Selasa, 26 Juni 2012

Penambahan Wawasan Dari Peristiwa Isra' dan Mi'raj

PENAMBAHAN WAWASAN DARI PERISTIWA ISRA’ DAN MI’RAJ NABI MUHAMMAD SAW

Allah SWT., Berfirman dalam QS. Al Isra’ ayat 1:

سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير.
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Arti Isra’ dan Mi’raj.
Isra’ adalah perjalanan yang dilakukan Rasulullah SAW., bersama Malaikat Jibril AS., pada malam hari (lailan) dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Perjalanan sejauh ini ditempuh beliau dengan mengendarai Buraq, yaitu sejenis hewan yang berwarna putih, panjang, ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada baghl (peranakan kuda dengan keledai) yang didatangkan dari syurga. Dengan kekuasaan Allah SWT., hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang (antara barat dan timur). Adapun yang dimaksud dengan mi’raj adalah peristiwa naiknya Rasulullah SAW.,  dari bumi menuju Sidratul Muntaha, untuk kemudian berjumpa dengan Allah Yang Maha Tinggi dan menerima kewajiban shalat lima waktu sehari semalam. Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa luar biasa yang dialami Rasulullah SAW., pada malam 27 Rajab tahun ke 12 Kenabian. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj bermula ketika Malaikat Jibril AS., mendapat perintah dari Allah SWT., untuk menjemput Nabi Muhammad SAW., untuk menghadap-Nya. Jibril AS., membangunkan Rasul dan membimbingnya keluar Masjidil Haram ternyata diluar masjid telah menunggu kendaraan bernama Buraq.
Ada yang berpendapat bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada waktu yang berbeda, Isra’ pada satu malam tertentu, sedangkan Mi’raj pada malam yang lain. Namun menurut Penulis bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini terjadi pada satu malam yang berbarengan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Imam Al Baihaqi RA., keterangan beliau ini dikuatkan oleh Al Imam Ibnu Katsir RA., mengatakan: “Apa yang diungkapkan oleh beliau (Al-Baihaqi) ini adalah yang benar, tidak ada sedikitpun keraguan padanya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir). Bahwa kedua peristiwa tersebut adalah benar adanya dan dialami oleh Nabi Muhammad SAW., secara sadar, dengan ruh dan jasad, bukan ruh saja atau mimpi saja. Dengan argumentasinya sebagai berikut:
-      Diawali dengan kalimat tasbih (سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى),  bagi kalangan umat Islam penggunaan kalimat tasbih juga sering dipakai ketika melihat atau mendengar peristiwa luar biasa dan menakjubkan. Kalau Isra’ dan Mi’raj ini hanya dilakukan dalam mimpi saja, maka ini bukanlah suatu peristiwa besar dan menajubkan. Dalam mimpi seorang manusia bisa saja mengalami kejadian aneh-aneh maupun peristiwa mustahil yang tidak akan mungkin terjadi di alam nyata ini.
-  Kalimat (بِعَبْدِهِ), yang berarti hamba-Nya. Kalimat عبد (hamba), bermakna sebuah ungkapan yang menunjukkan berkumpulnya antara ruh dan jasad, sebagaimana yang sudah dikenal dalam bahasa Arab. Adapun peristiwa Mi’raj Allah SWT.,  telah abadikan dalam Al Qur’an dalam surat An-Najm ayat 17:
مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى
“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.”
Demikian juga merupakan argumentasi yang kuat yang menunjukkan bahwa  peristiwa tersebut terjadi dan dialami oleh Rasulullah SAW., dengan ruh dan jasad. Hal ini ditunjukkan pada kata الْبَصَرُ (yang berarti penglihatan, maksudnya penglihatan Nabi SAW), karena kata الْبَصَرُ adalah sebuah ungkapan yang bermakna alat penglihatan dari dzat (jasad), bukan dari ruh. Argumen lain yang menunjukkan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj dialami oleh Rasulullah SWT.,  dengan ruh dan jasad beliau adalah dalam ayat ke 60 Surat Al Isra:
وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآَنِ
“Dan Kami tidak menjadikan ru’ya yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al-Qur’an.” 
Abdullah bin Abbas RA., menafsirkan makna ru’ya dalam ayat di atas adalah pemandangan yang diperlihatkan kepada Rasulullah SAW., pada peristiwa Isra’ ke Baitul Maqdis, adapun pohon kayu yang terkutuk adalah pohon Zaqqum sebagaimana dalam surat Ash-Shaffat ayat 62 s/d ayat 65. (Lihat HR. Al-Bukhari, no. 3599).
Sebagiamana ayat di atas peristiwa yang dilihat Rasulullah SAW,. ini merupakan fitnah (ujian) bagi manusia, siapa yang membenarkannya dan siapa saja yang akan mendustakannya. Seandainya peristiwa seperti itu dialami dalam mimpi, maka tidak akan menjadi ujian bagi mereka. Bisa jadi semua orang termasuk kaum kufir Quraisy akan percaya dan membenarkannya, karena sebagaimana yang sudah disebutkan di atas bahwa siapapun bisa saja bermimpi mengalami kejadian aneh atau peristiwa mustahil yang tidak akan mungkin terjadi di alam nyata ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Adhwa-ul Bayan). 

Sebagian pihak yang tidak mengimani bahwa peristiwa Isra Mi’raj dengan ruh dan jasad Nabi SAW., berdalil dengan adanya salah satu riwayat dalam Shahih Muslim yang menyebutkan tentang peristiwa Isra dan  Mi’raj beliau, dan disebutkan di dalamnya:
وَهُوَ نَائِمٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Dan beliau sedang tidur di Masjidil Haram.”
Kata mereka, riwayat ini menunjukkan bahwa beliau mengalami peristiwa ini dalam mimpi saja karena ketika itu beliau sedang tidur.
Lahirnya Motivasi dari Peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Kalau membaca sejarah kehidupan Rasulullah SAW (Sirah Nabawiyah), sebelum peristiwa itu terjadi Rasulullah SAW., mengalami keadaan duka cita yang sangat mendalam (tahun deka cita / umu’ azam. Beliau ditinggal oleh istrinya tercinta Khadijah yang senantiasa selalu setia menemani dan menghiburnya di kala orang lain masih mencemoohnya. Lalu beliau juga ditinggal oleh pamannya sendiri Abu Thalib, yang walaupun tidak berimana kepadanya namun dia sangat melindungi aktivitas dakwah Nabi SAW. Sehingga orang-orang kafir Quraisy semakin leluasa untuk melancarkan penyiksaannya  kepada Nabi SAW., dan umatnya, sampai-sampai orang awam Quraisy pun berani melemparkan kotoran onta ke atas kepala Rasulullah SAW.
Dalam keadaan dan situasi yang duka cita dan penuh dengan rintangan yang sangat berat itu, menambah perasaan Rasulullah SAW., semakin berat dalam mengemban risalah Islamiyah. Lalu Allah SWT., menghibur Nabi SAW., dengan memperjalankan beliau, sampai ke langit dan menemui Allah SWT di raf-raf. Hingga kini peristiwa ini seringkali diperingati oleh sebagian besar kaum muslimin dalam nuansa acara peringatan Isra’ dan Mi’raj. Pada dasarnya peringatan tersebut hanyalah untuk memotivasi dan penyemangat (ghairah), bukan dalam rangka beribadah dalam artian ibadah ritual khusus. Namun peringatan tersebut juga terdapat beberapa catatan. Apa saja itu? Mari kita ikuti beberapa hal di bawah ini.
Dalam Al Qur’an dari sekian ribu ayat (6666) di dalamnya, hanya ada 4 ayat yang menjelaskan tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj, yaitu dalam Q.S. Bani Israil ayat 1, dan Q.S. An Najm ayat 13 sampai 15. Maksudnya, adalah kebesaran Islam itu bukan terletak pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, tapi pada tataran konsepnya, sistemnya, dan muatannya (termasuk pesan spiritualiatasnya). Dalam surat An Najm ayat 13 sampai 15 itu, menggambarkan bahwa Rasulullah SAW., menemui Jibril AS., dalam bentuk aslinya tepatnya taklala berada di Sidratil Muntaha ketika Isra’ dan Mi’raj. Sebelumnya Rasulullah SAW., juga pernah menjumpai malaikat Jibril AS., dalam bentuk asli ketika menerima wahyu pertama yaitu Q.S. Al Alaq ayat 1-5 dari Allah SWT, yaitu ketika beliau  berada di gua Hira.
Dan di antara 25 nabi dan rasul, hanya 2 yang pernah berbicara langsung kepada Allah SWT., yaitu Nabi Musa AS., dan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana dengan Nabi Adam AS, bukankah beliau juga pernah berdialog dengan Allah SWT? Ya, tapi Nabi Adam AS., ketika itu masih di Syurga. Setelah beliau diusir dan diturunkan ke bumi, tidak lagi berdialog secara langsung dengan Allah SWT. Nabi Musa AS., berdialog dengan Allah SWT., secara langsung ketika di bukit Tursina (di bumi), sementara Nabi Muhammad SAW., di Sidratil Muntaha (di langit). Tetapi (sekali lagi), kebesaran Islam bukan di situ letaknya, namun di konsepnya dan muatannya. Oleh karena itulah, peristiwa Isra’ dan Mi’raj sendiri tidak perlu secara berlebihan diangkat-angkat. Peristiwa itu sendiri merupakan mukjizat imani, maksudnya adalah mukjizat yang hanya bisa diterima apabila hanya beriman. Meskipun hanya Nabi Muhammad SAW., yang telah diperjalankan pada malam harinya (Isra’ dan Mi’raj), tapi dia tetaplah manusia biasa, hamba Allah SWT. Hal ini perlu ditegaskan, karena dua umat sebelum Islam (Yahudi dan Kristen), telah terjebak men-Tuhankan nabinya.
Berharap Hikmah dari Peristiwa Isra’ dan Mi’raj bagi Bangsa .
Paling tidak ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi SAW., sebagai spirit yang kuat untuk dapat diaplikasikan dalam realitas hidup  untuk membangun kepribadian, masyarakat dan juga untuk kepentingan nusa dan bangsa. 
Pertama, Isra’ dan Mi’raj dari Masjidil Haram ke Mesjidil Aqsha dan terus naik ke Sidratul Muntaha merupakan cara Allah SWT., dalam rangka meneguhkan hati Nabi-Nya dalam menyampaikan pesan Ilahiah via instrumen dakwah, karena beliau dilanda musibah dengan meninggalnya dua pembela utama dalam dakwahnya yaitu Abu Talib dan Siti Khadizah. Dengan berjumpa Nabi SAW., secara langsung dengan Penguasa alam ini akan dapat menguatkan pendirian dan keistiqomahan dalam mengemban risalah-Nya. Sebagai bangsa besar yang kondisinya sedang dilanda beragam masalah krisis dan musibah multidimensional sudah selayaknya seluruh komponen bangsa ini untuk dapat menanggulanginya dengan lebih mendekatkan diri kepada hanya Allah SWT. Hanya dengan pertolongan-Nya semata negara dan bangsa ini dapat keluar dari beragam persoalan yang datangnya silih berganti.
Para pelaku koruptor yang tidak pernah puas dengan usaha korupsinya walau sudah banyak yang masuk hotel prodeo, bencana alam yang bertubi-tubi melanda dan sebagainya sudah menjadi santapan berita harian di media elektronik dan cetak . Yang mungkin bagi sebahagian orang sudah ada yang menjadi putus asa dengan masa depan bangsa ini ke depan. Dengan semakin dekatnya seorang hamba kepada Rabb-Nya akan menjadikan dirinya lebih tegar dan punya kekuatan yang luar biasa dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah. Dengan kata lain, bahwa peringatan Isra’ dan Mi’raj merupakan upaya Allah SWT., untuk mengokohkan semangat dan meneguhkan langkah untuk ikut andil dalam mencari permasalahan bangsa dan mencarikan jalan keluarnya (problem solving). Bukan justru menambah keruh suasana yang tidak mementu jangan sampai banyak tukang kompor ketimbang tukang lemnya.
Kedua, Isra’ dan Mi’raj adalah proses naiknya Nabi SAW., dari tempat yang rendah (bumi) ke tempat yang tinggi (Sidaratul Muntaha) untuk selanjutnya pulang ke bumi untuk mengadakan perubahan-perubahan (gerakan restorasi dan refromasi) dengan mengadakan perancanaan-perancanaan (planning) baru dalam membangun dan memprogram langkah dakwah Islamiyah untuk ke depannya. Paling tidak bahwa dalam merenungkan pesan-pesan Isra’ dan Mi’raj tercipta kesadaran secara komunal dalam jati diri anak bangsa untuk lebih kreatif, dinamis dan rasa optimism untuk membangun peradapan bangsa ini ke depan.
Bagi para penyelenggara dan pejabat negara, tentu lebih bersungguh  untuk merancang pembangunan dalam berbagai sector riil, dan jangan pernah ada kata menyerah untuk mengejar para koruptor yang selalu mencari kesempatan bahkan dengan menerapkan pembuktian terbalik dan hukuman mati adalah salah satu hukuam efek jerah bagi pelaku yang lain untuk tidak mencoba melakukan korupsi. Bagi para ilmuan dan pelajar siap untuk selalu menciptakan penemuan dan inovasi baru demi kemajuan generasi yang akan dating, atau dengan memasukan kurukulum korupsi dalam mata pelajaran adalah satu bentuk menekan tindak pidana korupsi. Bagi mereka para pengusaha dan konglomerat dapat bersinergi membangun ekonomi kerayatan yang berbasis ekonomi syariah agar bangsa ini terhindar dari praktek ekonomi kapitalis yang mengandung unsur ribawi harus segera diakhiri, bahkan yang terpenting tentunya adalah keterlibatan langsung semua komponen dan lapisan yang dapat memberikan kontribusi yang bermamafaat menurut kapasitas dan kemampuannya masing-masing.
Ketiga, Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa yang terprogram dan terencana serta sangat jelas arah dan tujuannya. Dengan kata lain bahwa Allah SWT., sudah mendisain sebuah perjalanan Nabi SAW., tersebut dengan perencanaan yang jelas, matang dan mempunyai batas waktu. Dibuktikan terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu hanya satu malam. Sebagai suatu bangsa yang sedang dalam kondisi giat-giatnya membangun adalah suatu hal yang perlu diperhatikan dan dicermati secara seksama. Untuk kembali meninjau ulang kemajuan yang telah dicapai bangsa ini. Apakah bangsa ini sudah mengalami kemajuan dan perobahan yang signifikan adalah suatu pertanyaan besar. Sehingga dapat kembali merencanakan program pembangunan yang jelas, terencana dan punya limit waktu dalam segala sektor kehidupan.
Peringatan Isra’ dan Mi’raj momentum yang tepat sebagai hari bersejarah yang akan diperingati oleh segenap umat Islam Indonesia seharusnya dapat dipahami dan ditangkap sebuah pesan dan makna yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya tentu dapat dijadikan sebagai motivasi dan spirit untuk membangun bangsa dan negara ini ke depan ke arah yang lebih baik dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya ala mini untuk dipergunakan sebagai perbaikan dan kemaslahatan umat sehinga bahagia dunia dan akhirat dalam rangka mewujudkan negeri yang aman dan sentausa di bawah ampunan Tuhan (baldatun thoibatun wa rabbun ghafur).
Memahami Isra’ dan Mi’raj Sebagai Bentuk Logika yang Benar.
Korelasinya dengan Isra’ dan Mi’raj para teolog Islam banyak berspekulasi tentang perjalanan ke langit pada malam itu, sebab hal itu menimbulkan beberapa kesulitan untuk memecahkanya. Ada yang berpendapat bahwa yang melakukan perjalanan adalah ruhani saja bukan jasmaninya, namun istri Nabi SAW., Siti Aisyah RA., mengatakan “Bahwanya jasmaninya Nabi tidak hilang” di tentang semakin banyaknya kecenderungan untuk mengklaim bahwa perjalanan ini benar-benar secara jasmani, bahkan kaum Mu’tazilah menguatkan bahwa yang melakukan perjalanan adalah ruhaniah saja bukan jasmaniah. Namun ahlul mufasir Thabrani (awal abad ke-10.M), berpendapat bahwa perjalanan Nabi SAW., itu benar-benar terjadi secara sadar dan jasmani, karena mereka lebih harfiyah, dan dalam Al-Qur’an sebagaimana ditekankan oleh Thabrani dengan jelas mengatakan “ bahwa Allah SWT., telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam hari” dan “bukan jiwa hamba-Nya”.
Sehingga tidak mustahil ketika kejadian Isra’ dan Mi’raj ini banyak ditentang oleh kaum rasionalis dan mereka berdalih “ bahwa mana mungkin seseorang mampu berjalan melebihi kecepatan sinar.” Akan tetapi kenyataan ilmiah pulalah telah membuktikan setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem yang lainnya. Bahwa kebutuhan waktu untuk mencapai suatu sasaran berbeda satu dengan yang lainnya. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara yang lebih cepat, demikian juga halnya suara lebih lama dibandingkan dengan cahaya, sehingga dapat dikatakan bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran. Di samping itu juga bahwa manusia memiliki keterbatasan berpikir (logika), dan berbatas pada eksperimen atau melakukan pengamatan (hipotesa) terhadap fenomena alam yang dapat dilakukan oleh siapa, kapan dan dimana saja.
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj juga memiliki makna sangat penting dalam ruang imajinasi umat Islam. Makna penting itu jika diurai tentu akan memanjang. Isra’ dan Mi’raj bisa dimaknai dari sudut pergolakan dakwah Nabi SAW, kebenaran doktrin Islam, perjumpaan dengan para Nabi dan lain sebagainya. Tapi yang jelas, kisah-kisah serupa itu mengarahkan pengetahuan dan kesadaran umat beragama akan narasi besar yang memperkukuh dinamika umat manusia untuk menyaksikan kehadiran Yang Maha Mutlak dan Maha Kuasa yakni Allah SWT. Ini sangat penting setidak-tidaknya demi membendung usia tergelincirnya sejarah ketuhanan dan Agama dari sekadar sejarah dunia yang biasa dan profan.
Disamping itu pula, mi’rajnya seorang mukmin bukanlah sebuah upaya pendakian spiritual untuk berpaling dari tanggung jawab kemanusiaan, melainkan justru agar terjalin kontak dan jalinan interaksi sosial antara kehendak suci di langit dan orientasi manusia di bumi ini. Shalat dan dzikir bisa dilihat sebagai institusi iman dimana sebuah keyakinan dan orientasi keilahian diterjemahkan dikaitkan dengan orientasi praksis untuk menciptakan salam (perdamaian) diantara sesama umat manusia. Dengan kata lain, bahwab rentangan spektrum Ilahi di satu sisi dan spektrum kemanusiaan disisi yang lain secara metafisis tidaklah tepat jika diletakan dalam perspektif ruang sebagaimana ruang yang difahami manusia dalam hidup kesehariannya. Tetapi keduanya menyatu dalam sebuah kesadaran, sehingga bagi seorang mukmin perilaku kemanusiaannya hendaknya memuat kualitas Ilahi, dan kehangatan dalam bertuhan hendaknya terefleksikan dalam perilaku kemanusiaanya itu snediri.
Sementara itu menurut tradisi Islam yang berkembang juga, bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi selama priode Makkah yang terahir dari kehidupan Nabi Muhammad SAW., tidak lama sebelum hijrah ke Madinah, yang biasa diperingati pada tangal 27 Rajab setiap tahunnya, yang terajdi pada bulan ke tujuh tahun hijiriyah. Di daerah Kasmir (India), biasanya memperingati Isra’ dan Mi’raj selama satu mingu dengan memperbanyak bacaan-bacaan yang memuji Nabi SAW., mengagungkan namanya. Di Turki diperlakukan sama dengan malam kelahiran (mauled), sebagai malam yang penuh dengan berkah dan biasanya malam-malam itu masjid di hiasi dengan lampu-lampu dan diramaikan puji-pujian.
Dalam peristiwa ini di samping Nabi SAW., melihat tentang kebesaran-kebesaran Allah SWT., juga diperlihatkannya surga beserta panoramanya dan peristiwa-peristiwa yang lain yang menakjubkan. Berbagai fenomena yang ditemui oleh Nabi SAW., saat melakukan wisata religius begitu banyak yang amat mengerikan, seperti bibir dan lidah yang terus tergunting yang mencerminkan hukuman bagi orang-orang yang selalu menyebarkan fitnah. Wajah dan dada yang terus tercakar sebagai gambaran bagi mereka yang suka menindas. Orang-orang terus berenang di kolam nanah dan darah lalu terus dilempari batu panas, sebagai gambaran siksaan bagi orang-orang yang korupsi dan makan harta riba. Semua amatlah penting untuk dijadikan sebagai referensi renungan di tengah gelombang kehidupan yang semakin runyam dan begitu dahsyat dalam perbuatan maksiat seperti merajalelanya pelaku korupsi, pemerkosaan, perzianahan dan lain sebagainya adalah merupakan jalur instropeksi dengan peringatan Isa’ dan Mi’raj dan jangan hanya sebagai simbul-simbul kegamaan semata.
Di samping itu juga agar manusia tidak melakukan tindakan-tindakan yang sewenang-wenang. Juga agar manusia tidak melangsungkan hidupnya di dunia yang hanya mengikuti zaman yang carut-marut dan penuh perbuatan maksiat, akan tetapi manusia diharuskan dan diharapkan hidup dan beraktivitas dengan bahasa langit seperti orang-orang suci, para Nabi, sahabat dan ulama bahkan menyatu dengan Tuhan. Dengan hidup yang dihiasi dengan kesempurnaan bahasa langit dan bumi akan mendapatkan kesempurnaan dalam hidupnya (insal kamil).
Di samping itu Isra’ juga merupakan simbolisasi akan arti perjalanan hidup umat manusia, isra’ adalah perjalanan mendatar (horizontal) dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di Palestina. Hal ini mengisyaratkan proses pertumbuhan yang bersifat kuantitatif. Mi’raj adalah perjalanan naik (vertikal) dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha mengisyaratkan adanya proses kualitatif. Manusia makhluk Allah SWT., yang paling sempurna, memahami hidup ini untuk menjalani proses pertumbuhan dan perkembangan (dinamis).
Proses perkembangan yang dibutuhkan lebih menekankan pada mental yang bersifat nilai bukan materi semata. Proses ini lebih berbicara tentang kualitas hidup manusia misalnya, bodoh menjadi pandai, dari hina menjadi mulia, dari terlaknat menjadi terhormat, dari maksiat menjadi taat, dari mental korup ke mental bersih, dari sifat negative ke positif. Kemudian proses yang bersifat kuantitatif, dari mulai kecil kemudian besar, sedikit menjadi banyak, dari berat menjadi ringan. Kedua proses yang tidak bisa dipisahkan ini menjadi pembeda antara manusia dan makhluk biologis lainnya. Proses perkembangan adalah proses yang khas pada diri manusia, sebab tidak terjadi pada binatang bahkan Malaikat sekalipun. Sedangkan proses pertumbuhan terjadi pada semua makhluk biologis. Sehingga disinilah letak perbedaan manusia dengan makhluk lain.
Dalam proses perjalanan Mi’raj umat Islam diingatkan pada tiga titik, atau tiga tempat yang paling penting yaitu, Masjidil Haram, Masjidil Aqsa, dan Sidratul Muntaha. Hal ini mengingatkan juga pada tiga peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia, yaitu kelahiran, kematian, dan kebangkitan. Dengan kata lain, bahwa hidup bagi manusia adalah proses dinamis, proses ke masa depan, maka perjuangan Isra’ dan Mi’raj adalah isyarat bagaimana manusia menatap masa depan dan mengabdikan diri hanaya pada Allah SWT (sebagaiman dalam doa iftitah dari pengalaman shalaat lima waktu). Dalam peristiwa ini yang termuat dalam hikmah-hikmah Isra’ dan Mi’raj yang dapat dipetik dari momen-momen simbolik peristiwa itu adalah:
1. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj juga mengandaikan adanya motivasi untuk selalu belajar dari pengalaman orang lain. Perjumpaan dan dialog antara Nabi Muhammad SAW., dengan Nabi-Nabi seniornya, soal-jawabnya kepada Jibril AS., menandakan bahwa reformasi menuntut kerendahan hati untuk belajar dari banyak kisah gagal dan sukses orang lain dan adanya sebuah dialog intes antar komponen dan harus menjauhi segala unsur-unsur kecemburuan, saling curiga dan menghujat.
2.    Sejarah telah mencatat prosesi pembedahan dada Nabi SAW., sewaktu akan melakukan Isra’ dan Mi’raj, peristiwa ini menangkap simbolis pelapangan dada (shudur), penyucian hati (qalbu quds), penajaman nurani. Bahkan lebih spesifik proses medis pembedahan itu beresensi persiapan untuk bermunajat dengan Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Suci yaitu Sang Penguasa Alam Semesta Allah SWT. Sehingga hanya hati yang suci dan terhindar dari segala bentuk maksiat yang akan sampai kepada Sang Pencipta Alam melalui mediatasi yang benar dan tidak mengadung segala bentuk perbuatan bid’ad dan musyrik.
3. Sebatas yang bisa diamati, spiritualitas atau perasaan bahwa adanya kontrol yang Maha Mengetahui atas segala tindak tanduk dan aktivitas manusia, menjadi penting tatkala sistem-sistem yang direformasi tidak berjalan dengan ruh yang hendak dinginkan dan ideal. Wisata spiritual Nabi SAW., dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, mengindikasikan bahwa spiritualitas sangat penting untuk menuntaskan misi dan visi reformasi. Sebuah falsafah moralitas mengingatkan bahwa: “Innama al-umam al-akhlaq ma baqiyat, fain hum dzahabat akhlaquhum dzahaba” (suatu komunitas akan kekal bersama moralitas; bila moralitasnya hancur, raiblah mereka bersamanya). Jika pelaku penyelenggara Negara ini masih bermentak korup dan saling menghujat satu sama lainnya maka sungguh sangat ironis, dan seharusnya bangsa yang dihuni oleh rakyat yang beragama mempunyai sifat malu terhadap dunia luar yang semakin hari tingkat korupsi justru malah menjadi-jadi bahkan juga telah merambah kepada kaum Hawa, mungkin apakah yang salah dari itu semua, jawabanya hanya bahwa pelaku itu tidak merasa diawasi oleh Yang Maha Mengetahui.
4.    Bahwa kelapangan dada, kerendahan hati dan ketajaman nurani sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi SAW., dalam misi dakwahnya, terlihat sangat penting dalam misi-misi profetik dan sosial demi mereformasi dan merestorasi sebuah tatanan sosial yang tidak ideal dan berbau praktek jahiliyah. Sehingga fungsinya, sebagaimana yang ditegaskan Al-Qur’an, dapat meringankan beban (psikis), mengangkat citra, dan menumbuhkan optimisme, bahwa dibalik kesengsaraan ada jalan keluar. Sehingga tidak ada yang namanya pencitraan semata, cari muka dan cari simpatik dari orang lain.
Memahami Isra’ dan Mi’raj Akan Menambah Wawasan dan Ilmu Pengetahuan.
Dalam rangka membahas dan mengkaji suatu peristiwa harus berdasarkan ilmu pengetahuan, dan pasti agaknya menjadi sesuatu yang susah dimengerti, karena memang sedikit sekali yang tertarik untuk memilih menjadi seorang scientis dan lebih tertarik pada isu-isu sosial dan politik.  Tetapi sesungguhnya ilmu pasti itu telah ada di jagad raya ini dan justru itu merupakan salah satu dari firman Allah SWT., dalam bentuk kauniyah yang berupa hukum alam (natural law). Fisika adalah salah satu bagian dari ilmu alam yang telah Allah SWT., sediakan di jagad raya ini, dan tugas ummat adalah menggali agar satu demi satu ilmu alam itu dapat terungkap rahasianya.
Allah SWT., telah berfirman dalam Al Qur’an bahwa tidak satu pun dari ciptaan serta kejadian di alam semesta ini yang kebetulan dan sia-sia. Para pemikir seperti Aristoteles dan Einstein pun menyatakan bahwa alam semesta bertindak sesuai tujuan tertentu. Dengan demikian ta’bir apakah yang ingin perlihatkan melalui Isra’ dan Mi’raj oleh Allah SWT?
1.      Adanya dimensi ekstra.
Dalam teori ilmu fisika ada teori yang menjadi tonggak perkembangan fisika modern yaitu Teori Relativitas Khusus (TRK), teori ini  menyatakan bila orang bergerak dengan laju tinggi maka dia akan mengalami dilatasi / pemuluran waktu. Artinya, satu menit bagi orang yang bergerak bisa jadi lima menit atau lebih bagi orang lain yang diam, dalam Al Qur’an Surat  al-Ma’arij ayat 3-4 dinyatakan:
مِنَ اللَّهِ ذِي الْمَعَارِجِ (٣)تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ (٤)
 “(Yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan ruh  naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.
Ayat ini mengisyaratkan adanya dilatasi/pemuluran waktu, dimana satu hari perjalanan malaikat dan ruh setara dengan 50 ribu tahun. Artinya kecepatan malaikat dan ruh sama dengan kecepatan cahaya. Maksudnya malaikat-malaikat dan Jibril jika menghadap Tuhan memakan waktu satu hari, dan apabila dilakukan oleh manusia, memakan waktu limapuluh ribu tahun.
Sehingga, bukan saja malaikat yang tersusun dari nur (cahaya) melainkan juga ruh. Karena menurut prinsip TRK, hanya materi tidak bermassa yang bisa bergerak dengan laju cahaya dan materi tersebut hanya foton yang tidak lain adalah gelombang medan elektromagnetik. Penafsiran ini pada gilirannya menuntun pada kesimpulan bahwa Isra’ dan Mi’raj hanya sebatas ruhnya. Jika dikaitkan dengan kosmologi modern penjelasan ala TRK menjadi tidak sesuai. Menurut model jagat raya berkembang, baik jagat raya tertutup, terbuka maupun datar Mi’raj semalam (6 jam atau enam kali 3600 detik) hanya akan sampai di ruang angkasa yang material. Nabi saw tidak pernah sampai di ruang spiritual tempat Sidratul Muntaha.
Alternatifnya, bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj harus difahami juga dengan konsep dimensi ekstra. Dalam ilustrasi dua dimensi ruang tertutup mengembang diberikan oleh permukaan balon dengan tempelan potongan-potongan kecil kertas. Permukaan balon adalah jagat raya secara keseluruhan, potongan kertas menyatakan galaksi sedangkan permukaan balon tanpa tempelan adalah ruang antar galaksi. Bila ditiup balon akan mengembang dan kertas-kertas akan berjauhan. Artinya, alam semesta berkembang dan galaksi-galaksi saling menjauh.
Dalam sudut pandang ruang tiga dimensional, terdapat ruang di dalam dan di luar permukaan bola. Dari sisi jagat raya dua dimensional ruang di dalam dan di luar permukaan dapat dipandang sebagai dimensi ekstra dari jagat raya tertutup dua dimensi. Dalam perspektif ini bisa dikatakan bahwa langit adalah ruang selain permukaan bola. Dan Mi’raj adalah keluar dari langit material dan masuk langit atau ruang immaterial. Lebih spesifiknya, Nabi Muhammad SAW., keluar dari permukaan bola tiga dimensi (hypersphere) menuju dimensi lebih tinggi dimana Sidratul Muntaha berada.
Dimensi ekstra dikenal baik di fisika, keberhasilan memadukan gaya elektromagnetik dengan gaya lemah dalam teori elektro lemah menuntun pada teori kemanungalan agung (Grand Unified Theory, GUT). GUT klasik belum sepenuhnya berhasil merealisasikan impian kemanunggalan gaya elektromagnetik, lemah dan kuat. Impian  tersebut baru dipenuhi oleh GUT supersimetrik dengan konsep superruang delapan dimensinya. Empat dimensi ruang-waktu kita dan empat lainnya adalah dimensi Grassmannian tempat pasangan super setiap ciptaan berada. Tetapi GUT supersimetrik masih menyisakan masalah hirarki konstanta kopling gaya-gaya. Tahun 1998 Arkani Hamed dkk menggagas unseen atau extra dimension dan berhasil mengatasi masalah tersebut.
Di dalam konsep dimensi ekstra ruang-waktu empat dimensi tempat kita tinggal digambarkan sebagai garis lurus pada permukaan tabung silinder. Sedangkan keseluruhan permukaan lainnya merepresentasikan dimensi yang lebih tinggi. Partikel pasangan super yang berada di dimensi Grassmannian atau bulk particle di dalam dimensi ekstra versi Arkani Hamed bisa berinteraksi dengan partikel di ruang kita pada tingkat energi tertentu.
Dimensi ekstra ini juga diisyaratkan oleh Quran Surat al-Naml ayat 38-40 dalam kisah pemindahan singgasana Ratu Bulqis ke istana Nabi Sulaiman AS., dalam sekedipan mata. Dimensi ekstra juga diisyaratkan oleh hadis-hadis yang menyatakan bahwa majelis-majelis ta’lim dikelilingi oleh para malaikat yang ikut berdzikir dan mendo’akan peserta ta’lim. Jin dan Malaikat ada di sekitar kita tetapi kita tak pernah bertabrakan dengan mereka. Mereka hidup di ruang dengan dimensi yang lebih tinggi tetapi kita bisa berinteraksi dengan jin di ruang manusia.
2.      Teleportasi Kuantum.
Kejadian Mi’raj ini pun secara sains dapat dikaji pada tataran kuantum dengan teori Teleportasi Kuantum. Tetapi butuh pemahaman lebih lanjut mengenai bagian paling dasar dari teori mekanika kuantum. Kuantum itu sendiri berasal dari kuanta atau paket atau butir atau dalam istilah bahasa seperti countable noun sedangkan pendapat pertama seperti uncountable  noun.
Sebenarnya mekanika kuantum secara prinsip tidak memungkinkan proses teleportasi. Kaidah ketidakpastian Heisenberg tidak memungkinkan kita mengetahui secara tepat posisi dan momentum suatu obyek pada waktu yang bersamaan. Akibatnya, tidak mungkin men-scan secara sempurna suatu obyek yang akan diteleportasikan. Scanning akan senantiasa memberikan error atas lokasi dan kecepatan elektron dan atom suatu obyek.
Satu dasa warsa lalu, fisikawan C.H.Bennet dari IBM, G.Brassard, C.Crepeau dan R. Josza dari Universitas Montreal, dan A.Peres dari Institut Teknologi Technion Israel menemukan cara memanfaatkan kuantum untuk teleportasi. Dan teleportasi kuantum telah menjadi kenyataan laboratorium bagi foton, partikel individual dari cahaya. Meskipun demikian teleportasi dari benda skala makro masih berupa fantasi. Barangkali dari sini kita bisa mengambil sebuah kerangka berfikir bahwa  Isra’ dan Mi’raj adalah teleportasi kuantum yang terjadi pad a skala makro. (Sumber: http://edukasi.kompasiana.com)
Isra’ dan Mi’raj Sebagai Pesan Moral.
Adapun pesan moral yang terkandung pada Isra’ dan Mi’raj adalah terciptanya secara nyata sebuah tatanan masyarakat yaitu terbentuknya sifat adil, jujur, santun, kasih sayang, persaudaraan dan cinta kasih. Dalam hal ini sebagai masyarakat kita harus bertekad untuk tidak akan pernah berhenti berjuang dan berusaha untuk mengatasi keadaan, dengan keyakinan yang kuat, bahwa perjuangan dan usaha itu betapa pun sulitnya suatu saat pasti akan berhasil, karna Allah SWT., telah berjanji bahwa Dia akan membukakan jalan bagi setiap orang yang sungguh‐sungguh berjuang dan berusaha dalam mengatasi setiap persoalan yang dihadapinya. Hendaknya kita tidak akan pernah berputus asa dalam mengharapkan keridhoan Allah SWT.
Jika saja setiap umat Islam mau meneladani peristiwa Isra’ dan Mi’raj maka keimanannya akan selalu melindunginya untuk dapat mengembangkan intetegritas manusia sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok sosial kolektif, maka jadikan momentum peringatan Isra’ dan Mi`raj sebagai motivasi untuk kita pelihara sistem bermasyarakat kita. Kita pelihara hubungan harmonis antar pemeluk agama, kita tingkatkan terus kebersamaan dan toleransi, kita meyakini bahwa persatuan dan kesatuan adalah segala‐galanya. Jadikan sholat sebagai sesuatu yang mampu membentengi sekaligus memberikan ketahanan mental spritual, agar kita tidak cepat putus asa dalam menghadapi situasi yang sangat pahit sekalipun, dan tidak pula cepat lupa daratan, akibat situasi yang menyenangkan sehingga implikasi dari semua aspek kehidupan manusia yaitu yang Rasulullah SAW., jalani dan ajarkan kepada kita semua betul-betul rahmatan lil` alamin. Mari bersatu padu dalam mengisi pembangunan yang berpihak pada wujudnya masyarakat adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Hanya dengan landasan iman, kesungguhan dan komitmen yang tinggi dari semua umat beragama serta partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat maka masyarakat adil dan makmur, sejahtera moril maupun spiritual yang kita cita‐citakan bersama akan semakin nyata. Hikmah Isra’ dan Mi’raj akan membawa perubahan pada diri kita sehingga hidup ini akan menjadi lebih berarti bagi keluarga, masyarakat, dan bagi daerah kita yang tercinta dengan harapan agar kita dapat mencapai kehidupan ini dengan yang lebih baik. (Sumber: Tulisan Drs. H. Halil Domu, M.SI - Kepala Kantor Wilayah Kemeneterian Agama Provinsi Sulawesi Utara).

Minggu, 10 Juni 2012

Tafsir Singkat Surat Al Fatihah

Tafsir Singkat Surat Al Fatihah


Surat Al Fatihah dinamakan dengan sab’ul matsaani  (7 yang selalu diulang-ulang dalam shalat) dan jumlah ayatnya ada 7 ayat, yang berbunyi:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (١)الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (٢)الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (٣)مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (٤)إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (٥)اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (٦)صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ (٧)
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].
2. Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3].
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5].
5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan[7].
6. Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus,
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[9]
Tafsirannya:
[1] Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
[2] Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
[3] Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
[4] Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.
[5] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.
[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
[8] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
[9] Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
 

Misteri Angka 7 Dalam Al Quran Bagian Pertama

Misteri Angka 7 Dalam Al Quran Bagian Pertama

Dalam tausiah kita akan mengkaji misteri pemakaian Angka 7 baik dalam kehidupan sehari-hari manusia umumnya, dan khususnya penggunaan Angka 7 dalam Al Quran sebagai pedoaman ummat Islam mencari arti kehidupan.
Bahwa Al Quran memang benar-benar memiliki mukjizat yang tidak habis-habisnya untuk dikaji dari berbagai sudut pandan displin ilmu. sebagaimana firman Allah SWT., yang termaktum dalam surat Al Kahfi ayat ke 109 yang berbunyi:
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا (١٠٩)
Katakanlah (Wahai Muhammad), seandainya lautan menjadi tinta (untuk menulis), kalimat Tuhanku, maka habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu juga”.

Kita akan mencoba membahasnya satu persatu rahasia dibalik Angka 7  di dalam Al Quran, di antaranya: Dalam Q.S Al-Baqarah ayat 29 yang berbunyi:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٢٩)
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit,  dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Bahwa Angka 7 merupakan angka yang paling banyak diulang-ulang dalam Al Quran setelah angka 1 (ahad), ini suatu indikasi bahwa betapa urgennya angka ini. Demikian juga halnya awal dari surat dalam Al Quran surat Al Fatihah, surat Al Fatihah dinamakan dengan sab’ul matsaani  (7 yang selalu diulang-ulang dalam shalat) dan jumlah ayatnya ada 7 ayat, yang berbunyi:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (١)الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (٢)الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (٣)مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (٤)إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (٥)اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (٦)صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ (٧)
Jumlah bilangan huruf abjad dalam bahasa Arab yang diturunkan oleh Allah SWT dalam Al Quran ada 28 huruf.  Jumlah 28 ini adalah perkalian dari angka 7, yakni 7×4=28.
Jumlah dari pintu neraka ada 7 pintu walau satu pintu saja kita belum bisa melihatnya, kalimat jahannam dalam Al Quran ada 77 x, dan jumlah 77 ini adalah perkalian dari 7, yakni 7×11=77. Bahwa langit dan bumi memiliki 7 lapisan.seperti mana yang tercantum dalam Q.S Athalaq ayat 12, dan Q.S. Al Mulk 3. Ketika ummat Islam melaksanakan ibadah haji juga disuruh untuk thawaf, 7x Sa’i, dan melempar jumrah, untuk mengusir syetan dengan 7x lemparan kerikil.
Bahkan Angka 7 adalah angka yang disebutkan pertama sekali didalam Al Quran. seperti yang tertulis dalam Q.S Al Baqarah 29 dan terakhir sekali disebutkan pada surat Annaba’ ayat 12, bahwa jumlah bilangan surat dari Al Baqarah dan Annaba ada 77 surat. Kita tahu sebelumnya angka 77 ini adalah perkalian yang habis dibagi 7. Sungguh mukjizat yang luar biasa juga, bahwa jumlah bilangan ayat dari ayat pertama sampai akhir ayat berjumlah 5649 ayat, dan ini juga perkalian 7, yakni 7×807, atau 5649:7.
Jadi sungguh banyak sekali penggunaan Angka 7 dalam Al Quran, demikian juga kehidupan sehari-hari, seperti pincuran 7 di Minang, air 7 rupa, kembang 7 macam, obat sakit kepala bintang 7, 7 keajaiban dunia, 7 hari seminggu, pusing 7 keliling, dan lain-lain sebagainya, demikian itu tentu ada maknanya masing-masing sesuai penafsiran dan keinginan yang memakainya, semoga uraian singkat bermamfaat.

Sabtu, 09 Juni 2012

Peninggalan Nabi Muhammad SAW

BUKTI SEJARAH PENINGGALAN NABI MUHAMMAD SAW
Mengenal dan mempelajari sejarah nabi dan rasul Allah merupakan bagian dari amalan orang-orang shalih. Ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari perjuangan para rasul. Itulah sebabnya, memperkenalkan sejarah para nabi dan rasul kepada anak-anak sangat penting demi mempertebal keimanan dan memperindah budi pekerti mereka. Tulisan yang sedang dibaca ini menjelaskan secara menarik sejarah singkat untuk menyimak kisah dan peninggalan bersejarah Nabi Muhammad SAW.
Bila kita berjauh jarak dengan Nabi Muhammad saw yang berbentang waktu 1.400 tahun… bila kita belum pernah melihat wajah sucinya, sementara kita menyebut namanya setiap hari, kita menghantarkan salam kepadanya setiap hari melalui shalat, shalawat-shalawat  dan do’a-do’a yang kita lantunkan, kita memohon  syafa’atnya untuk keselamatan kita di akhirat dari pedihnya adzab neraka, tidakkah foto-foto berikut ini mengobati kerinduan kita yang sangat dalam kepada Nabi Agung, Kekasih Allah dan pemimpin yang berperibadi mulia panutan alam?? Titik air mataku begitu melihat langsung baju beliau yang bersahaja dan sudah robek, sandal beliau, keranda beliau yang tak terhalang apapun. Berikut Peninggalan Rasulullah SAW sebagai bukti bahwa beliau pernah diutus kedunia ini untuk manusia dan rahmatan lilalamin: 

1. Bendera Rasulullah SAW:

2. Wajan atau Wadah Tempat Obat-obatan Rasulullah SAW:

3. Terompa Rasulullah SAW:

4. Stempel Rasulullah SAW:


5. Gua Tsur Dimana Rasulullah SAW Bersembunyi:

 6. Mangkuk atau Tempat Minum Rasulullah SAW:


7. Gamis dan Jubah serta Sorban Rasulullah SAW:


8. Gigi dan Rabut Rasulullah SAW:


9. Wadah Tempat Gigi Rasulullah SAW:

 10.  Batu Pijakan Ketika Rasulullah SAW Akan Isra' Mi'raj:

11. Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha Keberangkatan Perostiwa Isra' dan Miraj Rasulullah SAW:

12. Jejak Telapak Kaki Rasulullah SAW:


13. Kuci Ka'bah Masa Rasulullah SAW:


14. Risalah Rasulullah SAW kepada Raja Habsha:

15.  Risalah Rasulullah SAW kepada Rakyat Oman:


16. Maqam Rasulullah SAW di Kota Madinah Al Munawaroh:

17. Risalah Rasulullah SAW kepada Kaisar Romawi:


18. Risalah Rasulullah SAW kepada Raka Heraklius di Romawi:


19. Risalah Rasulullah SAW kepada Raja Mesir:


19. Mihrab Rasulullah SAW:


20. Pedang dan Busur Panah Rasullah SAW:








21. Qur'an Mushaf Utsman Sebagai Kumpulan Wahyu yang Diterima Rasulullah SAW: