariqah) untuk mengetahui Dzat yang memberi nikmat yaitu Allah SWT, sehingga Beliau menamakan Islam dan Iman dalam Al Qur`an dengan syukur. Dari sini diketahui bahwa mengetahui sebuah nikmat merupakan rukun dari rukun-rukun syukur itu sendiri. Dengan demikian jika seorang mengetahui sebuah nikmat maka seyogianya mengetahui siapa yang memberi nikmat itu sendiri, saat seseorang telah mengetahui siapa yang memberi nikmat itu sudah tentu akan mencintainya dan akan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmatnya.

Hakikat Syukur.
Jika dilihat dari defenisi syukur di atas, maka sesungguhnya hakikat syukur akan memiliki 3 makna, yaitu:
1.Menerima nikmat tersebut dengan menampakkan butuh kepadanya, dan sampainya nikmat tersebut kepadanya bukan sebagai satu keharusan hak bagi Allah SWT., dan tanpa membeli dengan harga.
2. Mengetahui adalah sebuah nikmat, dengan pengertian lain akan menghadirkan dalam benak mempersaksikan dan memilahnya. Hal ini akan bisa terwujud dalam benak sebagaimana terwujud pada kenyataan. Sebab banyak orang yang jika kita berbuat baik kepadanya namun dia tidak mengetahui. Gambaran ini bukan termasuk dari rasa syukur.
3.    Memuji yang memberi nikmat. dalam hal ini ada dua bentuk yaitu umum (‘am) dan khusus (khas). Pujian yang bersifat umum adalah menyifati pemberi nikmat degan sifat dermawan kebaikan luas pemberian dan sebagainya. Pujian yang bersifat khusus adalah menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukan bahwa nikmat tersebut sampai kepada dia karena sebab Sang Pemberi tersebut, sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam QS. Ad Dhuha ayat:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan adapun tentang nimat Tuhanmu maka ceritakanlah.”
Sehingga menceritakan nikmat termasuk syukur, dengan menceritakan nikmat yang didapatkan kepada orang lain termasuk dalam kategori syukur. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW:
مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِي بِهِ فَلْيُثْنِ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ وَمَنْ تَحَلَّى بِمَا لَمْ يُعْطَ كَانَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
“Barangsiapa yang diberikan kebaikan kepadanya hendaklah dia membalas dan jika dia tidak mendapatkan sesuatu utuk membalas hendaklah dia memujinya.
Oleh karenanya jika memuji ketika diberi nikmat sungguh telah berterimakasih dan jika menyembunyikannya sungguh telah kufur, dan barangsiapa yang berselimut dengan sesuatu yang tidak diberi sama halnya dengan orang yang memakai dua ­baju kebohongan. Para ulama berpendapat bahwa dalam rangka menceritakan nikmat yang diperintahkan dalam ayat ini ada dua pendapat, yaitu:
1.    Menceritakan nikmat yang dimaksud dalam ayat ini adalah berdakwah di jalan Allah SWT., menyampaikan risalah-Nya dan mengajarkan umat manusia agar selalu bersyukur.
2.    Menceritakan akan nikmat tersebut dan memberitahukannya kepada orang lain seperti dengan ungkapan bahwa: Tuhan telah memberiku nikmat demikian dan demikian.
Pendapat tersebut di atas Al Imam Ibnul Qayyim ra mentarjih dengan perkataan beliau:
“Yang benar ayat ini mencakup kedua makna tersebut, karena masing-masing adalah nikmat yang diperintahkan untuk mensyukuri dengan jalan menceritakan dan menampakkannya adalah sebagai wujud kesyukuran.” Bahakan beliau berkata dalam sebuah atsar yang lain dan marfu’ disebutkannya”:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ، وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri atas yang banyak dan barangsiapa yang tidak berterimakasih kepada manusia maka dia tidak bersyukur kepada Allah SWT. Menceritakan sebuah nikmat kepada orang lain termasuk dari syukur dan meninggalkan adalah kufur bersatu adalah rahmat dan bercerai berai adalah azab.” (Lihat Madarijus Salikin 2/248).

Jalan Menuju Syukur.
Jalan menuju bersyukur adalah sebagai alat untuk melakukan syukur itu sendiri, oleh sebab itu Al Imam Ibnu Qudamah ra menjelaskannya sebagai berikut:
 “Syukur bisa dilakukan dengan hati (bil qalb), lidah (bi lisan) dan anggota badan (aljism). Adapun dengan hati adalah berniat untuk melakukan kebaikan dan menyembunyikan pada khayalak ramai. Adapun dengan lisan adalah menampakkan kesyukuran itu dengan cara memuji Allah SWT., artinya dengan menampakkan keridhaan kepada Allah SWT. Hal ini sejalan sabda Rasulullah SAW”:
التَّحَدُّثُ بِالنِّعَمِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ
“Menceritakan nikmat itu adalah wujud kesyukuran dan meninggalkannya adalh wujud kekufuran.
Bersykur dengan anggota badan dengan cara mempergunakan dalam ketaatan kepada a dan Allah SWT, menjaga diri dari berbuat maksiat seperti nikmat kedua mata dengan cara menutup tiap aib yang dilihat pada diri seorang muslim, kedua telinga menutup tiap aib yang didengar. Al Imam Ibnul Qayyim menjelaskannya:
“Syukur itu bisa dilakukan oleh hati dgn tunduk dan kepasrahan oleh lisan dgn mengakui ni’mat tersebut dan oleh anggota badan dgn ketaatan dan penerimaan.”

Tingkatan Syukur
Syukur memiliki tiga tingkatan, yaitu:
1.      Bersyukur mendapatkan apa yang disukai, tingkat syukur ini bisa juga dilakukan orang Islam dan non Islam seperti Yahudi dan Nasrani bahkan Majusi. Namun Al Imam Ibnul Qayyim ra telah menjelaskan:
“Jika engkau mengetahui hakikat syukur dan di antara hakikat syukur adl menjadikan ni’mat Imamtersebut membantu dlm ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mencari ridha-Nya niscaya engkau akan mengetahui bahwa kaum musliminlah yg pantas menyandang derajat syukur ini”.
Siti ‘Aisyah ra telah menulis surat kepada Mu’awiyah ra sebagai berikut:
“Sesungguh tingkatan kewajiban yang paling kecil atas orang yang diberi nikmat adalah tidak menjadikan nikmat tersebut sebagai jembatan untuk bermaksiat kepada Allah SWT.
2.      Mensyukuri sesuatu yang tidak disukai, bagi orang yang melakukan jenis syukur ini adalah orang yang sikap sama dalam semua keadaan sebagai bukti keridhaannya. Al Imam Ibnul Qayyim ra telah menjelaskan:
“Bersyukur atas sesuatu yang tidak disukai lebih berat dan lebih sulit dibandingkan mensyukuri yang disenangi, oleh sebab itulah syukur yang kedua ini di atas jenis syukur yang pertama.
3.    Seseorang seolah-olah tidak menyaksikan dalam kehidupannya kecuali Yang memberi kenikmatan itu sendiri yaitu Allah SWT, artinya bila melihat yang memberi kenikmatan dalam rangka ibadah dia akan menganggap besar nikmat tersebut. Dan bila dia menyaksikan yang memberi kenikmatan karena rasa cintanya niscaya semua yang berat akan terasa manis baginya.

Korelasi Manusia dan Syukur.
Sebagaimana yang diketahui bahwa syukur merupakan salah satu sifat yang terpuji dan sifat yang dicintai oleh Allah SWT, akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkannya, dengan arti kata lain ada yang diberi oleh Allah SWT dan ada pula yang tidak. Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia dan syukur terbagi menjadi tiga golongan:
a.       Orang yang mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.
b.      Orang yang menentang nikmat yang diberikan alias kufur nikmat.
c.   Orang yang berpura-pura syukur padahal dia bukan orang yang bersyukur, sehingga yang seperti ini diumpamakan dengan orang yang berhias dengan sesuatu yang tidak dia tidak miliki.

Argumentasi Harus Bersyukur.
Diantara dalil yang dapat dikemukakan kewajiban bersyukur adaalah:
وَاشْكُرُوا لِلهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Bersyukurlah kalian kepada Allah jika hanya kepada-Nya kalian menyembah.”
فَاذْكُرُوْنِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ
Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan jangan kalian kufur.”
وَاعْبُدُوْهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
“Dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya dan kepada-Nya kalian dikembalikan.”
وَسَيَجْزِي اللهُ الشَّاكِرِيْنَ
Dan Allah akan membalas orang-orang yg bersyukur.”
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
“Dan ingatlah ketika Rabb kalian memaklumkan: Jika kalian bersyukur niscaya Kami akan menambah dan jika kalian mengkufuri sungguh azab-Ku sangat pedih.”
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata:
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا؟
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun di malam hari sampai pecah-pecah kedua kaki beliau lalu ‘Aisyah berkata: ‘Ya Rasulullah kenapa engkau melakukan yg demikian padahal Allah telah mengampuni dosamu yg telah lewat dan akan datang?’ Beliau menjawab: ‘Apakah aku tdk suka menjadi hamba yg bersyukur?’”
Masih banyak dalil lain yg menjelaskan tentang keutamaan syukur dan anjuran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Semoga apa yg dibawakan di sini mewakili yg tdk disebutkan.

Akibat Tidak Bersyukur.
Yang tdk bersyukur lbh banyak dari yg bersyukur. Hal ini tdk bisa dipungkiri oleh orang yg berakal bersih. Sebagaimana orang yg ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lbh banyak dari yg beriman. Demikianlah keterangan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dlm firman-Nya:
وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
Dan sedikit dari hamba-hambaKu yg bersyukur.”
Sebuah peringatan tentu akan bermanfaat bagi orang yg beriman. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan dari kufur ni’mat setelah memerintahkan utk bersyukur dan menjelaskan keutamaan yang akan di dapati sebagaimana penjelasan Al-Imam As-Sa’di rahimahullahu dalam tafsir beliau:
“Jika seseorang bersyukur niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabadikan ni’mat yg dia berada pada dan menambah dgn ni’mat yg lain.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
Dan Rabb kalian telah mengumumkan jika kalian bersyukur niscaya Kami akan menambah dan jika kalian mengkufuri sungguh azab-Ku sangat pedih.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan:
“Jika kalian mengkufuri ni’mat menutup-nutupi dan menentang mk yaitu dgn dicabut ni’mat tersebut dan siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala menimpa dgn sebab kekufurannya.Dan disebutkan dlm sebuah hadits: ‘Sesungguh seseorang diharamkan utk mendapatkan rizki krn dosa yg diperbuatnya’.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Coment Anda Disini